Tampilkan postingan dengan label Realita Hidup. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Realita Hidup. Tampilkan semua postingan

Kamis, 31 Agustus 2017

Bukannya Sudah Bosan, Kami Kadang Memang Butuh Waktu Buat Sendiri. Cewek Tolong Mengerti

Pada dasarnya, baik cowok maupun cewek butuh waktu khusus untuk dirinya sendiri. Apapun alasannya, mereka perlu untuk diberi kebebasan tanpa terikat dengan orang lain. Berbeda dengan cewek, cowok punya kecenderungan yang lebih besar untuk bisa ‘lepas’ dari keterikatan dengan seseorang, terutama pasangan. Nah lho, nyengir ‘kan?

Sayangnya, seringkali si cewek langsung panik ketika cowoknya secara tiba-tiba menarik diri dan menjauh. Alasannya bisa bermacam-macam, mulai dari keluarga, pekerjaan atau karena sudah mendapatkan “apa yang diinginkannya”. Sampai di titik ini, kisah cinta yang begitu indah akan seketika berubah.


Banyak pertanyaan yang muncul atas karakter cowok yang satu ini. Kenapa sih cowok tiba-tiba menarik diri? Kenapa sih cowok justru menjauh di saat yang nggak tepat? Nah, ini dia alasan kuat yang bikin “me time” seorang cowok nggak bisa diganggu gugat.

image search by google
  • Ketika terlalu mesra dan kehilangan jati diri, ini waktunya cowok untuk menyendiri. 
  • Seiring dengan berjalannya waktu, di saat kemesraan cowok dengan pasangannya mencapai puncaknya, secara tiba-tiba cowok akan merasa kehilangan jati dirinya. Hal ini dirasakan cowok seperti ada yang mengganjal dalam hatinya yang bahkan dia sendiri nggak tahu penyebabnya. Di saat itulah cowok perlu untuk menyendiri, mencari jawaban atas kegundahan hati.
  • Ini adalah siklus cinta cowok, maju-mundur dengan kekuatan penuh.

  • Ketika seorang cowok jatuh cinta, maka dia akan berusaha mendapatkan dambaan hatinya. Dia menelepon, memberi hadiah, memperhatikan, dan mengajak kencan. Ketika si cewek menerima cintanya, si cowok pelan-pelan menarik dirinya untuk memuaskan kebutuhannya akan kebebasan.

Dalam hubungan cinta, cowok diibaratkan dengan karet gelang. Molor dan mengerut kembali pada waktunya. Molor sampai batas maksimal, kemudian mengerut kembali dengan kekuatan maksimal pula. Siklus ini meliputi mendekat, menarik diri, lalu mendekat lagi. Atau maju, mundur, maju, mundur, maju, mundur seumur hidup mereka
Setelah puas memisahkan diri, secara tiba-tiba dia merasakan kebutuhan akan cinta dan kehangatan. Saat cowok mendekat kembali, dia akan melanjutkan hubungan pada tingkat kehangatan yang sama dengan saat dia menarik diri. Si cowok nggak merasa perlu mengulangi hubungan dari awal lagi. Ajaib, bukan?

Cowok adalah makhluk yang aktif, dia nggak bisa hidup dengan cewek yang terlalu posesif.

Cowok diciptakan sebagai makhluk yang aktif. Dia nggak bisa melakukan hal-hal yang monoton secara terus menerus, apalagi harus selalu bersama ceweknya. Cowok perlu diberi kebebasan untuk melakukan aktivitasnya sebagai cowok. Dia butuh waktu untuk bermain game, nonton bola, menggeluti hobi atau sekedar nongkrong dengan teman-teman cowoknya.

Percaya atau nggak, otak pria kurang aktif jika berada di sekitar pasangannya

Jika hal-hal ini nggak bisa terpenuhi, maka si cowok akan berontak dan justru membuat hubungannya dengan pasangan menjadi kritis, duh!

Jangan heran kalau cowok tiba-tiba hilang ditelan bumi, itu tandanya dia sudah bosan dan frustrasi

Menurut Allan & Barbara Pease, pakar perkawinan sekaligus penulis buku Why Men Don t Listen & Women Can t Read Maps, ego cewek untuk selalu disayang, dimanja, dan menjadi prioritas, membuatnya nggak rela saat pasangannya melakukan kegiatan lain tanpa menyertakan dirinya. Anggapan ini berbeda jauh dengan karakter pria yang secara periodik membutuhkan sejenis pelarian untuk menyendiri.

Ketika merasa bosan atau dilanda masalah yang berujung frustrasi, cowok akan menghilang seketika. Dia merasa dia harus menyelesaikan masalahnya sendiri yang nggak bisa dibagi dengan orang lain, termasuk pasangannya sekalipun, nggak peduli seberapa besar cintanya pada pasangannya.

Menarik diri menjadi naluri alamiah yang dimiliki cowok yang nggak bisa dihindari. Sama seperti orang lapar, cowok nggak bisa meminta rasa lapar, melainkan muncul sendiri tanpa dia mengerti. Bukan berarti cowok yang menarik diri itu selingkuh. Jadi, masih insecure dan mau neror cowok yang lagi butuh sendiri?



Selasa, 13 Juni 2017

Hanya Sementara...

image search by google


Aku bosan terus-terusan terjerumus dalam rasa kehilangan. Apalagi jika kamulah penggerak di balik setiap alasan. Aku pun bosan harus memakan kata-kata manismu, hasil pelarian dari pahit yang mampir dalam hidupmu.

Jika ada dia, aku harus sukarela menyingkir. Jika tidak ada dia, aku diharuskan hadir. Pelampiasan atau sebuah permainan? Atau aku yang terlalu bodoh tak bisa melihat batas harapan dan kenyataan?

Kakiku berlari menjauhi titik-titik pencipta luka. Tapi saat aku nyaris mantap untuk pergi dari arenamu, ada saja tarikan-tarikan penggoda untuk tetap disana.

Pada langkah yang hampir terhenti, kamu ada. Pada harap yang perlahan memudar, kamu hadir. Tersisalah aku dengan sebuah keadaan, di mana arah yang semestinya kutuju masih samar. Entah harus terus berjuang atau memang tak perlu keluar sebagai pemenang. Kebahagiaanku masih terombang-ambing, aku terpaksa mengikuti ke manapun ia ditempatkan.

Pada kepulanganmu yang berulang, ada kata selamat tinggal yang siap-siap kembali kujelang. Kata selamat tinggal yang kuharap tak pernah lagi kudengar. Aku ingin kamu tetap di sini, mencipta bahagia dari dua sisi—bukan mencari bahagia kita sendiri-sendiri.

Akankah semua inginku hanya sanggup menjadi angan? Tak bisakah segalanya jadi kenyataan? Sebab rasa ini nyata, namun kedekatan kita hanya sebatas ini saja.

Setelah berperang dengan dirimu yang dirasuki perubahan, akhirnya kamupun pulang. Satu sapa pun bisa merapikan keretakan yang sempat tercipta. Satu senyum yang tulus darimu pun meluluhkan kaki yang nyaris melangkah dengan tekad serius. Angan terus berlanjut, tanpa ada kepastian yang bergelayut.

Seandainya tidak ada dia, apakah kamu akan memperjuangkan kita? Ketidakpastian semakin terlihat jelas, terutama saat percakapanmu dengannya belum berhenti. Aku takut jika nanti tumbuh cinta yang lebih besar lagi. Lalu kapan waktuku untuk menyediakan cinta? Lalu kapan seutuhnya kamu ada buatku?

Mengapa kamu pulang hanya untuk singgah, kemudian justru pergi lagi?

Mengapa kamu ke sini, namun sangat terlihat jelas bahwa dengannya kamu masih jatuh hati?

Sepasang mata ini mengharap temu, kedua tangan ini mendambamu. Sebab kebahagiaan terasa utuh dan sederhana kala kita bersama. Sebab senyuman tak sanggup terkata di saat kita berjumpa. Tidak bisa kamu di sisi untuk selamanya? Lalu tetapkan pilihanmu sehingga tak perlu ada angan yang merasa dimainkan.

Titik akhirnya, memang aku yang harus selalu rela. Datang dan pergimu hanya repitisi percuma yang entah mengapa tetap saja mampu membuat bahagia. Sederhananya, bahagiaku tertitip di kamu. Jika kamu menuju arah yang bukan aku, begitupun bahagiaku menjauh. Entah hingga kapan harus terikat padamu. Sebab jatuh hati ini telah terlanjur, tak mungkin aku bisa mundur.

Izinkan aku membuktikan bahwa hati ini pun berhak disuguhi kesempatan.Dengan ramuan rasa sederhana, aku akan membangunkanmu dari hibernasi lelahnya kepercayaan hati. Aku akan melahapmu separuh, biar kamu tahu ke mana ruang itu kau berikan dengan utuh. Aku menunggu sampai kamu mengandalkanku bukan hanya saat butuh, tapi karena akulah prioritas bahagiamu terisi penuh. Itu bukan keinginan yang muluk-muluk, kan?


