Tampilkan postingan dengan label Hijab Syar'i. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hijab Syar'i. Tampilkan semua postingan

Kamis, 31 Agustus 2017

Teruntuk Wahai Kau Wanitaku..(Wanita Adalah Aurat)


image search by google


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ ، وَإِنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ، وَإِنَّهَا لاَتَكُوْنُ أَقْرَبَ إِلَى اللهِ مِنْهَا فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا

Wanita itu aurat, jika ia keluar dari rumahnya maka setan mengikutinya. Dan tidaklah ia lebih dekat kepada Allâh (ketika shalat) melainkan di dalam rumahnya

TAKHRIJ HADITS:

Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh :
1. at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausâth, no. 2911 dari Shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma
2. at-Tirmidzi, no. 1173
3. Ibnu Khuzaimah, no. 1685, 1686
4. Ibnu Hibbân, no. 5559, 5570-at-Ta’lîqâtul Hisân), dari Shahabat Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu
5. at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausâth, no. 8092
Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, ”Hadits ini hasan shahîh gharib.” Dishahihkanoleh Imam al-Mundziri, beliau mengatakan, “Hadits ini diriwayatkan oleh at-Thabrani t dalam al-Mu’jamul Ausâth dan rawi-rawinya yang shahih.” Lihat Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb (I/260, no. 344). Dishahihkan juga oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2688) dan Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb (no. 344, 346).

SYARAH HADITS:

(اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ)maksudnya ialah aurat manusia. Setiap ia merasa malu darinya (jika terlihat-pent) maka disandarkan padanya wajib menutupinya.

إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

Yakni asal dari al-isyrâf adalah meletakkan telapak tangan di atas alis saat mengangkat kepala agar bisa melihat. Maksudnya yaitu setan mengangkat pandangannya kearah wanita untuk menyesatkannya dan menyesatkan orang lain dengannya, sehingga salah satunya atau kedua-keduanya terjatuh dalam fitnah. Bisa jadi yang dimaksud dengan kata setan di atas adalah setan dari jenis manusia, yaitu orang fasik. Karena jika orang fasik tersebut melihat wanita keluar dan menampakkan diri, maka ia langsung memandangnya lekat-lekat. Jadilah setan menyesatkan keduanya. Apabila wanita tetap berada di dalam rumahnya, maka setan tidak akan mampu untuk menyesatkannya dan menyesatkan manusia dengan (perantara)nya. Tetapi apabila wanita keluar dari rumahnya, maka setan akan sangat berambisi (untuk menyesatkannya dan menyesatkan orang lain dengannya), karena ia termasuk dari buhul-buhul (jerat-jerat dan perangkap) setan. Dan ini adalah anjuran kepada wanita agar ia tetap berada dalam rumahnya.[1]

KEWAJIBAN MENUTUP AURAT

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allâh, mudah-mudahan mereka ingat.” [al-A’râf/7:26]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat tersebut, “Kata al-libâs dalam ayat tersebut berarti penutup aurat, sedangkan kata ar-rîsy atau ar-riyâsy berarti sesuatu yang digunakan untuk menghias diri. Jadi, pakaian merupakan sesuatu yang bersifat primer (pokok), sedangkan perhiasan hanya sebagai pelengkap dan tambahan.”[2]

Dalam ayat ini diperintahkan laki-laki dan wanita untuk berpakaian menutup aurat mereka. Laki-laki batasan auratnya dari perut/pusar sampai dengan lutut, sedangkan wanita seluruh tubuhnya adalah aurat.

Dari Jarhad al-Aslami Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewatinya sedangkan dia dalam keadaan terbuka pahanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ

Sesungguhnya paha adalah aurat.[3]

Juga dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seseorang yang pahanya terlihat, maka beliau bersabda :

غَطِّ فَخِذَكَ، فَإِنَّ فَخِذَ الرَّجُلِ مِنَ عَوْرَتِهِ

Tutuplah pahamu, karena sesungguhnya paha laki-laki termasuk aurat.[4]

Diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلَا تَنْظُرُ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ

Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya, dan seorang wanita tidak boleh melihat aurat wanita lainnya[5]

Saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang aurat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

اِحْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجِكَ أَوْ مَامَلَكَتْ يَمِيْنُكَ، فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِذَا كَانَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ فِيْ بَعْضٍ؟ قَالَ: إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لاَ يَرَيَنَّهَا أَحَدٌ فَلاَ يَرَيَنَّهَا ، فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِذَا كَانَ أَحَدُنَا خَالِيًا؟ قَالَ: اَللهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنَ النَّاس

Jagalah auratmu kecuali dari isterimu atau budak wanita yang engkau miliki ! lalu beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika suatu kaum bercampur baur dengan yang lainnya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika engkau sanggup agar seseorang tidak melihatnya, maka janganlah ia melihatnya,” kemudian beliau ditanya, “Bagaimana jika seseorang telanjang dan tidak seorang pun melihatnya?” Beliau menjawab, “Allâh lebih berhak untuk engkau merasa malu dari-Nya daripada manusia.”[6]

Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ" (wanita adalah aurat), artinya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali anggota badan yang tidak diperkecualikan oleh syari’at. Wanita wajib menutup seluruh tubuhnya. Yang jadi masalah apakah muka wanita adalah aurat. Terjadi ikhtilaf di antara para ulama dalam masalah ini.

Sesungguhnya para Ulama telah bersepakat bahwa seorang wanita wajib menutupi seluruh tubuhnya, perbedaan yang mu’tabar (dianggap) hanya terjadi pada wajah dan kedua telapak tangan.

Sebagian Ulama berpendapat bahwa menutup wajah dan kedua telapak tangan hukumnya wajib. Mereka berhujjah dengan beberapa dalil, di antaranya adalah :

1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ

Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir! [al-Ahzâb/33:53]

Para Ulama yang berpendapat wajib menutup wajah berargumen, “Sesungguhnya dalil tersebut mencakup seluruh kaum wanita karena semuanya masuk ke dalam alasan diwajibkannya menggunakan penutup (hijab), yaitu kesucian hati.”

2. Firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allâh Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [al-Ahzâb/33:59]

Mereka menafsirkan kata yudnîna yang ada di dalam ayat dengan menutup seluruh wajah dan hanya menampakkan satu mata saja untuk melihat.

