Cadar atau penutup wajah telah ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlepas apakah menutup wajah merupakan suatu yang wajib ataukah sunnah.
Bukti Adanya Ajaran Cadar dalam Islam
Kita dapat melihat dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentang wanita yang akan berihrom. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda pada para wanita,
لاَ تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ
الْمُحْرِمَةُ
وَلاَ
تَلْبَسِ
الْقَفَّازَيْنِ
“Wanita yang berihrom itu tidak boleh mengenakan niqob maupun kaos
tangan.”
Niqob adalah kain penutup wajah mulai dari hidung atau dari
bawah lekuk mata ke bawah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ketika
menafsirkan surat An Nur berkata, “Ini menunjukan bahwa cadar dan kaos tangan
biasa dipakai oleh wanita-wanita yang tidak sedang berihrom. Hal itu menunjukan
bahwa mereka itu menutup wajah dan kedua tangan mereka.”
Sebagai bukti lainnya, dalam beberapa riwayat disebutkan
bahwa istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menutup wajah-wajah
mereka. Di antara riwayat tersebut adalah:
Pertama: Dari Asma’ binti Abu Bakr, dia berkata,
كنا نغطي وجوهنا
من
الرجال
وكنا
نمتشط
قبل
ذلك
في
الإحرام
“Kami biasa menutupi wajah kami dari pandangan laki-laki pada saat
berihram dan sebelum menutupi wajah, kami menyisir rambut.”
Kedua: Dari Shafiyah binti Syaibah, dia berkata,
رَأَيْتُ عَائِشَةَ
طَافَتْ
بِالْبَيْتِ
وَهِيَ
مُنْتَقَبَةٌ
“Saya pernah melihat Aisyah melakukan thowaf mengelilingi ka’bah dengan
memakai cadar.”
Ketiga: Dari Abdullah bin ‘Umar, beliau berkata,
لما اجتلى النبي
صلى
الله
عليه
وسلم
صفية
رأى
عائشة
منتقبة
وسط
الناس
فعرفها
“Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperihatkan Shofiyah
kepada para shahabiyah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Aisyah
mengenakan cadar di kerumunan para wanita. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengetahui kalau itu adalah Aisyah dari cadarnya.”
Juga hal ini dipraktekkan oleh orang-orang sholeh,
sebagaimana terdapat dalam riwayat dari ‘Ashim bin Al Ahwal, katanya,
كَنَا نَدْخُلُ عَلى
حَفْصَةَ
بْنَتِ
سِيْرِيْنَ
وَقَدْ
جَعَلَتِ
الْجِلْبَابُ
هَكَذَا
: وَتَنَقَّبَتْ
بِهِ
فَنَقُوْلُ
لَهَا
: رَحِمَكِ
اللهُ
“Kami pernah mengunjungi Hafshoh bin Sirin (seorang tabi’iyah yang
utama) yang ketika itu dia menggunakan jilbabnya sekaligus menutup wajahnya.
Lalu, kami katakan kepadanya ‘Semoga Allah merahmati engkau…”
Riwayat-riwayat di atas secara jelas menunjukan bahwa
praktek menutup wajah sudah dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan istri-istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bercadar, juga
wanita-wanita sholehah sepeninggal mereka mengenakannya.
Bukti dari Perkataan Ulama Syafi’iyah
Perkataan berikut adalah bukti-bukti bahwa cadar termasuk
ajaran Islam sejak masa silam, bukan ajaran yang baru. Yang menyuarakan seperti
ini adalah ulama besar Syafi’iyah yang banak jadi rujukan para kyai di negeri
kita.
Pendapat Ibnu Hajar
Al Asqolani
Beliau adalah di antara ulama besar Syafi’yah yang memiliki
kitab rujukan kaum muslimin yaitu Fathul Bari sebagai penjelasan dari kitab
Shahih Al Bukhari. Ibnu Hajar rahimahullahu pernah mengatakan, “Laki-laki sama
sekali tidak diperintahkan untuk berniqob (memakai penutup wajah) agar wanita
tidak melihat mereka. … Dari masa ke masa, laki-laki itu selalu terbuka
wajahnya (tidak memakai penutup wajah), sedangkan wanita selalu keluar (rumah)
dalam keadaan wajahnya tertutup.”