Kebahagiaanku kini masih bertumpu pada ketidakpastian. Entah kapan, tapi pasti kita akan bahagia dengan pelengkap pilihan Tuhan. Tapi untuk sekarang, do’aku masih menyelipkan namamu sebagai penghantar kebahagiaan.

Bersyukur (For my Self)

Dengan merasa bersyukur atas kesempatan hidup yang masih diberikan hingga saat ini.

Tanpa masa lalu, kamu engga mungkin akan menjadi kamu yang sekarang. Kesalahan diri di masa lalu bukan sesuatu hal yang berlama-lama harus disesali, tapi cukup dijadikan pelajaran supaya tidak mengulanginya di hari sekarang. Semua orang pasti pernah melakukan kesalahan, semua orang bisa untuk merasa bersalah dan menyesal, tapi sedikit orang yang bisa dengan ikhlas menerima kesalahan itu sebagai proses pendewasaannya, sebagai proses alami yang memang harus dia jalani untuk di kemudian hari.


Bersyukurlah untuk napas yang masih bisa dihirup di hari ini. Berterima kasihlah pada masa lalu yang tidak baik. Dan berjanjilah untuk membenahi apa yang masih harus dibenahi selagi masih memiliki waktu. Nikmatilah waktumu saat ini, lakukan kegiatan apa pun dengan sebaik dan semaksimal mungkin jika kamu ingin hari esok tidak lagi kamu sesali. Semangat ya :)

image by google


*Ngomong sama diri sendiri hahaha..

Kamis, 16 Maret 2017

Takdir

images by google

Takdir? Ia kah juru kunci pemberi dan pemberhenti setiap fungsi hati saat cinta mengalir? Sekuat itukah kehadirannya hingga kini aku masih menunggu saat ia tiba?

Dari begitu banyak peristiwa, takdir telah ada. Bukankah saat pertama aku bertemu dengan objek yang kini melebatkan rindu, takdir juga ikut hadir? Salahkah jika aku masih menunggu keberadaan takdir? Apa takdir absen untuk mampir dalam perjalanan sampai cerita ini berakhir?

Padanya telah kupercayakan rasa yang sejak awal masih saja ada. Padanya aku tahu, kelak akan dipertemukan dengan yang benar-benar sudah menungguku. Tapi kini, giliran aku yang sedang menunggunya datang, tapi bukan ke arah sini. Datanglah menuju kepada ia yang aku cinta, lalu sama-ratakan rasa yang kami punya.

Ketika takdir telah menuntun, tak ada kuasa kita untuk mencegah rasa itu datang berkunjung. Hati berdo’a, semoga ia tak jatuh sendirian. Semoga milikmu pun terjatuh bersamaan. Kemudian saat ini, kuharap sebenarnya kita tengah saling menunggu kesempatan. Sebab ada debar yang tak mampu kujelaskan, namun cukup sanggup membangkitkan rindu tak berkesudahan.

Mungkin kamu tak akan pernah mengetahui, betapa sebuah hati sedang dikelabui perasaannya sendiri. Mungkin kamu juga tak akan pernah menyadari, betapa sebuah hati sedang berjuang melawan logika, agar denganmu ia bisa bersama. Menumbuhkan debar di dadaku itu terlalu mudah, yang sulit adalah menebak dengan benar ke mana langkahmu itu terarah. Apakah kepadaku? Ataukah kepada yang bukan aku?

Senyummu itu kunci jawabnya, namun tak pernah kamu menatap sepasang mataku yang bertanya-tanya.
Bagaimanakah mengambil hati sang takdir agar nama kitalah yang dipasangkan sebagai dua yang nantinya takkan terpisahkan?

Jika saja waktu bisa membantu mempercepat gerakmu untuk menuju ke tempatku, mungkin ini akan menjadi kerja sama termanis yang pernah ada. Memang perlu ada beberapa kerjasama untuk menyatukan kita selain lewat doa. Setidaknya aku ingin meminta agar ketika gelas berisikan nama-nama yang nantinya terkocok akan keluar sebuah kita. Lalu dengan sendirinya rinduku akan mencolek pipimu dan menyadarkanmu bahwa ia perlu teman. Membayangkan beberapa hal tentang kita yang masih berbungkus sebuah pinta dalam plastik sederhana sangatlah menenangkan jiwa. Aku bahagia, bahkan sebelum saat itu tiba.

Pada hari-hari yang juga sudah kulewatkan, ada harapan tentang kesamaan perasaan. Di waktu-waktu yang diisi kesunyian, ada keinginan agar kita bisa bersama menjalani keseharian. Bertemankan rindu tak juga membuatku akrab dengan waktu. Menunggu bukanlah kemampuan atau juga kemauanku. Tapi entahlah aku selalu memberikan pengecualian untuk segala yang tentang kamu.

Tak pernah terpikir olehku, bagaimana bisa sebuah kejadian biasa kelak akan membuatku luar biasa menginginkanmu? Dari situ, kukira cinta adalah sebuah permainan antara dua takdir yang berpapasan. Mereka beradu debar di lapang dada masing-masing. Namun anehnya, siapapun yang paling pintar menjaga debar dengan sabar, tetap akan pulang membawa hadiah penasaran.
Andai mempertemukan dua hati dalam cinta semudah cerita-cerita bahagia, tak mungkin kiranya aku cemas akan luka yang bisa datang kapan saja. Namun kita hanyalah sepasang yang mudah terbawa takdir, sulit bagi hati kita untuk saling menafsir.

Hati begitu mudah dibawa naik turun pergi dengan berbagai presepsi dan prediksi. Siapa lagi jika bukan kamu sebagai dalam dibalik setiap pengecualian dan pengendalian hatiku?

Aku tak bisa menyalahkan sesiapa, bahkan takdir pun telah diberikan pembebasan dari suatu kesalahan oleh Tuhan. Aku hanya salah satu dari milyaran manusia yang menaruh percaya pada cinta diatas segala ketidakpastian yang ada. Buatku, hati akan selalu berperkara asalkan masih ada segenggam percaya.

Jika suatu saat, kamu terpanggil oleh takdir, kuharap cinta juga sudah bersamamu ikut mengalir. Lalu terlahir lah sepasang kembaran perasaan. Namun jika memang aku masih harus menunggu, semoga lama tidak perlu menjadi sebuah penghalang bagiku.

Semoga angin akan mengarahkanmu menjadi sedekat yang aku ingin. Semoga takdir akan membawamu kepadaku seperti yang aku mau. Tentang harap yang tak mengenal kata lenyap, mudah-mudahan akan ada saatnya untuk kita menyatukan perasaan.

Kuharap senyuman yang aku miliki mampu memberikan getaran yang sama seperti yang kamu punya. Kuharap kehadiranku dapat menjadi sesuatu yang juga sedang kamu tunggu-tunggu. Kuharap permintaanku tidaklah begitu keterlaluan untuk bisa Tuhan kabulkan.


Dari balik sekat kaca pemisah takdir kita, aku memanggilmu mendekat. Berharap, berdoa, berupaya, agar cintaku sampai dengan selamat, di alamat yang tepat; hatimu. Semoga kiranya Tuhan bersedia memberi kata ‘iya’, agar tumpukan rindu serta penantian-penantianku, tak akan sia-sia.

Bisu Sendiri


Kornea hatimu terlalu buta, tak bisa melihat sisi hatiku yang terlupa sekaligus terluka. Aku tahu, dengan memperbanyak tanya dalam kepala tanpa mengeluarkan suara adalah wujud upaya sia-sia. Jika saja ada cara untuk menyadarkanmu tentang apa yang tersimpan tanpa menetaskan keberanian. Karena kini aku begitu takut, perasaanmu telah menciut. Aku butuh kekuatan telepati, agar peristiwa mendewasanya hati bisa juga kau alami. Agar bisa kau rasakan apa yang kurasakan dari sisi hati.

image search by google


Tak mudah merasakan segalanya seorang diri, sementara sesungguhnya segala hal tentangmu ingin kubagi. Jangan salahkan hati yang tak mampu beritakan padamu tentang apa-apa. Sebab aku terlalu takut terluka jika yang nantinya kau beri hanya kecewa.

Apa rasanya jadi kamu, sesosok yang tak pernah luput dari daya ingatku? Apa rasanya jadi kamu, seseorang yang kusayang dengan terlalu? Apa rasanya jadi kamu, yang tak pernah tahu ada aku setia menunggu?

Ada seorang pengagum yang dengan sangat baik memendam rahasia tentang perasaannya. Ada yang dengan begitu rapi menyembunyikan diri sehingga tidak mudah terlihat oleh mata. Ada yang mendoakan kebahagiaanmu meski terjadi bukan karenanya. Ada yang berandai-andai jika saja kamu tahu siapa yang telah membuatnya jatuh cinta. Namun ia tahu, ia sedang berharap pada sebuah ketidakmungkinan.