Sementara kelompok Ulama yang lain berpendapat boleh hukumnya membuka wajah dan telapak tangan bagi seorang wanita, dan sesungguhnya menutup keduanya hanya sekedar mustahab (sunnah). Mereka berhujjah dengan beberapa dalil, di antaranya :

1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

”...Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat...” [an-Nûr/24:31]

Mereka berkata “yang biasa nampak” maksudnya adalah wajah dan kedua telapak tangan.

2. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Asmâ’ binti Abu Bakar Radhiyallahu anhuma datang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memakai pakaian yang tipis, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya dengan bersabda:

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيْضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا، وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ.

Wahai Asma! Sesungguhnya jika seorang wanita telah mencapai haidh, maka tidak boleh dilihat darinya kecuali ini dan ini. Beliau mengisyaratkan wajah dan kedua telapak tangan.[7]

3. Hadits Jâbir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, tentang nasihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum wanita pada hari Raya. Di dalamnya diungkapkan, “ ... Lalu seorang wanita yang duduk di tengah-tengah (kaum wanita) yang kehitam-hitaman kedua pipinya berdiri dan berkata, ‘Kenapa Rasûlullâh?’[8]

Mereka berkata, ucapan Jabir “yang kehitam-hitaman di kedua pipinya” merupakan dalil bahwa ia membuka wajahnya sehingga terlihat kedua pipinya.

4.Hadits Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma tentang kisah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membonceng al-Fadhl bin ‘Abbâs ketika haji Wada’ dan seorang wanita yang meminta fatwa kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dalam kisaha itu disebutkan, “Lalu al-Fadhl bin Abbâs Radhiyallahu anhuma menatapnya, ia adalah seorang wanita yang cantik, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang dagu al-Fadhl Radhiyallahu anhu dan memalingkan wajahnya ke arah yang lain.”[9]

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Seandainya wajah itu adalah aurat maka wajib ditutupi, sementara beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkannya terbuka di hadapan orang-orang, dan niscaya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya agar mengulurkan kerudung dari atas kepala. Dan seandainya wajah si wanita itu tertutup, niscaya Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma tidak akan mengetahui apakah wanita itu cantik atau tidak.”[10]

5. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dahulu para wanita Mukminah hadir bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Fajar dengan pakaian wol yang menutupi semua badan mereka. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka ketika mereka selesai melaksanakan shalat, tidak ada seorang pun mengenali mereka karena gelapnya akhir malam.”[11]

Mereka berkata. “Yang terpahami dari hadits di atas adalah bahwa jika tidak ada kegelapan, niscaya mereka akan dikenal dan biasanya mereka bisa diketahui dari wajah yang terbuka.”[12]

Pendapat jumhur Ulama ini yang paling kuat bahwa wajah wanita bukan aurat. Apabila mereka memakai cadar itu lebih baik, tapi hukumnya adalah mustahabb (sunnah) bukan wajib. Dan hal ini sesuai dengan kemudahan syari’at Islam untuk seluruh wanita Islam di seluruh dunia.[13]

image search by google



MENGINGKARI WANITA YANG MENAMPAKKAN WAJAHNYA (TIDAK MENGENAKAN CADAR)

Imam Abu Abdillah bin Muflih al-Maqdisi yang terkenal dengan Ibnu Muflih rahimahullah (wafat th. 762 M), beliau berkata[14] , “Bolehkah mengingkari wanita yang menampakkan wajahnya di jalan-jalan ? Dengan dalih wajibkah bagi wanita menutup wajahnya, ataukah para laki-laki wajib menundukkan pandangan darinya ? Atau ada dua pendapat dalam masalah ini ?

عَنْ جَرِيْر بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفَجْأَةِ؟ فَقَالَ: اِصْرِفْ بَصَرَكَ

Dari Jarîr bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang melihat (wanita-pent) dengan tiba-tiba (tidak sengaja-pent), maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Palingkanlah pandangan-mu!’”[15]

al-Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullah berkata tentang hadits Jarîr Radhiyallahu anhu, para Ulama berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat hujjah bahwa tidak wajib bagi seorang wanita untuk menutupi wajahnya di jalan (ketika dia keluar rumah-pent), sesungguhnya itu hanyalah sunnah yang dianjurkan bagi wanita. Dan wajib bagi laki-laki untuk menundukkan pandangan darinya dalam berbagai keadaan, kecuali jika memiliki tujuan yang sah dan syar’i.”[16]

Imam asy-Syaukâni rahimahullah berkata, “Kesimpulannya, bahwa wanita boleh menampakkan tempat-tempat yang biasa dihias padanya jika memang diperlukan ketika menjalankan sesuatu, seperti jual beli dan persaksian. Maka itu menjadi pengecualian dari keumuman pelarangan tentang menampakkan anggota-anggota badan yang biasa dihiasi. Hal ini dikarenakan tidak adanya tafsir yang marfû’.”[17]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pembahasan hadits di atas :

...وَإِنَّهَا لاَتَكُوْنُ أَقْرَبَ إِلَى اللهِ مِنْهَا فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا.

...Dan tidaklah ia lebih dekat kepada Allâh (ketika shalat) melainkan (ketika shalat) di dalam rumahnya.”

Maksudnya bahwa wanita shalat di dalam rumahnya lebih baik daripada shalat di masjid. Karena di dalam rumahnya dia lebih dekat kepada Allâh dan akan terhindar dari fitnah. Ada beberapa hadits yang menganjurkan wanita shalat didalam rumahnya, di antaranya;

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ، وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

Janganlah kalian melarang kaum wanita yang hendak mendatangi masjid, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.[18]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَا اللهِ، وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ.

Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allâh yang perempuan mendatangi masjid Allâh. Hanya saja, hendaklah mereka keluar dalam keadaan tidak mengenakan parfum.[19]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu juga, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُوْرًا، فَلاَ تَشْهَدَنَّ مَعَنَا الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ.

Siapa saja wanita yang memakai wewangian maka ia tidak boleh shalat ‘Isya` bersama kami.[20]

Yang terbaik bagi kaum wanita adalah shalat di rumah mereka. Dasarnya adalah hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma di atas :

...وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ.

... dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka

Dari Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :

صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِىْ بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِىْ حُجْرَتِهَا، وَصَلاَتُهَا فِى مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِىبَيْتِهَا.