Pendapat Jalaluddin
Muhammad bin Al Mahalli
Beliau adalah salah satu di antara dua penulis kitab tafsir
Al Jalalain. Beliau menjelaskan surat Al Ahzab ayat 59, Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ
قُلْ
لِأَزْوَاجِكَ
وَبَنَاتِكَ
وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ
يُدْنِينَ
عَلَيْهِنَّ
مِنْ
جَلَابِيبِهِنَّ
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: (Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka).” (QS. Al Ahzab: 59).
Jilbab adalah pakaian yang menutupi wanita. Yaitu diberi
keringanan menampakan satu mata saja ketika keluar (rumah) karena ada
kebutuhan. Seperti itu lebih mudah dikenal sebagai orang merdeka, beda halnya
dengan budak (yang wajahnya terbuka). Oleh karenanya, janganlah wanita yang
menutup rapat auratnya disakiti, dia sungguh jauh berbeda dengan budak
perempuan yang membuka wajahnya. Dan orang munfik dulu biasa menyindir
(menganggu) wanita yang terbuka auratnya. Sesungguhnya Allah mengampuni
dosa-dosa kalian yang telah lalu karena enggan menutup aurat. Allah menyayangi
kalian sehingga memerintahkan kalian untuk menutup aurat.
Pendapat Jalaluddin
‘Abdurrahman bin Abi Bakr As Suyuthi
Beliau adalah penulis kitab tafsir Al Jalalain bersama
Jalaluddin Al Mahalli dan keduanya adalah ulama besar Syafi’iyah. Ketika
menjelaskan surat Al Ahzab 59, beliau rahimahullahu menjelaskan tafsir firman
Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ
قُل
لِّأَزْوَاجِكَ
وَبَنَاتِكَ
وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ
يُدْنِينَ
عَلَيْهِنَّ
مِن
جَلَابِيبِهِنَّ
ۚ
ذَٰلِكَ
أَدْنَىٰ
أَن
يُعْرَفْنَ
فَلَا
يُؤْذَيْنَ
ۗ
وَكَانَ
اللَّهُ
غَفُورًا
رَّحِيمًا
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu,
dan isteri-isteri orang-orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilababnya
ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak digangggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).
Ayat ini menerangkan perintah hijab bagi seluruh wanita.
Maksud ayat tersebut adalah memerintahkan untuk menutup kepala dan wajah
wanita. Sedangkan hal ini tidak diwajibkan atas budak wanita.
Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, ia membicarakan ayat tersebut dengan mengatakan, “Allah
telah memerintahakan para wanita beriman jika mereka keluar karena ada hajat
untuk menutup kepalanya dengan jilbab dan menampakkan satu mata saja.”
Demikian sebagian bukti bahwa ulama Syafi’iyah tidak
menganggap aneh cadar (penutup wajah). Bahkan mereka menyatakan wanita memang
harus demikian agar lebih menjaga diri mereka.
Bagaimanakah hukum menutup wajah itu sendiri? Apakah wajib atau sunnah?
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ
قُل
لِّأَزْوَاجِكَ
وَبَنَاتِكَ
وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ
يُدْنِينَ
عَلَيْهِنَّ
مِن
جَلَابِيبِهِنَّ
ۚ
ذَٰلِكَ
أَدْنَىٰ
أَن
يُعْرَفْنَ
فَلَا
يُؤْذَيْنَ
ۗ
وَكَانَ
اللَّهُ
غَفُورًا
رَّحِيمًا
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu,
dan isteri-isteri orang-orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilababnya
ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak digangggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab 33: 59).
Jilbab bukanlah penutup wajah, namun jilbab adalah kain yang
dipakai wanita setelah memakai khimar. Sedangkan khimar adalah penutup kepala.
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ
مِنْ
أَبْصَارِهِنَّ
وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ
وَلَا
يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ
إِلَّا
مَا
ظَهَرَ
مِنْهَا
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) Nampak dari padanya.” (QS. An Nuur 24: 31).
Berdasarkan tafsiran Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Atho’ bin Abi
Robbah, dan Makhul Ad Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan
kedua telapak tangan.
Dari tafsiran yang shohih di atas dapat disimpulkan bahwa
wajah bukanlah aurat. Jadi, hukum menutup wajah adalah sunnah (dianjurkan).
Setelah kita ketahui bahwa hukum menutup wajah adalah
sunnah, walau demikian tetap seorang muslim tidak boleh mencela orang yang
bercadar. Karena sudah terbukti bahwa menutup wajah bagi muslimah termsuk
ajaran Islam sehingga tidak boleh dicemooh.
0 komentar:
Posting Komentar