Harus berguru pada siapakah hati agar ia berani mengungkapkan opini? Harus berguru pada siapakah kamu agar rajin mengisi hati dengan namaku? Harus berguru pada siapakah kita agar sama-sama bisa menjaga hati tanpa melukai? Seandainya ada yang bisa mengoreksi kerja hati kita. Pasti kita tak jalan bersilangan seperti dua yang dipenuhi keasingan.

Sebuah bisu kupelihara dalam bisingnya aksara di kepalaku. Ingin diutarakan, namun ragu menghalangi jalan. Ingin dipendam sendirian, namun entah hingga kapan bisa bertahan.

Harus bagaimana agar akal tak sibuk mencari jalan keluar dari isi kepala sendiri? Betapa berkata apa adanya itu sulit, sesulit menghadapi ketakutan kelak tak akan diterima apa adanya.

Bukankah ini perihal mulut yang enggan mengungkap dan kamu yang tidak juga peka? Adilkah ketika aku bertanya di mana semesta saat aku sedang benar-benar berharap pada sebuah kebetulan?


Ah sudahlah, kini biarkan aku memberi pengertian untuk diri sendiri, bahwa mungkin saja aku telah salah menentukan arah. Mungkin saja menunggu adalah jawaban terbaik, meski tidak sepenuhnya membuat keadaanku membaik.

Rabu, 08 Februari 2017

(Terpaksa) Selesai

Hari ini tak ada yang berbeda, semua masih serba serupa. Aku yang masih mengingat dan menginginkan kita, serta kamu yang masih jauh di mata, namun hatiku belum sanggup mengakhiri semua cerita.

Jika boleh aku ingin meminta, sisakan untukku cintamu itu. jangan percuma kamu berikan pada mereka yang tak lebih menginginkannya dari aku. Jika boleh berjanji untuk waktu yang nantinya akan kita lewati, aku hanya bisa memegang satu janji. Takkan kusia-siakan cintamu, kan kulipat gandakan menjadi sekumpulan rasa pemberi kebahagiaan.


ilustrasi gambar by google


Tapi, sayangnya apa yang kulihat sampai hari ini belum pasti. Inginku masih berupa angan, kamu yang menentukan. Seandainya saja ada beberapa kenangan menyedihkan yang dapat sekejap saja kulupakan. Seandainya saja ada beberapa tangisan yang masih bisa kutahan. Seandainya saja ada perasaan yang bisa kuubah untuk tak lagi mengharap balasan. Karena hati yang selama ini masih kutuju, entah kali ini sedang mengharapkan siapa, entah kali ini sedang memikirkan apa.

Bukan tak pernah aku ingin membuka pintu pada hati yang lain, namun percuma jika kuncinya masih padamu kutitipkan. Bisakah kamu, untuk sekali saja, ajarkan aku caranya melarikan diri dari kenangan? Agar aku paham bahwa kenangan memang hanya boleh dianggap sebagai kenang-kenangan dari masa lalu. Agar aku paham bahwa tak baik mengharapkan untuk terus bersamamu seperti dulu.

Bukannya aku tak pernah mengindar, tapi kamu selalu tiba dan menahanku untuk keluar. Kadang aku heran dengan teka-teki yang Tuhan berikan. Jika memang ujungnya kita tak bersama, mengapa Tuhan masih memberikan temu yang bernyawa membangitkan angan-angan untuk bersatu? Hati sudah terlalu sakit diberikan resep-resep palsu untuk berhenti mencintaimu. Entah siapa yang bisa mengajariku mengentikan rasa itu.

Adakah yang sanggup mengajariku, bagaimana caranya agar tak selalu menyalahkan? Karena menjadi benar pun tak selalu bisa mengubah keadaan.

Kisah kita yang telah lalu mungkin bukan untuk dilupakan, karena sudah berkali-kali kuusahakan. Di benak ini, sudah ada tempat khusus untuknya agar selalu menjadi kenangan terindah. Untuk seterusnya, semoga kedekatan kita tak begitu berubah. Yang aku ingin hanya bisa mengikhlaskan, jika melupakan begitu mustahil dilakukan. Yang aku harap hanya bahagia yang kembali nyata, meski harus dilalui tanpa sebuah ‘kita’. Harus kamu pahami bahwa mencintamu dari jarak sejauh ini, aku tak pernah sekalipun menyesali. Sebab dalam cinta, aku memang pandai memberi. Namun untuk menerima kenyataan, aku harus banyak belajar lagi.

Terkadang aku tersentak dengan berbagai kecewaan dari secuil apa yang kau lakukan. Kamu tak pernah tahu bukan? Dan aku tak ingin menyalahkanmu atas ketidaktahuanmu. Karena beginilah kita, selalu diisi oleh tanpa yang melahirkan hampa. Beginilah kita, mungkin lebih baik berpecah jadi dua yang tak saling mengusik. Aku benci dengan segala fakta-fakta itu. Fakta bahwa bukan aku sosok yang nantinya akan melengkapimu. Tapi mana bisa aku memanjati dan berlari dari kenyataan yang sudah dihidangi? Aku harus menerima bahagia yang dikirimi sesuai porsi, meski pindah ke lain hati adalah salah satu hal yang sulit terbayangi oleh diri.

Sekarang aku mengerti, bahwa kita yang dulu kini telah berubah. Walau masih belum mampu aku untuk tak mengenang segala kisah yang telah berlalu dengan indah. Entah di mana kamu temukan rumahmu, aku masih saja menunggu bersama khayalan semu. Aku masih saja berharap, bahwa suatu hari nanti kita akan bersama lagi. Aku masih saja ingin, menjadi kita yang sudahlah tidak mungkin. Aku masih saja menanti, padahal segala mimpi-mimpi hanyalah akan menjadi mimpi.

Mungkin memang pada akhirnya harus begini. Kita dipertemukan, diberi kesempatan saling membuat sebanyak mungkin kenangan, lalu dipisahkan. Dipisahkan untuk dipertemukan Tuhan dengan yang lebih baik lagi. Sungguh, Aku lelah berandai-andai, maka semoga ini terakhir kalinya aku mengingat kita dengan pahit. Semoga esok aku mampu mulai menulis lagu untuk masa depanku sendiri, bait demi bait.

Aku hanya ingin menjadi yang mengingatmu tanpa ada kesal, tanpa ada sesal, yang ada hanya rasa syukur yang menebal. Aku hanya ingin menjadi yang pernah mencicipi rasanya mencintai tanpa harus dapat kembali. Aku hanya ingin menjadi satu-satunya laki-laki yang masih bisa bersyukur tanpa mengukur-ukur apa yang seharusnya kau berikan secara teratur.

Setidaknya kau bisa merasa, mana yang seharusnya kau perjuangkan. Aku yang mencintaimu tanpa mengharap imbalan atau sesosok lain yang selalu menyumbang kepahitan.

Terima kasih karena kamu sudah mengajariku bertahan dari rasa-rasa pahitnya cinta. Setidaknya dulu aku tak sedewasa ini.


Maju itu sulit, ketika pikiranmu memaksa sebelah kakimu untuk melangkah, namun hatimu memaksa sebelahnya lagi untuk diam di tempat. tak akan selesai, mustahil ada ujungnya.

Kamis, 02 Februari 2017

CIDAHA ( Cinta Dalam Hati )

Di sebuah ruangan yang dipenuhi kesunyian, rindu demi rindu berlarian, air mata demi air mata berjatuhan. Mungkin di atas sana, Alloh sedang menatap dengan penuh kekhawatiran atau barangkali di balik punggungNya tersembunyi sebuah kejutan. Entah dimulainya sejak kapan, cinta ini sepertinya sudah cukup lama aku pendam sendirian. Aku tidak mengerti dengan baik mengenai kerelaan. Namun yang aku tahu dengan pasti, di detik saat sebuah senyum kausunggingkan, di titik yang lain aku juga turut merasakan kebahagiaan.

Detak-detik jarum jam menusuk telinga, seakan menegaskan ada nada bisu yang diteriakkan semesta untuk kita. Sunyi sudah menjadi teman, sejak kutahu aku bagimu tak mungkin menjadi pasangan.
Aku ingin kamu menginginkanku.

ilustrasi gambar by google


Satu kalimat yang kemudian menguap seiring berlalunya waktu. Betapa menjadi yang tulus mencintai, menanti sepenuh hati, tetap saja bukan jaminan akan balas dicintai. Apakah cinta memang begini? Apakah cinta bisa setega ini, ataukah aku yang salah menangkap arahan Tuhan tentang rasa di hati?