Shalat seorang wanita di dalam kamarnya lebih utama dari pada shalatnya di ruang tamunya. Dan shalatnya di ruang pribadinya[21] lebih baik dari pada shalatnya di rumahnya[22].

FAWA-ID

1. Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali yang dikecualikan oleh syari’at.
2. Wanita wajib menutup auratnya dengan sempurna.
3. Wanita bila akan keluar rumah, wajib memakai jilbab yang sempurna dan sesuai tuntunan syar’i.
4. Haram bagi wanita memakai pakaian yang ketat, tipis, dan tembus pandang karena dapat menggambarkan aurat dan menampakkan bentuk tubuh.
5. Busana muslimah dengan mode-mode yang ketat, tipis, tembus pandang, adalah busana yang tidak syar’i.
6. Wanita adalah fitnah yang sangat berbahaya bagi laki-laki.
7. Perangkap setan untuk merusak manusia adalah wanita, sebab dengan terbukanya aurat wanita, maka wanita dan laki-laki akan menjadi rusak.
8. Wanita dianjurkan untuk tetap tinggal di rumahnya berdasarkan ayat dalam al-Qur-an Surat al-Ahzâb ayat ke-33.
9. Bila wanita keluar dari rumahnya, maka dia menjadi perangkap setan.
10. Setan menghiasi wanita, baik bagian depan maupun bagian belakangnya
11. Wanita lebih dekat kepada Allâh Azza wa Jalla bila berada di dalam rumahnya.
12. Shalat wanita di dalam rumahnya lebih baik daripada di masjid.
13. Bila wanita ingin ke masjid, maka dia tidak boleh memakai parfum, bersolek, dan lainnya, namun rumah mereka lebih baik bagi mereka.

MARAAJI’

1. al-Qur’ûnul Karîm.
2. Tafsîr Ibnu Katsîr, cet. Daar Thaybah.
3. Kutubussittah.
4. al-Mu’jamul Ausâth, Imam ath-Thabrani.
5. Shahîh Ibni Khuzaimah.
6. Shahîh Ibni Hibbân (at-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibbân).
7. Syarhus Sunnah, Imam al-Baghawi.
8. Fat-hul Bâri, cet. Daarul Fikr.
9. al-Âdâb Asy-Syar’iyyah, karya Ibnu Muflih. Tahqiq: Syu’aib al-Arna-uth dan Umar al-Qayyam, Mu-assasah ar-Risalah
10. at-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ish Shaghîr, karya Imam as-Shan’ani. Tahqiq: DR. Muhammad Ishaq Muhammad Ibrahim.
11. Nailul Authâr, Imam asy-Syaukani.
12. Irwâ-ul Ghalîl
13. Jilbâbul Mar-atil Muslimah
14. ar-Raddul Mufhim ‘ala Man Khâlafal ‘Ulamaa` wa Tasyaddada wa Ta’ashshaba wa Alzama al Mar-ata an Tastura Wajhaha wa Kaffaiha wa Aujaba wa lam Yaqna’ Biqaulihim Innahu Sunnatun, Syaikh al-Albani, cet. Maktabah al-Islamiyyah.
15. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
16. Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb.
17. Fiqhus Sunnah lin Nisâ’.

[.]
________
Footnote
[1]. at-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ish Shaghîr (X/474), karya Imam as-Shan’ani. Tahqiq: DR. Muhammad Ishaq Muhammad Ibrahim.
[2]. Tafsîr Ibnu Katsiir (III/399-400), cet. Daar Thaybah.
[3]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 2795, 2797), Abu Dâwud (no. 4014), dan al-Bukhâri secara ta’lîq dalam Fat-hul Bâri (I/478-479). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ-ul Ghalîl (I/297-298).
[4]. Shahih: HR. Ahmad (I/275), at-Tirmidzi (no. 2796),dan al-Bukhari secara ta’liq dalam Fat-hul Bâri (I/478-479), cet. Daarul Fikr. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ-ul Ghalîl (I/297-298).
[5]. Shahih: HR. Muslim (no.338 [74]) dan at-Tirmidzi (no. 2793).
[6]. Hasan: HR. Abu Dawud (no. 4017), at-Tirmidzi (no. 2769, 2794), Ibnu Majah (no. 1920), Ahmad (V/3-4), dan lainnya.
[7]. Hasan lighairihi: HR. Abu Dawud (no. 4104). Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dengan beberapa syawâhid (penguat)nya. Lihat kitab Jilbâbul Mar-atil Muslimah (hlm. 57-60).
[8]. Shahih: HR. Muslim (no. 885), an-Nasa-i (I/233), dan Ahmad (III/318).
[9]. Shahih:HR. al-Bukhâri (no. 6228) dan Muslim (no. 1218).
[10]. Al-Muhalla (III/218.
[11]. Shahih:HR. al-Bukhâri (no. 578) dan Muslim (no. 645).
[12]. Fiqhus Sunnah lin Nisâ’ (hlm. 382-385), karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim.
[13]. Lihat masalah ini dalam kitab Jilbâbul Mar-atil Muslimah, al-Maktabah al-Islamiyyah, dan kitab ar-Raddul Mufhim cet. Maktabah al-Islamiyyah. Kedua kitab ini karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah .
[14]. al-Âdâb Asy-Syar’iyyah (I/296), karya Ibnu Muflih. Tahqiq: Syu’aib al-Arna-uth dan Umar al-Qayyam, Mu-assasah ar-Risalah.
[15]. Shahih: HR. Muslim (no. 2159), Abu Dâwud (no. 2148), at-Tirmidzi (no. 2776), dan Ibnu Hibbân (no. 5571).
[16]. Disebutkan oleh Syaikh Muhyiddin an-Nawawi dan beliau tidak menambahkannya. Lihat Syarh Shahîh Muslim (XIV/139).
[17]. Nailul Authâr (XII/56), Imam asy-Syaukani, tahqiq Muhammad Subhi bin Hasan Hallaq.
[18]. Shahih:HR. Abu Dawud (no. 567), Ahmad (II/76-77), Ibnu Khuzaimah (no. 1684), al-Baihaqi (III/131), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 864).
[19]. Shahih:HR. Abu Dawud (no. 565), Ahmad (II/438), al-Humaidi (no. 978), Ibnu Khuzaimah (no. 1679), dan lainnya. Lafazh ini milik Abu Dâwud. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ-ul Ghalîl (no. 515).
[20]. Shahih: HR. Muslim (no. 444), Abu Dâwud (no. 4175), dan an-Nasa-i (VIII/154).
[21]. Kata اَلْمَخْدَعُ (al-Makhda’) artinya ruang khusus yang terletak di bagian paling ujung (tersembunyi) di dalam rumahnya. (Faidhul Qadîr, VI/293, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah)
[22]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 570) dan Ibnu Khuzaimah (no. 1690).

