Kornea hatimu terlalu buta, tak bisa melihat sisi hatiku
yang terlupa sekaligus terluka. Aku tahu, dengan memperbanyak tanya dalam
kepala tanpa mengeluarkan suara adalah wujud upaya sia-sia. Jika saja ada cara
untuk menyadarkanmu tentang apa yang tersimpan tanpa menetaskan keberanian.
Karena kini aku begitu takut, perasaanmu telah menciut. Aku butuh kekuatan
telepati, agar peristiwa mendewasanya hati bisa juga kau alami. Agar bisa kau
rasakan apa yang kurasakan dari sisi hati.
image search by google |
Tak mudah merasakan segalanya seorang diri, sementara
sesungguhnya segala hal tentangmu ingin kubagi. Jangan salahkan hati yang tak
mampu beritakan padamu tentang apa-apa. Sebab aku terlalu takut terluka jika
yang nantinya kau beri hanya kecewa.
Apa rasanya jadi kamu, sesosok yang tak pernah luput dari
daya ingatku? Apa rasanya jadi kamu, seseorang yang kusayang dengan terlalu?
Apa rasanya jadi kamu, yang tak pernah tahu ada aku setia menunggu?
Ada seorang pengagum yang dengan sangat baik memendam rahasia tentang perasaannya. Ada yang dengan begitu rapi menyembunyikan diri sehingga tidak mudah terlihat oleh mata. Ada yang mendoakan kebahagiaanmu meski terjadi bukan karenanya. Ada yang berandai-andai jika saja kamu tahu siapa yang telah membuatnya jatuh cinta. Namun ia tahu, ia sedang berharap pada sebuah ketidakmungkinan.
Harus berguru pada siapakah hati agar ia berani
mengungkapkan opini? Harus berguru pada siapakah kamu agar rajin mengisi hati
dengan namaku? Harus berguru pada siapakah kita agar sama-sama bisa menjaga
hati tanpa melukai? Seandainya ada yang bisa mengoreksi kerja hati kita. Pasti
kita tak jalan bersilangan seperti dua yang dipenuhi keasingan.
Sebuah bisu kupelihara dalam bisingnya aksara di kepalaku. Ingin
diutarakan, namun ragu menghalangi jalan. Ingin dipendam sendirian, namun entah
hingga kapan bisa bertahan.
Harus bagaimana agar akal tak sibuk mencari jalan keluar
dari isi kepala sendiri? Betapa berkata apa adanya itu sulit, sesulit
menghadapi ketakutan kelak tak akan diterima apa adanya.
Bukankah ini perihal mulut yang enggan mengungkap dan kamu
yang tidak juga peka? Adilkah ketika aku bertanya di mana semesta saat aku
sedang benar-benar berharap pada sebuah kebetulan?
Ah sudahlah, kini biarkan aku memberi pengertian untuk diri
sendiri, bahwa mungkin saja aku telah salah menentukan arah. Mungkin saja
menunggu adalah jawaban terbaik, meski tidak sepenuhnya membuat keadaanku
membaik.
0 komentar:
Posting Komentar