Terkadang aku ingin cinta kita semudah membalikkan telapak tangan, namun kusadari bukan dengan sesingkat itu mimpi bisa terwujudkan. Terkadang aku ingin cinta menemukan tujuannya setelah lelah berjalan tanpa henti. Namun mungkin waktunya bukanlah saat ini. Mungkin tujuanku semestinya bukan kamu. Mungkin aku tidak perlu membuang waktu untuk terus menunggu.Sebut saja kedua mataku buta, yang tak juga menyadari ketika lampu merah ke arahmu sudah benar-benar menyala.
Harus meminta Tuhan seperti apa, agar kamu kelak membalas seluruh cinta? Barangkali memang begini seharusnya. Aku cinta, kamu tidak. Aku terluka, kamu tak tahu apa-apa.

Bersandar pada ketetapan hati, aku terus menanti. Meski kutahu bukan aku alamat rumah yang hatimu cari. Cinta ini sudah terlanjur, dan yang tertinggal hanya serpihan hati yang hancur. Namun belum menyerah aku memperjuangkanmu, sebab belum ada lain hati yang mampu mengetuk pintu di dadaku. Jika aku terus mengharapkanmu, bolehkah? Aku hanya ingin menjadi yang pintar mencintai, meski tak begitu fasih dalam ilmu memiliki.

Sementara hati ingin menjadi satu-satunya yang kamu ingini, cinta pun berkata, ia tak ingin membenci. Tak apa aku bukan untukmu, tak apa kita tidak saling menuju. Tetap saja segala harap, semua rindu, setiap peluk bermuara padamu.

Beberapa pelukan memang diciptakan untuk mengantar rindu sampai ke tempat tujuan. Jika boleh sekali saja berharap untuk bisa memelukmu, menganggukkah kamu? Jika boleh sekali saja tertawa untuk perjalanan yang entah kapan habisnya, bolehkah aku? Jika selamat tinggal adalah satu-satunya yang tersisa, ketahuilah bahwa selama ini kamu pernah menjadi sosok yang benar-benar aku cinta. Pada akhirnya kita berdua pasti akan bahagia. Meski bahagiamu ialah dengan bersama yang lain, dan bahagiaku adalah mengubah arah harapan menjadi sesuatu yang lebih mungkin.

Mengagumi dari jarak sejauh ini adalah pintu bahagia yang kupilih. Dan semoga kelak, Tuhan akan memberiku kunci untuk pintu menuju bahagia yang lain: merelakanmu, misalnya.
Aku bukanlah siapa-siapa, tentu saja aku harus rela jika pada akhirnya kamu berjumpa dengan dia yang ditakdirkan semesta. Dan aku memang bukanlah siapa-siapa, justru itu yang membuatku harus menelan perihnya luka.

Jika mencintai dalam diam adalah jarak terjauh yang mampu hatiku tuju, semoga secepatnya bahagia datang menujuku. Semoga tangan-tangan keajaiban ikhlas kelak memelukku, mencipta rasa lega luar biasa ketika melihatmu bahagia, meski bukan denganku.

ilustrasi gambar by google



Dingin dinding memeluk sunyi yang mencintaiku tanpa tetapi. Aku tersenyum lemah pada bayanganku sendiri, seraya bertanya: Masih sanggup menanti? Tak lelahkah hati?

Gaung namamu dalam bisu bibirku lebih nyaring daripada seluruh tanya itu. Dalam hati, cinta padamu terus mengaliri sepi.


*Ditemenin Lagunya Ungu-Cinta Dalam hati

Telah Berhenti..

Selesai...

Satu kata yang kukira adalah akhir dari segala kita. Satu kata yang nyatanya memberi bukti bahwa masih ada yang mustahil usai; namanya kenangan.

Kenangan ialah sisa-sisa ingatan yang mengakar hingga dada, masih menganggap kamu di sana. Kenangan ialah samar-samar harum tubuhmu diembus udara, masih mengira kamu tak ke mana-mana. Kenangan ialah yang menyiksa aku; yang meminta aku terus menengok ke arah yang semula ada kamu. Kenangan begitu nakal. Ia mematenkan kaki-kakinya untuk berdiam di ingatanku kekal.

Mungkin ini sebuah hukuman dari kenangan. Karena dulu, air mata yang terjatuh dari pipimu selalu disebabkan oleh aku. Karena dulu, tawamu yang menyuarakan nada-nada bahagia sempat tertahan oleh keegoisanku. Karena dulu, kesalahan terfatalku adalah membiarkanmu berlalu. Hilang di makan waktu mencintai pria baru. Itu salahku, dan mungkin karma jadi makananku.
Sepayah itulah aku tak bisa menjaga ‘kita’. Sekuat itu pun juga kamu telah berusaha. Sampai hentakkan semesta menyadarkan bahwa kita tak bisa lagi seperti semula.

Terpejam mataku meninabobokan kesedihan, sementara menghindarkan aku dari kesesakkan. Namun nyatanya kedua mata yang terbuka di esok hari, menyadarkan bahwa kamu tidak lagi di sisi. Tinggi hati, kuhalangi air mata yang ingin mengalir melewati pipi. Meski secara sembunyi-sembunyi, baru aku berani mengakui bahwa aku masih mengharapkan kita untuk kembali.

Salahku, mengapa dulu tidak piawai dalam menggenggam. Salahku, mengapa dulu memilih untuk diam. Salahku, mengapa dulu seakan melepasmu pergi.

Sesal memang sesak. Yang tersisa hanya letup-letup kecewa namun tak mungkin membawaku ke pelukanmu yang semula.
Sebelum aku benar-benar selesai menghitung langkah mundur dan mulai berjalan ke hadapan, kuingin lihat senyummu untuk terakhir kali. Senyum yang tercipta karena aku, bukan karena lelaki yang kini di sampingmu. Bolehkah?

Semoga keputusanku untuk memutar arah dan melanjutkan langkah tak akan berubah. Meski di masa depan aku tak tahu akan terjadi apa, kuharap kamu sudah kurelakan sepenuhnya. Kuharap kelak aku hanya akan mengingatmu sebagai yang indah-indah saja.





Kamu masih tetap cantik. Kenangan tentangmu pun akan kujaga pada lemari memori, tertata antik. Kadang memang masih terasa sakit saat kedua telinga tak sengaja diperijinkan mendengar cerita tentangmu yang kini telah berdua. Tapi kuharap, sesal itu tak seperti rel yang mengiringi kemanapun roda-rodaku pergi. Aku ingin memindahkan perasaan ini pelan-pelan. Ke perempuan yang tepat tentunya.

Melalui kamu, aku tahu cara menjaga hati. Melalu kamu aku pun tahu bagaimana rasanya sebuah ‘penyesalan’. Jika telah datang nanti perempuan istimewaku, takkan kulakukan pengulangan perlakuan.

Kini langkah kaki dan logika sepemikiran ingin melaju ke depan. Sementara kamu, tetap indahlah dalam kenangan. Sebagai sesuatu yang selama ini sudah banyak memberikan pelajaran. Sedangkan aku, mencoba memulai kembali dari sepanjang perjalanan yang sudah terlewati.

Di penghujung jalan nanti, semoga tidak akan ada kesalahan kedua. Semoga tidak akan kuakhiri lagi segala usaha dan air mata dengan begitu sia-sia. Semoga tidak akan ada lagi senyuman manis yang menjadi korban. Sebab satu penyesalan lamban untuk lenyap, sedangkan seribu pengalaman tak akan juga cukup.

Because I still You






You still don’t know about my tears hidden by my smiling face. You probably don’t know. We are doing the same love but why am I the only one hurting? There’s no reason for to you hesitate but why do you keep shaking me, who is so weak? I lie hundreds of times a day. Saying that I don’t love you. Saying that I hate you. But what to do? I can’t escape from you, I guess I love you. Because every day you’re in me, every day you make me cry. 
 Again today, my empty heart is hurting. This loneliness that keeps popping up

Selasa, 31 Januari 2017

ANTARA DUA DUNIA

ilustarsi gambar by google


Kenangan memang pandai mencari-cari celah dan mengendap masuk ke dalam benak.
Kini ia membawa kamu, yang bahkan telah berlalu dimakan waktu. Kini ia membawa tentang kita, yang tak pernah habis kubebani dengan tanya.
Mengapa harus dengan cara seperti ini perpisahan mengambil alih? Mengapa harus dengan meniadakan pertemuan kita di lain hari?

Lihat, di genggaman tangan ini telah kita tulis cerita yang tak bertepi, yang tak mau tahu caranya mengakhiri diri. Meski kamu sudah tak mampu kusentuh, tetap menujumu hati ini utuh. Masih banyak cita-cita yang belum kita jadikan nyata, lalu haruskah kulupakan semua harapan yang kita bangun bersama?

Kuharap jawabannya tidak, tapi apakah takdir harus kutolak?