Selasa, 22 November 2016

Adab-Adab Keluar Rumah Bagi Seorang Wanita

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, telah mengatur sedemikian rupa berkenaan dengan keutamaan dan batasan-batasan sesuai syari’at tentang apa yang seharusnya dikerjakan dan ditinggalkan oleh para wanita


ilustrasi gambar by google


Bismillahirrahmanirrahim

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, telah mengatur sedemikian rupa berkenaan dengan keutamaan dan batasan-batasan sesuai syari’at tentang apa yang seharusnya dikerjakan dan ditinggalkan oleh para wanita.

Adapun Islam telah mengatur mengenai adab-adab keluar bagi seorang wanita, yaitu:

·         Berhijab (memakai hijab yang syar’i)
·         Tidak memakai wewangian
·         Pelan-pelan dalam berjalan, agar tidak terdengar suara sendalnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ

“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan”. (QS. An-Nuur: 31)

Dan pada masa sekarang ini, dengan adanya sepatu atau sandal yang bertumit atau berhak tinggi dan kita dapati para wanita memakainya, sehingga terdengarlah suara sandal atau sepatunya tersebut. kadang ia bertingkah genit dalam berjalan dan bernarlah apa yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

“Wanita adalah aurat, maka jika ia keluar syaithan akan mengikutinya”.

·         Ketika berjalan bersama saudarinya dan di sana ada para pria, maka janganlah bercakap-cakap dengan saudarinya tersebut. Bukan berarti bahwa suara wanita adalah aurat, tetapi bagi sebagian pria mendengar suara wanita itu terkadang bisa menimbulkan fitnah.
·         Hendaklah meminta izin kepada suaminya, jika ia telah berkeluarga.
·         Apabila jaraknya sejauh jarak safar, maka janganlah ia keluar, kecuali bersama mahram
·         Jangan berdesak-desakan dengan pria.
·         Hendaknya ia menundukan pandangannya.
·         Janganlah menanggalkan pakaiannya di selain rumahnya, jika bermaksud untuk tampil cantik (berhias) dengan perbuatan itu.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ وَضَعَتْ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا فَقَدْ هَتَكَتْ سِتْرَ مَا بَيْنَها وَ بَيْنَ اللهِ

“Wanita mana saja yang menanggalkan pakaiannya di selain rumah suaminya, maka sungguh ia telah membuka penutupnya antara dia dengan Rabb-nya”. (Hadits Shahih)


Referensi: Ummu Abdillah al-Wadi’iyyah



Minggu, 20 November 2016

Jilbab Wanita Muslimah, Bukan Untuk Berhias

maksud perintah mengenakan jilbab adalah perintah untuk menutup perhiasan wanita. Dengan demikian, tidaklah masuk akal bila jilbab yang berfungsi untuk menutup perhiasan wanita itu malah menjadi pakaian untuk berhias, sebagaimana sering kita temukan


ilustrasi gambar by google

 وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ

“Janganlah mereka menampakan perhiasan mereka.”

Secara umum ayat ini mengandung larangan menghiasi pakaian yang dipakainya sehingga menarik perhatian laki-laki. Ayat ini juga dikuatkan oleh firman Allah yang tersebut di dalam surat Al-Ahzab ayat 33:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ

“Dan hendaklah kalian tetap tinggal di rumah! Juga, janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dulu!”

Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ثلاثة لا تسأل عنهم : رجل فارق الجماعة وعصى إمامه ومات عاصيا وأمة أو عبد أبق فمات وامرأة غاب عنها زوجها قد كفاها مؤنة الدنيا فتبرجت بعده فلا تسأل عنهم

“Ada tiga golongan manusia yang tidak ditanya, (karena mereka sudah pasti termasuk orang-orang yang celaka): pertama, seorang laki-laki yang meninggalkan jama’ah dan mendurhakai imamnya serta meninggal dalam kedurhakaan itu; kedua, seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri meninggalkan pemiliknya, lalu dia mati; ketiga, wanita yang ditinggal pergi oleh suaminya, dimana suaminya itu telah mencukupi kebutuhan duniawinya, namun (ketika suaminya tidak ada itu) dia bertabarruj. Ketiga orang itu tidak akan ditanya.”

Tabarruj adalah perbuatan wanita menampakkan perhiasan dan kecantikannya, serta segala sesuatu yang seharusnya ditutup dan disembunyikan karena bisa membangkitkan syahwat laki-laki.

Jadi, maksud perintah mengenakan jilbab adalah perintah untuk menutup perhiasan wanita. Dengan demikian, tidaklah masuk akal bila jilbab yang berfungsi untuk menutup perhiasan wanita itu malah menjadi pakaian untuk berhias, sebagaimana sering kita temukan.

Berkaitan dengan hal ini, Imam Adz-Dzahabi di dalam kitab Al-Kabair hlm. 131 berkata: “Di antara perbuatan yang menyebabkan wanita akan mendapatkan laknat adalah: menampakkan perhiasan emas dan mutiara yang berada dibalik niqab (tutup kepalanya)nya, memakai berbagai wangi-wangian, seperti misik, anbar dan thib ketika keluar  rumah, memakai berbagai kain yang dicelup, memakai pakaian sutera, memanjangkan baju dan melebarkan serta memanjangkan lengannya. Semua itu termasuk bentuk tabarruj yang dibenci Allah, yang pelakunya akan mendapatkan murka Allah di dunia dan di akhirat. Karena perbuatan-perbuatan tersebut banyak dilakukan oleh kaum wanita, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mereka:

اطَّلَعْتُ فِى الْجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الْفُقَرَاءَ وَاطَّلَعْتُ فِى النَّارِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاء

“Saya pernah menengok ke neraka, dan ternyata kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita.”

Hadits ini adalah hadits shahih, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim dan lainnya dari Imran bin Hushain dan lainnya.

Ahmad dan lainnya dari Ibnu Amru secara marfu’ menambahkan:”…. Dan orang-orang kaya.” Namun tambahan di atas munkar (tertolak), sebagaimana telah saya tahqiq di dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (hadits no.2800) jilid VI.

Saya katakan: Begitu kerasnya Islam melarang perbuatan tabarruj sehingga disetarakan dengan perbuatan syirik, zina, mencuri dan perbuatan-perbuatan haram lainnya. Hal itu karena ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at para wanita beliau menegaskan agar mereka tidak melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.

Abdullah bin Amru pernah mengisahkan: “Umaimah bintu Ruqaiqah pernah datang berbai’at kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Saya membai’at kamu untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anakmu, tidak membuat-buat kedustaan yang dibuat dengan kedua tangan dan kedua kakimu, tidak meratap, dan tidak ber-tabarruj seperti dilakukan wanita-wanita jahiliyah dulu.”

Namun perlu diketahui, bahwa sama sekali bukanlah termasuk kategori perhiasan jika pakaian yang dipakai oleh seorang wanita itu tidak berwarna putih dan hitam. Ini perlu saya tegaskan, karena hal ini terkadang disalahpahami oleh sebagian kaum wanita yang ingin berkomitmen (dengan agamanya). Alasannya adalah:

Pertama, adanya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

طِيبُ النِّسَاءِ مَا ظَهَرَ لَوْنُهُ وَخَفِيَ رِيحُهُ

“Parfum wanita adalah yang tampak warnanya namun tersembunyi baunya” (Hadits ini tersebut di dalam kitab Mukhtashar Asy-Syamail, hadits no. 188)

Kedua, adanya praktek para wanita sahabat yang memakai pakaian yang berwarna selain hitam dan putih. Berikut ini saya kemukakan beberapa riwayat yang menunjukkan hal itu yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab Al-Mushannaf (VIII: 371-372):

·         Dari Ibrahim, yaitu Ibrahim An-Nakha’i, bahwa pernah dia bersama Al-Qamah dan Al-Aswad mengunjungi para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia melihat mereka mengenakan pakaian-pakaian panjang berwarna merah.
·         Dari Ibnu Abi Mulaikah, dia berkata, “Saya pernah melihat Ummu Salamah mengenakan baju dan pakaian panjang berwarna kuning.”
·         Dari Al-Qasim, yaitu Ibnu Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq, bahwa Aisyah pernah mengenakan pakaian yang berwarna kuning, padahal dia sedang melakukan ihram.
·         Dari Hisyam, dari Fathimah bintu Al-Mundzir, bahwa Asma’ pernah memakai pakaian yang berwarna kuning padahal dia sedang ihram.
·         Dari Sa’id bin Jubair bahwa dia pernah melihat sebagian dari istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam thawaf mengelilingi ka’bah dengan mengenakan pakaian berwarna kuning.

Refrensi:
“Jilbab Wanita Muslimah” (edisi terjemah), Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

AlMarfu’ menurut bahasa merupakan  isim maf’ul  dari kata  rafa’a  (mengangkat), dan ia sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Hadits Marfu’ menurut istilah adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum (disebut marfu’ = marfu’ hukman), baik yang menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus).
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa hadits marfu’ ada 8 macam, yaitu : berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat. Masing-masing dari yang empat macam ini mempunyai bagian lagi, yaitu : marfu’ secara tashrih (tegas dan jelas), dan marfu’ secara hukum.
Marfu’ secara hukum maksudnya adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan marfu’, namun dihukumkan marfu’ karena bersandar pada beberapa indikasi.

Tahqiq berbeda dengan Takhrij. Takhrij adalah menunjukkan atau menisbatkan hadits kepada sumber-sumbernya yang asli, yang mengeluarkannya dengan sanadnya. Sedangkan Tahqiq adalah semakna dengan Tadqiq (pemeriksaan secara seksama dan detil) di mana sebagian ulama menghampiri sebuah Makhthuth (Manu script) dari kitab-kitab karangan ulama ingin mencetaknya, akan tetapi cetakan ini perlu adanya naskah dengan tulisan yang baik, maka sang Muhaqqiq (orang yang melakukan Tahqiq) mengajukannya untuk dicetak, lalu mengevaluasi cetakan itu dan meneliti harakat naskahnya. Bila terdapat kata-kata yang perlu untuk dijelaskan, maka ia harus menjelaskannya dan bila terdapat kata-kata yang salah tulis oleh nasikh (pemindah tulisan asli), maka ia harus membetulkannya, lalu menyiratkan kepada upaya yang dilakukannya dalam tahqiq dan pembetulan ini.
Mengeluarkan nash secara benar dan tanpa cacat dengan Tadqiq dan pembetulan ini dinamakan Tahqiq. Mudah-mudahan dengan ini perbedaan antara takhrij dan tahqiq menjadi jelas.

Benarkah Ajaran Memakai Cadar Tidak Ada Di Zaman Nabi?


Cadar atau penutup wajah telah ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlepas apakah menutup wajah merupakan suatu yang wajib ataukah sunnah.








Bukti Adanya Ajaran Cadar dalam Islam
Kita dapat melihat dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita yang akan berihrom. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada para wanita,

لاَ تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ الْقَفَّازَيْنِ

“Wanita yang berihrom itu tidak boleh mengenakan niqob maupun kaos tangan.”

Niqob adalah kain penutup wajah mulai dari hidung atau dari bawah lekuk mata ke bawah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ketika menafsirkan surat An Nur berkata, “Ini menunjukan bahwa cadar dan kaos tangan biasa dipakai oleh wanita-wanita yang tidak sedang berihrom. Hal itu menunjukan bahwa mereka itu menutup wajah dan kedua tangan mereka.”

Sebagai bukti lainnya, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menutup wajah-wajah mereka. Di antara riwayat tersebut adalah:

Pertama: Dari Asma’ binti Abu Bakr, dia berkata,

كنا نغطي وجوهنا من الرجال وكنا نمتشط قبل ذلك في الإحرام

“Kami biasa menutupi wajah kami dari pandangan laki-laki pada saat berihram dan sebelum menutupi wajah, kami menyisir rambut.”