Aku terlalu benci udara perpisahan. Inilah yang membuatku sinis pada suatu pertemuan. Hati serasa mati setiap kurasakan berita saat semesta mulai menyeleksi. Dan ketika berita itu menghampiri, nadi serasa ikut tak berdenyut lagi. Kuratapi berita yang mampir tiba-tiba, ada sebuah nama yang tak asing di mata. Nama yang kabarnya telah meninggalkan dunia.

Ya, jelas itu namamu dan jelas aku masih belum mempercayai berita konyol itu. Haruskah giliran kamu yang mereka sembunyikan?
Tamparlah aku agar secepatnya terbangun dari mimpi burukku. Hati belum berhenti mengirimkan setiap perasaan. Masakah kamu sudah mau meninggalkanku tanpa sebuah pesan? Inikah definisi sebuah keadilan?

Kata mereka, memang tidak akan ada persiapan untuk bisa menerima sedihnya perpisahan. Tidak akan ada ucapan selamat tinggal yang begitu indah karena masing-masing kita tidak akan pernah tahu tentang yang akan terjadi kemudian.

Kuharap, dari duniamu yang begitu jauh sana, dapat kaudengar ungkapan cinta walau tanpa kata. Kuharap dari sana, dapat kau tahu bahwa aku membutuhkan sebenarnya.
Dari dunia yang berbeda, kita berbicara lewat doa. Sebab aku yakin, Tuhan tak mungkin salah alamat saat mengirimnya. Dan selalu ada waktu untuk menyalahkan keadaan, namun bukan itu yang seharusnya kulakukan. Harus kucoba mengerti, bahwa ditinggalkan mungkin adalah kesempatan untukku mencintaimu lebih dan lebih lagi. Maka sampai saat ini selalu kukuatkan hati, siapa tahu Tuhan menitipkan makna baik di balik sedihnya ditinggal pergi.

Mungkin kini aku kehilangan, tapi setidaknya Tuhan menyelipkan sebuah kebahagiaan. Satu yang kutahu, perpisahan ini tak menyisakan luka pada akhir perkisahan. Mungkin lebih baik begini tanpa pesan, dan suatu hari di surga kita kembali lagi dipertemukan. Mungkin benar aku kehilangan, tapi ini hanya perasaan sementara manusia yang masih menginjak bumi. Sedangkan kamu, aku percaya sudah bersama para malaikat di surga. Benarkan?

Entahlah, aku hanya butuh kamu di sisi, dekat di mana nadi berdetak. Bukan di bawah tumpukan tanah berhiaskan nisan. Semoga kamu masih bisa mendengar doa-doa yang senantiasa kupanjatkan. Semoga semesta masih mengizinkan untuk kita saling mendekatkan. Semoga aku semakin kuat untuk merelakan.

Di sini ada rindu rajin bertamu, di sana ada kamu yang kudoakan selalu. Bukan hanya sepi yang kutitip pada tangis, tapi juga cinta yang belum bisa terkikis. Aku masih belajar membangun jembatan ikhlas, agar hati ini terhubung di manapun hatimu mampu membalas. Aku masih belajar tutupi sepi, sebab bayangmu masih setia menghantui. Jika memang kita harus dipisah sedemikian jauh, semoga tetap padamu kelak cintaku diizinkan merengkuh.

Sisakan tempat untukku di surga bagian sebelah kananmu.Tunggu aku di situ, jadikan satu-satunya milikmu.


PER(ASA)AN

Aku yang ahli berpura-pura, atau kamu yang terlalu ahli menanamkan luka?

Rupanya bepura-pura tak semudah yang kukira. Kusuruh hati menyabarkan diri, meski dengan cara itu juga ia melukai. Menurut teoriku, bicara takkan membuat semuanya jadi lebih tertata. Jika teori itu salah, anggaplah pikiran ini sedang berulah. Pilihanku sepertinya hanya ada dua, pilih luka dengan menutup mata berpura tidak ada apa-apa atau luka dengan membeberkan semuanya? Tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi nanti.

Aku tak mau menyebut ini perasaan rahasia, meski memang ada hatiku yang diam-diam telah tersia-sia. Selalu kuingat satu hal, kita akan diberikan yang terbaik jika kita memberi yang terbaik pula. Namun, tak pernah ada peringatan bahwa memberi yang terbaik juga termasuk mengorbankan rasa. Ingin kuyakini ini hanya sementara, dan Tuhan tak mungkin memberi kesusahan jika aku tak cukup kuat menerima. Maka biar rasa ini kutelan pelan-pelan. Biar sedih ini aku saja yang merasakan, sebab luka tak semestinya kubagi-bagikan.

Bukankah sebagian daripada hidup ini adalah sandiwara?

Dan untuk kali ini, akulah sang pemeran utama. Ada sedih yang kupendam rapat-rapat. Ada pedih yang kugenggam erat-erat. Hingga mereka pikir aku adalah sosok yang kuat. Nyatanya tidak. Ada sesuatu di dalam aku yang perlahan-lahan mulai runtuh. Ada sesuatu di dalam aku yang perlahan-lahan mulai meretak, dan mungkin sebentar lagi akan hancur. Ada sakit hati yang tertahan, dan entah kapan akan tersalurkan.

Di layar kaca penuh pura-pura ini tersusun skenarioku tersenyum bahagia. Diantara tak rela juga tak tega. Aku sudah terbiasa menahan tangis sambil tersenyum manis.

Kamu tidak pernah tahu bukan?

Kuharap ada polisi rasa yang bisa memborgol metode pura-pura itu ke penjara. Suruhlah para polisi itu menahannya, agar jangan aku lagi yang jadi tahanannya. Agar tiada lagi yang menaruh diam sebagai salah satunya alasan luka bisa diredam. Agar raja terego sedunia bernama pura-pura saja yang tenggelam.

Aku tak pernah menyangka bahwa tak perlu banyak belajar untuk menjadi aktor sandiwara. Cukup beri betubi-tubi luka, dengan kesabaran sebagai topengnya. Lalu dialog meyakinkan dan senyum selebar-lebarnya. Bukan bermaksud menjadi yang palsu dihadapanmu. Hanya saja, aku terlalu takut menemui kenyataan yang tak sesuai inginku. Sebab bukan tak mungkin ketika nanti kamu tahu hatiku luka dan aku berharap kamu datang mengobati, nyatanya kamu hanya menertawai.

Entah sudah seberapa berat beban yang harus kupikul, namun dalam membungkusnya dengan topeng bahagia aku tampak paling unggul. Entah sudah berapa tetes air mata yang seharusnya kutahan, namun aku paling piawai dalam mengekspresikannya dengan senyuman. Tidak semuanya tahu bahwa ada isak yang kuendap dalam diam. Karena ketika mereka tahu pun, belum tentu mereka peduli. Hanya kepada Sang Maha, tangisku tercurah tanpa sandiwara. Dan hanya kepadaNya, aku tahu bahwa pura-puraku hanyalah sia-sia.

Meski hari-hari terasa tersiksa dengan cinta yang seakan kujaga dengan terpaksa, tapi hanya kamu orang yang mampu membuatku berikan segalanya. Aku terluka, tapi Tuhan tak buta. Dia melihat apa yang tersembunyi dibalik hati. Tak ada yang bisa membohongi, meski kubilang tak apa ratusan kali.

Berserah kepadaNya, biarlah Dia yang mengambil alih posisi nahkoda dalam setiap cerita. Bahagia pasti punya jalurnya, akupun ada di dalam alurnya. Ya, aku percaya. Ironisnya, terlalu mudah untuk berkata ‘ya’ ternyata bisa berujung tidak bahagia. Aku tahu, percuma memendam jika dalam hati tak bisa beri maaf dan terus mendendam.

Maka semoga Tuhan memberi porsi kesabaran yang berlebih, agar setiap perilakumu yang menggores hati, mampu dengan mudah kurawat perihnya sendiri. Dan semoga Tuhan memberimu cinta yang berlebih, agar tak perlu kamu merasa sepertiku untuk bisa menjadi yang lebih baik dariku. Semoga kelak sifat burukmu lupa caranya memunculkan diri, sehingga akupun lupa bagaimana rasanya disakiti.

Pada akhirnya, kuharap selalu lahir toleransi untuk setiap sakit hati yang entah kapan akan berhenti. Kuharap senantiasa ada maaf yang tak mengenal garis akhir. Kuharap akan ada balasan untuk segala yang sudah berjalan. Mudah-mudahan bukan diam yang akan menjadi jawaban. Mudah-mudahan bukan hati lagi yang harus menjadi korban.

Karena yang baik, berkunjunglah kepada hati yang baik.






Minggu, 22 Januari 2017

Tertunda

ilustrasi gambar by google
Ada yang seharusnya punah sebelum hati menjadi patah. Mungkin namanya asa. Ada yang seharusnya diberikan, tapi masih disimpan Tuhan. Mungkin namanya kesempatan. Ada yang seharusnya dihentikan, sebelum luka jadi lintasan perjalanan. Mungkin namanya perasaan. 