Kedua: Dari Shafiyah binti Syaibah, dia berkata,

رَأَيْتُ عَائِشَةَ طَافَتْ بِالْبَيْتِ وَهِيَ مُنْتَقَبَةٌ

“Saya pernah melihat Aisyah melakukan thowaf mengelilingi ka’bah dengan memakai cadar.”

Ketiga: Dari Abdullah bin ‘Umar, beliau berkata,

لما اجتلى النبي صلى الله عليه وسلم صفية رأى عائشة منتقبة وسط الناس فعرفها

“Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperihatkan Shofiyah kepada para shahabiyah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Aisyah mengenakan cadar di kerumunan para wanita. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui kalau itu adalah Aisyah dari cadarnya.”

Juga hal ini dipraktekkan oleh orang-orang sholeh, sebagaimana terdapat dalam riwayat dari ‘Ashim bin Al Ahwal, katanya,

كَنَا نَدْخُلُ عَلى حَفْصَةَ بْنَتِ سِيْرِيْنَ وَقَدْ جَعَلَتِ الْجِلْبَابُ هَكَذَا : وَتَنَقَّبَتْ بِهِ فَنَقُوْلُ لَهَا : رَحِمَكِ اللهُ

“Kami pernah mengunjungi Hafshoh bin Sirin (seorang tabi’iyah yang utama) yang ketika itu dia menggunakan jilbabnya sekaligus menutup wajahnya. Lalu, kami katakan kepadanya ‘Semoga Allah merahmati engkau…”

Riwayat-riwayat di atas secara jelas menunjukan bahwa praktek menutup wajah sudah dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan istri-istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bercadar, juga wanita-wanita sholehah sepeninggal mereka mengenakannya.

Bukti dari Perkataan Ulama Syafi’iyah
Perkataan berikut adalah bukti-bukti bahwa cadar termasuk ajaran Islam sejak masa silam, bukan ajaran yang baru. Yang menyuarakan seperti ini adalah ulama besar Syafi’iyah yang banak jadi rujukan para kyai di negeri kita.

Pendapat Ibnu Hajar Al Asqolani
Beliau adalah di antara ulama besar Syafi’yah yang memiliki kitab rujukan kaum muslimin yaitu Fathul Bari sebagai penjelasan dari kitab Shahih Al Bukhari. Ibnu Hajar rahimahullahu pernah mengatakan, “Laki-laki sama sekali tidak diperintahkan untuk berniqob (memakai penutup wajah) agar wanita tidak melihat mereka. … Dari masa ke masa, laki-laki itu selalu terbuka wajahnya (tidak memakai penutup wajah), sedangkan wanita selalu keluar (rumah) dalam keadaan wajahnya tertutup.”

Pendapat Jalaluddin Muhammad bin Al Mahalli
Beliau adalah salah satu di antara dua penulis kitab tafsir Al Jalalain. Beliau menjelaskan surat Al Ahzab ayat 59, Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: (Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka).” (QS. Al Ahzab: 59).

Jilbab adalah pakaian yang menutupi wanita. Yaitu diberi keringanan menampakan satu mata saja ketika keluar (rumah) karena ada kebutuhan. Seperti itu lebih mudah dikenal sebagai orang merdeka, beda halnya dengan budak (yang wajahnya terbuka). Oleh karenanya, janganlah wanita yang menutup rapat auratnya disakiti, dia sungguh jauh berbeda dengan budak perempuan yang membuka wajahnya. Dan orang munfik dulu biasa menyindir (menganggu) wanita yang terbuka auratnya. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa kalian yang telah lalu karena enggan menutup aurat. Allah menyayangi kalian sehingga memerintahkan kalian untuk menutup aurat.

Pendapat Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abi Bakr As Suyuthi
Beliau adalah penulis kitab tafsir Al Jalalain bersama Jalaluddin Al Mahalli dan keduanya adalah ulama besar Syafi’iyah. Ketika menjelaskan surat Al Ahzab 59, beliau rahimahullahu menjelaskan tafsir firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang-orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilababnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak digangggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).

Ayat ini menerangkan perintah hijab bagi seluruh wanita. Maksud ayat tersebut adalah memerintahkan untuk menutup kepala dan wajah wanita. Sedangkan hal ini tidak diwajibkan atas budak wanita.

Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia membicarakan ayat tersebut dengan mengatakan, “Allah telah memerintahakan para wanita beriman jika mereka keluar karena ada hajat untuk menutup kepalanya dengan jilbab dan menampakkan satu mata saja.”

Demikian sebagian bukti bahwa ulama Syafi’iyah tidak menganggap aneh cadar (penutup wajah). Bahkan mereka menyatakan wanita memang harus demikian agar lebih menjaga diri mereka.

Bagaimanakah hukum menutup wajah itu sendiri? Apakah wajib atau sunnah?
Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang-orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilababnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak digangggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab 33: 59).

Jilbab bukanlah penutup wajah, namun jilbab adalah kain yang dipakai wanita setelah memakai khimar. Sedangkan khimar adalah penutup kepala.

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) Nampak dari padanya.” (QS. An Nuur 24: 31).

Berdasarkan tafsiran Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Atho’ bin Abi Robbah, dan Makhul Ad Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak tangan.

Dari tafsiran yang shohih di atas dapat disimpulkan bahwa wajah bukanlah aurat. Jadi, hukum menutup wajah adalah sunnah (dianjurkan).

Setelah kita ketahui bahwa hukum menutup wajah adalah sunnah, walau demikian tetap seorang muslim tidak boleh mencela orang yang bercadar. Karena sudah terbukti bahwa menutup wajah bagi muslimah termsuk ajaran Islam sehingga tidak boleh dicemooh.


Referensi : “Mengikuti Ajaran Nabi Bukanlah Teroris” -  karya Ust. Muhamamd Abduh Tuasikal



Titik Temu Perbedaan Pendapat Tentang Aurat Wanita yang Harus Ditutupi


Para ulama dari empat mazhab dan ulama lainnya sepakat bahwa menutup wajah bagi wanita muda merdeka ketika takut terjadinya fitnah hukumnya wajib

 Allah telah menetapkan aturan dalam ibadah dan hukum fikih. Allah telah menetapkan berbagai aturan dengan alasan dan ukuran yang berbeda-beda, bahkan dalam satu jenis ibadah saja seperti misalnya shalat, zakat, dan haji. Ketiganya memiliki hal yang wajib dan sunnah untuk dikerjakan. Di antara hal yang dikerjakan tersebut ada yang disepakati oleh para ulama dan ada yang diperselisihkan.

Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai hijab dan kewajiban wanita menutup aurat dengan pakaiannya, kami akan menjelaskan hal-hal yang disepakati oleh para ulama dalam hukum hijab dan pakaian wanita. Sehingga tidak seorang pun masuk ranah khilaf tanpa menghormati ijma’. Kami mendahulukan perkara qath’i (pasti) ketimbang perkara yang zhanni (dugaan). Oleh karena itu, kami mengajak pembaca untuk mengetahui letak perselisihan dalam masalah pakaian wanita dan hijabnya di hadapan lelaki yang bukan mahram. Kami katakan:

Para ulama sepakat bahwa hijab wanita dalam pengertian umum merupakan syariat dan pedoman yang sifatnya baku, qath’i, dan mutawatir dalam Al Qur’an dan As-Sunnah. Barangsiapa yang mengingkari aturan syariat dalam pakaian dan hijab wanita serta berkata, “Sungguh aturan berpakaian hanyalah budaya sehingga wanita bisa membuka dan menutup badan semaunya,” dia telah mengingkari perkara qath’i yang wajib diketahui oleh setiap muslim, seperti shalat, zakat dan haji.
Para ulama dari empat mazhab dan ulama lainnya sepakat bahwa menutup wajah bagi wanita muda merdeka ketika takut terjadinya fitnah hukumnya wajib. Khususnya di hadapan orang-orang yang berpotensi melepaskan pandangan liar kepada mereka. Hal ini tidak bisa dicegah kecuali dengan menutup wajahnya. Sekelompok ulama bersepakat akan hal ini, seperti Ibnu Raslan, Juwaini, [1] dan lainnya. Ibnu Raslan Asy-Syafi’i berkata, “Argumen mengenai perlunya kebolehan memandang itu dibatasi hanya dalam kondisi membutuhkan bahwa kaum muslimin bersepakat untuk melarang wanita keluar rumah dengan wajah terbuka. Khususnya ketika banyak orang fasik di sekitar mereka.”[2]
Para ulama dari empat mazhab dan ulama lainnya sepakat bahwa menutup wajah bagi wanita muda merdeka merupakan murni syariat rabani. Yang mereka perselisihkan adalah apa hukum orang yang tidak melaksankannya –dalam kondisi tidak ada potensi fitnah– apakah ia dianggap telah meninggalkan hal yang wajib sehingga berdosa, atau hanya seperti orang yang meninggalkan perkara sunnah?
Para ulama juga sepakat bahwa wanita tua boleh membuka wajahnya dengan syarat tidak memakai perhiasan di wajah. Namun menutup wajah bagi wanita tua lebih baik daripada membukanya, sesuai firman Allah:

و أن يستعففن خير لهن . . .

“…berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka (wanita tua)…” (QS. An-Nur: 60)

Para ulama sepakat bahwa aurat budak wanita tidak seperti aurat wanita merdeka. Aurat yang wajib ditutup oleh wanita merdeka tidak semuanya menjadi aurat wajib bagi budak wanita. Ijma’ ini dinyatakan oleh beberapa ulama, salah satunya Ibnu Abdilbar.[3]
Para ulama sepakat membedakan antara aurat satr (yang pada dasarnya wajib ditutup) dan aurat nazhar (pandangan), meskipun mereke berbeda pendapat dalam batasan aurat masing-masing. Aurat satr adalah anggota badan yang pada hakikatnya merupakan aurat dan harus ditutup. Sedangkan aurat nazhar adalah aurat yang ditutup demi menjaga pandangan orang lain meski pada hakikatnya bukanlah aurat.
Barangsiapa yang tidak membedakan antara aurat budak dan aurat wanita merdeka, juga antara aurat satr dan aurat nazhar, maka asas hukumnya dalam perkara ini akan rancu. Ia juga akan mengalami kerancuan dalam memahami cabang-cabang hukumnya dan tidak memahami perkataan fuqaha sebagaimana mestinya.



[1]  Nihayatul Mathlab (XII/31)
[2] Ibnu Raslan menukilnya dari Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud (XI/162)
[3] Lihat Al-Istidzkar (XXVII/290)




Syubhat Penghalang Berhijab: “Saya Belum Mantap Berhijab”

Diantara Muslimah ada yang mengatakan: “Demi Allah, saya belum mantap berhijab"



Hal ini lebih tepat digolongkan kepada syahwat dan menuruti hawa nafsu daripada disebut syubhat. Jika salah seorang muslimah yang belum menaati perintah berhijab ditanya, mengapa ia tidak mengenakan hijab? Di antaranya ada yang menjawab: “Demi Allah, saya belum mantap berhijab. Jika saya telah merasa mantap dengannya, saya akan berhijab, insya Allah”.

Duhai saudariku muslimah yang berdalih dengan syubhat ini hendaknya bisa membedakan antara dua hal, yakni antara perintah Allah Jalla Jalaaluhu dengan perintah manusia.

Jika perintah itu datangnya dari manusia, maka manusia bisa salah dan bisa benar. Imam Malik berkata: “Dan setiap orang bisa diterima ucapannya dan juga bisa ditolak, kecuali (perkataan) orang yang ada di dalam kuburan ini.” Yang dimaksudkan adalah Rasulullah Shallallaahu’alaihi wa Sallam.

Selagi masih dalam bingkai perkataan manusia, maka seseorang tidak bisa dipaksa untuk menerima. Karenanya, dalam hal ini, setiap orang bisa berucap “belum mantap”, dan ia tidak bisa dihukum karenanya.

Adapun jika perintah itu merupakan salah satu dari perintah-perintah Allah Jalla Jalaaluhu , dengan kata lain Allah yang memerintahkan di dalam kitab-Nya, atau memerintahkan hal tersebut melalui nabi-Nya agar disampaikan kepada umatnya, maka tidak ada tempat bagi manusia untuk mengatakan “saya belum mantap”.