Barangkali hati terlalu cepat jatuh pada waktu yang tak tepat. Bukan objeknya yang salah, tapi mungkin kali ini aku harus mengalah. Kesempatan yang tadinya terlihat begitu jelas, kini hilang semudah melayangnya kertas.

Bukan salahmu yang mungkin seperti tak menghargai perasaan. Salahku, yang berharap hanya pada kebetulan. Bukan salahmu yang tak juga sadari keberadaan. Salahku, terlalu lama di dalam tempat persembunyian. Hingga pada akhirnya semua kata kunci membawaku pada sebuah kenyataan yang harus dijalani. Bahwa meski belum dimiliki, namun ada yang telah kauberikan kepadanya dengan sepenuh hati.
Entah kesempatan yang memang belum ada, atau aku mungkin sudah pernah melewatkannya.

Maaf atas keterlambatanku untuk menyadari sepenting itu adamu. Jeda sinyal yang terlambat keluar, mungkin telah berbekal sesal. Hingga akhirnya aku tahu, kesempatan belum ada karena seseorang lain telah masuk dan membuat hatimu mulai kesempitan. Penuh, mungkin sepenuhnya menurutmu utuh. Sedangkan aku, hilang separuh dan sisanya lumpuh.Jika benar putaran kesempatan pernah kulewatkan, mungkin itulah definisi dari sebuah kesalahan yang mendewasakan. Aku berhenti mengetuk. Bukan karena sudah hati remuk, tapi tak ingin kulihat penghunimu mengamuk.

Barangkali akan ada kesempatan, namun tak tahu harus menunggu sampai berapa lama. Barangkali akan ada sepenggal cerita yang sedikit diubah, namun kepastiannya masih entah. Barangkali aku memang akan hidup di antara rangkaian barangkali, hanya karena belum siap untuk menghadapi. Bila nanti kesempatan memang ada, kamu tahu, akan kugunakan itu tanpa sia-sia. Sekarang, mungkin sudah cukup dengan melihatmu teramat bahagia, meski harus dengannya.

Aneh. Meski namamu masih seratus persen mengisi hati, tapi mengapa kekosongan ini tak berhenti kucicipi? Bukankah kita lahir pada kebetulan? Tapi kebetulan pulalah yang akhirnya mematikan. Bukankah kita sama-sama tahu karena sebuah pengetahuan yang disediakan? Tapi mengapa ujungnya aku merasa asing karena terlempar oleh serombongan ketidaktahuanku akanmu?
Dunia barumu yang sama sekali tak menyertakan aku. Dunia baru yang terlihat ramai saat namanya tak usai kau sebut-sebut.

Entah kebetulan memang sebenarnya ada, atau hanya aku yang sepertinya mengada-ada. Entah kisah tentang kita memang sedang dituliskan, ataukah semuanya hanya semata-mata harapan. Mungkin memang harus memberi waktu lebih bagi semesta, dengan rencananya yang selalu mengejutkan.Walau entah kejutannya akan membahagiakan, atau justru berupa tamparan pelan-pelan yang menyadarkan.

Mari tutup segala mungkin atau tidaknya. Sebab masih ada beberapa hal sederhana yang perlu disyukuri keberadaannya; kedekatan kita, misalnya.


Tidak apa-apa. Aku akan menyiapkan diri, bagi yang nanti berpatenkan nama sebagai penghuni hati. Janjiku yang nomor satu, untuk berhenti cinta mungkin aku belum bisa. Karena tak semudah itu menghilangkan rasa, hanya sembuhkan hati yang sedang kucoba-coba. Selamat istirahat pelukis merah merona pada pipi, selamat bekerja dua kali lipat dari biasanya plester hati.

****

Kamis, 19 Januari 2017

Titik Henti

ilustrasi gambar by google

Kupikir, semesta akan mengetuk perlahan kedua kelopak mataku, lalu menyadarkan dari mimpi yang ketinggian. Nyatanya, ia mengejutkan dengan sebuah kenyataan, bahwa kebahagiaanku selama ini sedang menikmati bahagianya yang tanpa aku.
Kini, seringkali aku bertanya-tanya, adakah hujan di tempatnya berpijak? Atau di sekeliling terasa seperti musim semi selamanya?

Semisal ada yang menyebut ini cinta, barangkali hatiku langsung menyetujuinya. Namun akalku, bilang tidak. Sebab akupun tahu, jika cinta tak baik kurelakan begitu saja.
Ini sudah bukan tentang musim yang terus berganti. Ini tentang hati, yang bersikeras masih menanti—meski tak ada yang pasti.

Tanda tanya besar mengganggu dalam benak, sibuk mempertanyakan nyata atau tidak.Di satu sisi aku merelakan bahagiamu, namun di sisi lain bertanya-tanya mengapa bukan denganku. Di satu sisi aku enggan untuk lebih lama menunggu, di sisi lain barangkali masih ada harapan untuk kita bersatu. Ternyata tak semudah itu menjadi rela, meski untuk melihatmu bahagia.

Semakin aku merasa ini tak adil, semakin pedih terasa di hati. Percuma terus begini. Toh aku di sini, kamu dengannya, kita tak mungkin bersama. Baiknya kupadamkan saja segala bara yang masih menyebut namamu tanpa jeda, agar luka ini tak kubiarkan terus menganga. Baiknya memang kita tak lagi saling menyapa, sebab sepatah kata darimu mampu memanggil jutaan debar di dadaku.

Seperti tahu betul kelemahanku, semesta selalu menghadirkan kamu. Atau mungkin aku yang diam-diam mengantarkan kenangan tentangmu, hingga pada titik yang terdekat. Berbagai macam hal yang semesta suguhkan, mengapa kamulah garis akhir dari segala ingatan?

Rasanya aneh, ketika ingin pergi dari hati yang tak pernah dihuni. Barangkali sama seperti melepas yang tak ada dalam genggaman. Rasanya aneh, ketika harus merelakan hati yang tak pernah dimiliki. Barangkali serupa meninggalkan tempat yang belum sempat kujejaki. Rasanya aneh, ketika harus terluka sebab sesuatu yang kuanggap cinta, padahal kamu tak pernah menganggap itu ada. Barangkali serupa menangis tersedu, namun tanpa air mata.

****

Belum Terhapus Waktu

ilustrasi gambar by google

Seringkali aku bertanya-tanya, mengapa kiranya kenangan tercipta tak semudah kita menghapusnya?
Kuharap ingatan tentang kita masih tersimpan di dalammu, entah di lipatan memorimu sebelah mana, aku tak begitu peduli. Sebab di dalamku, segala tentang kita berputar-putar tanpa henti. seperti lagu kesukaanku yang liriknya kuhafal jelas, kata demi kata.

Kita pernah seperti cinta dan benci, yang tak pernah bisa lepas satu sama lain. Kita pernah seakrab kelopak dan air mata, tidak peduli sedang sedih maupun bahagia. Hari-hari pernah selalu dipenuhi oleh kamu dan aku sama sekali tak merasa jemu.

Terbiasa akan hadirmu ternyata tak begitu baik untuk hari depanku. Membuatku selalu ingin berada di masa lalu, ketika hati tak perlu lelah mencari-cari jalan keluar untuk melupakan siapapun. Bukan salahmu membuat aku cinta setengah mati, ini salah hati mengapa begitu saja padamu menjatuhkan diri.

Memang, tak ada hati yang bisa memilih tujuannya. Namun, semua kembali kepada bagaimana kita mencinta. Dan seakan kamu adalah laut yang paling dalam, aku entah mengapa rela menyerahkan diri menjadi penyelam yang tetap saja, pada akhirnya tenggelam.Kepadamu, aku pernah mempertaruhkan harga diri hingga rela bertindak bodoh dan rasa malu sudah tak kuacuhkan lagi. Kepadamu aku pernah dengan pasti menggantungkan perasaan, tapi ternyata kita semata-mata angan. Di antara kita pernah ada rasa yang serupa tergapai, namun nyatanya tak kunjung sampai.

Kupikir, detak jantung kita kala berjumpa saling seirama, namun ternyata hanya perasaanku saja. Kupikir, akan kepadaku kamu menjatuhkan cinta, namun ternyata kisah romantis tentang kita tidak akan pernah ada. Ke manapun kamu menuju, aku menunggu kita untuk saling bertemu, tapi ternyata tujuanmu bukanlah aku.

Kamu telah membuat aku pesimis tentang harapan. Betapa karenamu, kurasa aku tak akan mudah lagi percaya pada cinta yang kelak datang. Hati sudah jatuh terlalu jauh, membawa serta kecewa di saku bajunya. Tanpa pernah tahu, semestinya ia juga berbekal obat penyembuh luka. Kemudian, aku merasa benci pada kenyataan yang terjadi; seperti menyalahkan nasibku sendiri atas ketidakberuntunganku memilikimu.

Lalu sekarang apa?

Selain luka, masa lalu juga ternyata mewariskan berlaksa kenangan yang sulit untuk kulupa. Di antara sebagian kenangan yang senantiasa berkeliling itu, ada kamu berdiri tegak di balik segala alasan.

Mengapa setelah semesta tidak merestui kita, ia juga memberikan kenang-kenangan masa lalu yang ke manapun selalu membayangi langkah-langkah kakiku?


Aku seperti masih berdiam di hari-hari lampau, enggan untuk melangkah, hingga kemudian hampir punah dibalap oleh sang waktu. Aku masih berharap akan kita, saat jelas-jelas kamu sudah berkata tidak. Seharusnya ini bukan salah daya pikirku yang selalu ingat. Ini salahku yang enggan untuk lupa. Dan ketika kini kamu masih senantiasa mengitari benak, kubiarkan hingga akhirnya waktunya menghapusmu; mutlak

Tahu Diri

ilustrasi gambar by google

Tak banyak yang berubah dari pertemuan kita tempo hari. Kita masih saling bertegur sapa. Kita masih saling mencuri pandang. Kita masih saling mengetahui bahwa ada yang belum selesai di antara kita; perasaanku.

Padahal sudah kucoba menguburnya secermat mungkin, bahkan dari ingatanku sendiri. Namun, kehadiranmu yang selalu tertangkap kamera hati, tak mungkin bisa kupungkiri. Ada yang selalu tertangkap mata, dan di dalam jangkauannya kamu selalu ada. Ada yang selalu terdeteksi indera penciuman, dan segalanya hanya tentang harum tubuhmu yang tak mampu terlupakan.

Entah apa maksud di balik pertemuan yang selalu disuguhkan semesta, hingga aku selalu mampu dibuatnya bertanya-tanya. Jikalau ini semua hanyalah kebetulan, mengapa frekuensi pertemuan kita tampak terlalu berlebihan?

Tentang kebetulan-kebetulan yang seperti disengaja Tuhan, kuharap, ini bukan sebatas perasaanku saja. Salahkah aku, jika mendoakan ada percikan rasa tumbuh lagi di antara aku dan kamu? Salahkah aku, jika terus menginginkan temu tanpa jemu? Salahkah aku, jika hanya denganmu aku merasa seperti itu?

Aku ingin kita bersatu, namun kamu pernah berkata tak mungkin denganku.Dan juga bukankah kamu pernah berucap bahwa kita tak bisa lebih lagi dari yang seperti ini?Padahal sayang yang adalah sebuah dasar sudah dimiliki masing-masing hati. Kamu, membuatku semakin tak mengerti lagi tentang semuanya ini. Namun tak pernah sampai berhasil membuatku menyesal, bahwa kepadamu aku pernah jatuh hati.

Karena nyatanya, selama ini segala macam harap masih saja kubawa pergi. Berharap, di suatu hari nanti yang entah kapan, ia dapat bertemu dengan harapmu yang ternyata menyerupai. Ah, bukankah harapku pada akhirnya hanyalah berupa sebatas harap?
Selalu saja begini, kamu seperti tanda dilarang berhenti pada jalur dua hati. Kamu ada di sana, melambaikan tangan dengan senyuman; menawariku rasa nyaman yang hanya angan-angan. Sungguh, aku ingin berhenti sampai di sini. Ingin berpindah ke lain hati. Ingin menemukan bahagiaku sendiri. Sebab, jika pandangan terus tertutup oleh bayangmu, tak pernah sempurna cinta mampu kumiliki.

Kamu tak pernah sepenuh hati, sementara aku tak pernah setengah hati.Mungkin salah satu dari kita harus ada yang mengalah. Aku yang seharusnya berbalik arah, atau kamu yang menujuku selangkah demi selangkah. Jika semesta benar-benar mendukungku untuk pindah ke lain hati, mengapa sosok yang begitu sering kutemui hanyalah kamu lagi?Sedangkan di lain sisi, kamu tak pernah mengharap kita untuk bersama dalam meniti hari-hari. Aku seperti berada di antara anggukan kepala yang mulutnya berkata tidak. Aku kebingungan mencari-cari apa yang harus kulakukan setelahnya, karena semua seakan-akan jalan buntu bertuliskan jalan keluar.

Sudah kucoba tahu diri, menghilang dari segala sudut pandanganmu yang gemar mencari-cari. Agar kamu tak perlu memberiku asa lagi, dan aku tak perlu menyembunyikan rasa lagi. Namun, takdir berkata lain. Seakan ia memberiku seribu jalan untuk kembali, sedangkan kamu tetap menutupinya dengan satu kata: ‘tidak’.

Bolehkah aku kembali kepada masa lalu, ketika aku dan kamu belum ingin bersatu?
Aku ingin tetap begitu, agar tak ada luka yang kini mengundang perasaan tak menentu. Juga kita akan tetap menjadi sepasang yang tak saling dibunuh waktu. Sebetulnya percuma jika aku berharap mampu memutar detik waktu, maka biarkan aku berdoa agar perasaanku tak melulu ingin terus menunggu dan menujumu.

Aku ingin kamu, namun jika ternyata rasamu tak cukup kuat untuk membuat aku dan kamu menjadi kita, aku bisa apa?
Pergilah kamu, tutupi hadirmu dari kunjungan pandang mataku. Biar debur dalam dada ini tenang. Biar isi kepala ini berhenti sibuk mengenang. Biar suatu hari, jika kita dipertemukan lagi, aku telah menjadi aku yang kuat; yang tidak kepadamu lagi rasa ini terikat.


*ditulis berdasarkan interpretasi lagu Tahu Diri - Maudy Ayunda

Hurt

ilustrasi gambar by google

Cinta terkadang memang tak terbaca akal. Maksud hati ingin terus bersama, namun keadaan bilang tidak bisa. Maksud hati tak ingin menyakiti, namun tanpa sadar ada yang dilukai.
Salahku pernah menganggap kamu tak berarti, kini aku yang ditabrak takdirku sendiri. Sungguh, aku ingin kembali. Tolong, maafkan perilaku hati ini.

Setelah benar-benar menyesali apa yang baru saja kulewati, sungguh aku menginginkan kamu lagi. Aku terlalu merasa pasti untuk mengejar apa yang hanya ada dalam imajinasi. Kata-katamu tak kuhiraukan, hingga kamu yang sudah ada dalam genggaman justru aku lepaskan tanpa perasaan. Aku pikir akan dengan mudah mendapat pengganti, namun ternyata segalanya hanyalah tentang sakit hati. Aku menginginkan kamu, saat tak mungkin lagi bagi kita untuk bersatu.

Aku bukan yang pintar mengakui segala salah. Namun aku juga terlalu bodoh jika berpikir bahwa perpisahan tak akan membuatku resah. Sebab aku tahu, sejauh perjalanan hati, hanya kamu yang mampu betul-betul mengerti. Dan jika bagimu perpisahan adalah harga mati, harus bagaimana aku memaafkan diriku sendiri?Aku pernah lupakan segala baik yang telah kamu beri, dan mungkin kini giliranmu untuk tak peduli.

Kamu memalingkan muka di saat aku benar-benar meminta. Kamu tak mau mendengarkan di saat aku sedang memberi penjelasan. Tak ada lagi cinta yang akan kauberi di saat aku sedang meminta sepenuh hati. Kamu tersakiti, dan aku menyesali. Di sini juga aku menyadari bahwa kesempatan kedua terkadang jarang terjadi.
Jika kuucap kata maaf berulang kali, akankah kepadaku kamu akan kembali lagi? Menyesal tentu percuma, ketika luka sudah terlanjur tercipta. Maka, biar kata-kata maaf yang menghapus perihnya.




Pada kesempatan yang lalu, banyak hal yang tak mampu kulakukan untuk keutuhan kita. Namun aku justru mempersalahkanmu–entah mengapa. Kujadikan kamu satu-satunya alasan mengapa cinta tak lagi berarti ‘kita’. Kamu jadikan aku satu-satunya alasan mengapa kata maaf tak lagi memiliki banyak makna.


Kini, saat kamu dengan tegas memilih untuk tidak akan lagi kembali, biarkan aku belajar bahwa ada beberapa hal yang tidak harus selalu sampai terjadi. Atas nama segala titik-titik hati yang pernah terlukai, sekiranya saja maafku mencukupi walau tidak pasti mampu mengobati. Teruntuk rumah yang pada akhirnya justru aku lewati, semoga akan kautemui penghuni lain yang lebih baik lagi.Di depan sana, semoga ada rumah yang akan menerimaku lebih dari sekadar tamu, meski yang ternyaman hanya kutemukan di dalam hatimu.

Jika memang ada kesempatan menjadi bagian hidupmu lagi, biar aku lunasi segala rindu yang terkumpul semenjak kamu tak di sisi. Jika memang ada kesempatan menjadi pelengkap hatimu untuk kedua kali, aku berjanji tak akan menghancurkan apa yang kelak bisa kita miliki.
Sebab tak mungkin kuputar waktu ke awal, maka mohon maafkan aku dan izinkan aku tetap tinggal. Sebab tak mungkin kuhapus segala kenangan buruk, maka biar kupanggil kembali sejuta senyummu lewat eratnya peluk.