Bila ia masih mengatakan hal itu dengan penuh keyakinan padahal ia sendiri tahu bahwa perintah tersebut ada di dalam kitab Allah Ta’ala, maka hal tersebut berpotensi untuk menyeretnya pada bahaya yang sangat besar, yakni keluar dari agama Allah, sementara dia tidak menyadarinya. Sebab dengan begitu, berarti ia tidak percaya dan meragukan kebenaran perintah tersebut. Maka, itu adalah ungkapan yang sangat berbahaya.

Seandainya ia berkata “Aku wanita kotor”, “Jiwaku rapuh”, “Hasratku untuk itu sangat lemah”, tentu ungkapan-ungkapan ini dan yang sejenisnya, tidak bisa disejajarkan dengan ucapan “Aku belum mantap”.

Sebab ungkapan-ungkapan tersebut merupakan pengakuan atas kelemahan, kesalahan dan kemaksiatan dirinya. Ia tidak menghukumi dengan salah atau benar terhadap perintah Allah secara semaunya. Juga tidak termasuk yang mengambil sebagian perintah Allah dan mencampakkan yang lain.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينً

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata” (Al-Ahzab: 36).

Sikap yang Dituntut
Ketika seorang hamba mengaku beriman kepada Allah, percaya bahwa Allah lebih bijaksana dan lebih mengetahui dalam penetapan hukum daripada dirinya –sementara dia adalah sangat miskin dan sangat lemah– maka jika telah datang perintah Allah, tidak ada pilihan lain baginya kecuali menaati perintah tersebut. Ketika mendengar perintah Allah, sebagai seorang mukmin atau mukminah, mereka wajib mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang yang beriman.

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya’, dan mereka mengatakan: ‘Kami dengar dan Kami taat.’mereka berdoa): ‘Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’” (Al-Baqarah: 285).

Ketika Allah memerintahkan kita dengan suatu perintah, Dia Maha Mengetahui bahwa perintah itu untuk kebaikan kita dan salah satu sebab bagi tercapainya kebahagiaan kita. Demikian pula halnya dengan ketika memerintah wanita, Dia Maha Mengetahui bahwa itu adalah sebab bagi tercapainya kebahagiaan, kemuliaan, dan keagungan wanita.

Allah Ta’ala Maha Mengetahui, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, mengetahui sejak sebelum manusia diciptakan, juga mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang dengan tanpa batas, mengetahui apa yang tidak akan terjadi dari berbagai peristiwa, juga Dia mengetahui andaikata peristiwa tersebut terjadi, apa yang bakal terjadi selanjutnya.

Dengan kepercayaan seperti ini, yang merupakan keyakinan kita umat Islam, apakah patut dan masuk akal kita menolak perintah Allah Yang Mahaluas Ilmu-Nya, selanjutnya kita menerima perkataan manusia yang memiliki banyak kekurangan, dan ilmunya sangat terbatas?


Diketik ulang  tanpa mengubah makna dari buku :  “Saudariku, Apa yang Menghalangimu Berhijab?” karya Abdul Hamid Al-Bilaly

Hijab,Ibadah atau Budaya?

Banyak klaim yang menyatakan bahwa hijab seorang wanita dan menutup aurat merupakan budaya dan adat, bukan ibadah dan agama



Manusia tidak berselisih bahwa menutup tubuh merupakan fitrah manusia yang telah tertanam dalam diri mereka, meskipun tidak ada panas, dingin, ataupun hujan. Bahkan meskipun tidak seorang pun melihatnya. Manusia lebih suka memakai pakaian dan berhias meskipun itu hanya dinikmati oleh dirinya sendiri.

Pada zaman dahulu, Adam dan Hawa menutup aurat mereka meski ketika itu tidak ada orang lain. Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menjelaskan bahwa hukuman tersingkapnya baju mereka adalah supaya mereka saling memandang aurat mereka tanpa berniat melakukannya.

يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءتهمَ

“… Ia tanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya.” (Al-A’raf [7]: 27)

Namun manusia berbeda pendapat dalam menetapkan batas fitrah ini, yaitu area badan yang harus ditutup.

Tergantung kepada dalil, akal, dan budaya yang mengatur mereka ataupun syahwat dan syubhat yang menguasai diri mereka.

Ketika fitrah menutup aurat menjadi sasaran tarik-menarik antara akal, hawa nafsu, syubhat, serta tipuan setan, syariat Allah datang sebagai pedoman dan keputusan melalui nash-nash yang terdapat pada syariat dan risalah nabi di setiap zaman.

Nash-nash mengenai hal ini banyak tercantum dalam Al Qur’an dan As-Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan bahwa membuka aurat dan menonjolkan daya tarik tubuh merupakan rencana iblis dan bala tentaranya untuk menyesatkan Adam dan keturunannya, Allah berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءَاتِهِمَا

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya.” (QS:Al-A’raf : 27).

Dalam jiwa manusia, syariat jauh lebih terhormat dan terjaga daripada budaya, meskipun mereka masih banyak kekurangan dalam mempraktikkan agama dalam perbuatan lahir. Karena budaya manusia berubah seiring pergantian generasi, sedangkan agama tetap bertahan dalam jiwa mereka meski terkadang pergi dan terkadang kembali.  Adapun budaya, jika telah pergi niscaya tidak akan kembali lagi.

Menutup aurat –termasuk hijab bagi wanita– merupakan ibadah rabbani yang selaras dengan fitrah manusia. Salah satu metode setan dan sekutunya adalah mengatakan bahwa berhijab bukan ibadah melainkan sekadar budaya, sehingga mudah dipermainkan keinginan hawa nafsu. Sifat hawa nafsu itu seperti angin, hanya membawa terbang hal-hal kecil. Meringankan perkara berat, lalu menghilangkannya, lebih mudah dibandingkan menghilangkan perkara berat.

Banyak klaim yang menyatakan bahwa hijab seorang wanita dan menutup aurat merupakan budaya dan adat, bukan ibadah dan agama. Sebuah ibadah tidak mungkin dihancurkan kecuali dengan dibuang dalilnya. Jika dalil-dalilnya kuat maka tidak mungkin dihancurkan kecuali dengan menentang seluruh syariat. Karena barangsiapa yang menentang satu saja ajaran penting dalam Islam, seolah-olah dia telah menentang Islam secara keseluruhan.