Ternyata, menyakitimu di putaran waktu yang lalu kelak membawa luka pula bagiku tanpa aku tahu. Maafkan aku, egoku, dan keputusanku yang pernah menyakitimu.



*ditulis berdasarkan interpretasi lagu Hurt - Christina Aguilera


R a s a

ilustrasi gambar by google
R a s a...empat huruf yang biasa-biasa saja namun bisa mematahkan logika. Hati tidak pernah memilih kepada siapa ia diambilalih, yang aku tahu aku jatuh cinta pada pandangan pertama hingga seterusnya. Pada sebuah keramaian dan kamu menjadi pusat perhatian sedang aku hanya duduk di pojokkan, menyaksikanmu dari belakang.

Siapa sangka kamu kamu yang seperti lampu pada saat setelah turun hujan yang memanggil laron untuk menari di dekatnya malah menghampiriku, orang yang menyatu dalam bayang-bayang gelap keramaian. Kita pecah dalam perbincangan tentang banyak hal hingga kembali utuh dalam kata kenyamanan. Segalanya aku lakukan dengan beberapa kali melakukan penolakan terhadap hatiku sendiri, kamu telah bersamanya dan seharusnya aku tahu diri. Tapi kenyataannya hanya dengan tatapan tenang luar biasa pertahananku runtuh seketika.

Bukan salah hati, jika sedikit cinta mampu mengundang rindu setengah mati. Bukan pula salah hati, jika sedikit cinta kelak menjadi alasan ada rasa yang tersakiti. Nyatanya, cinta memang Tuhan ciptakan dengan mata yang buta arah. Bisa menuju siapapun, bisa terjatuh di manapun.
Sebenarnya aku sudah lelah menjatuhkan cinta pada hati yang salah. Aku juga ingin rasaku berbalas, bukan terus menerus berbatas. Harus meminta seperti apa lagi, agar hatiku yang masih kutitipkan padamu, bersedia pulang kembali? Karena setiap kubiarkan perasaan-perasaan ini tinggal, aku takut lukaku semakin kekal.

Padahal bukannya tak kucoba mendayung perahu gerakku keluar dari zona segitigamu, tapi setiap gerikmu merangkul rasaku untuk tetap disitu. Posisiku selalu serba salah. Di sisi diri, aku tak ingin kau dirangkul oleh orang yang salah. Karena hati ini bisa membahagiakanmu dengan berlipat kali dari yang ia beri. Tapi disisi hati, aku akan menjadi sangat salah jika berulah dengan merebutmu dari dia yang mencintaimu amat parah. Tak mungkin menumpukkan luka dengan sesuka demi kebahagiaanku semata. Pada akhirnya, aku akan meminum racun air mataku sendiri karena tak berdaya meraih kamu berada disisi.

Sewujud cinta tak pernah tahu dengan pasti di mana ia semestinya berada. Karena bukankah ia tumbuh begitu saja? Ini bukan pilihannya jika kemudian ia berada di antara sepasang yang sedang sebenar-benarnya merindukan rasanya pulang. Ini di luar kemampuannya, jika ia justru menjadi sosok ketiga. Sepasang mata yang tanpa henti ia tatap, mungkin karena di situlah ia merasa sudah menemukan jawab. Hingga kemudian kenyataan menjadikannya lenyap. Ke manakah ia harus melangkah? Ketika untuk menetap ialah tidak mungkin, pun untuk meninggalkan hanyalah sebuah langkah yang begitu berat.

Saat seperti ini aku ahli mencari siapa yang salah, kali ini waktu jadi korbannya. Jika saja ia mempertemukan kita lebih dulu sebelum ada janji yang mempersatu atau setidaknya andai aku tahu ada hati yang mendoakannya selalu sebelum cinta ini menjadi terlalu. Jika kebahagiaan harus diciptakan maka bersamamu adalah ketidakmungkinan.

Begitu banyak pertanyaan terjun bebas ke kepalaku tanpa jawaban yang sejatinya aku tidak tahu. Yang aku tahu aku mencintaimu, tapi akan rumit dalam realita. Setiap hari aku harus menenangkan rindu yang berteriak mencari dimana tuannya, karena senyatanya dia tidak diaku siapa-siapa. Kamu bersamanya sejak kemarin hingga hari ini, sedang aku selalu menjadi sendal jepit yang meski nyaman namun tak akan pernah digunakan dalam acara-acara peringatan.
Kamu tahu aku ada, kamu mencariku saat bertengkar dengannya lalu aku dengan mati-matian harus menahan diri bahwa orang yang aku cintai sedang bercerita banyak tentang orang yang dia cintai. Lagi-lagi aku tidak berdaya, aku menurunkan kasta, jika mencintaimu sulit, maka ijinkan aku ada di saat kau sulit.

Setoples air mata telah kutampung dengan percuma, sebab tak akan memberi pengaruh apa-apa bagi hatimu yang hanya untuknya. Sepenggal harapan hati hanya ingin istirahat menanti, setelah berjuta hari menunggumu di sini. Mencintamu itu bukan penyesalan, namun nyatanya tak ada cinta yang tak ingin diberi balasan.

Yang kuingin kebahagiaan, seperti kala sepasang mataku menyaksikan kalian berduaan. Yang kuingin kepastian, tentang tarik menarik asa dan rasa yang seperti tak ada ujungnya. Yang kuingin cinta yang sederhana; cukup sederhana hingga aku tak perlu meminta apa-apa untuk dapat merasa bahagia, hingga aku tak perlu merasa kecewa sebab keinginan tak sejalan dengan kenyataan, hingga aku tahu rasanya dicinta tanpa perlu mengiba.

Biarkan perasaan ini perlahan mengikuti aliran tanpa terlihat sebagai kesalahan, karena menurutku ini bagian dari pelajaran dalam perjalanan. Pada siapapun ia takkan mungkin menurut, sampai waktu yang tepat membiarkan ia menyurut. Meski hati begitu mengingini, tapi aku tahu batas-batas yang tak bisa dipanjati. Entah siapa yang akan menggesermu dari segala ketetapan-ketetapan perasaan, tapi aku hanya bisa menyerahkannya pada Tuhan.


Aku sedang menunggu saat yang tepat untuk keluar dari segitigamu, lalu silahkan buatlah garis lurus agar dua sudut bersatu. Ya garis penemu untuk dia dan kamu. Bahagialah dengan kebahagiaanmu yang serba tanpa aku. Tersenyumlah selalu meski senyumanmu lahir di balik tangisanku..

**

Terhenti Tanpa Memiliki

ilustrasi gambar by google

Pada pertukaran rasa yang tak seimbang, aku menaruh bimbang. Ketika meneruskan hanyalah berarti menambah perih pada luka lainnya, dan berhenti juga tak menyembuhkan apa-apa. Menaruh harap pada waktu yang akan menjawab, mungkin saja percuma; sebab hatimu sudah ada pemiliknya. Sedangkan aku, hanya tamu yang  diundang pada sedikit kesempatan saja.

Belum genap memiliki, tapi hati ini seperti dipaksa berhenti mencintai. Harapan sudah mencapai menara tertinggi, tapi terjatuh karena tahu kau sudah ada yang memiliki. Kornea seperti tercelik pada realita. Tadinya pinta bergegas menyapa pencipta agar lekas menyatukan kita. Tapi doa-doa itu menabrak dinding negri utopia, menyadarkanku bahwa seharusnya angan-angan berhenti disini saja agar tak menyakiti sesiapa. Andai pertemuan kita tak berbentur pada garis segitiga yang menyatukan aku, kamu, lalu dia pada sudut-sudutnya.

Pada ketiba-tibaan datangnya sebuah rasa, aku memupuk asa. Seakan tidak peduli, bahwa bagian kosong di hatimu sudah ada yang menduduki. Juga tak ingin ambil pusing dengan kenyataan yang mengharuskan kita berada pada jalannya masing-masing. Mungkin sebenarnya ada garis tak kasat mata yang menghalangi agar aku tidak melangkah lebih jauh lagi. Namun aku memilih untuk berpura-pura tidak menyadari keberadaanya.

**


Selasa, 13 Desember 2016

Jangan Mencariku

ilustrasi by google
Bahagia itu selalu ada dan banyak macamnya, kita hanya perlu bersyukur dan menyadari bahwa kita selalu memilikinya–meski hanya dalam bentuk paling sederhana. Begitu kata orang-orang bijak. Tapi bukankah itu juga berarti penyangkalan, bahwa sebetulnya kita hanya diizinkan punya porsi terbatas untuk bahagia?
Kamu tahu?

Terkadang, cukup dengan melihatmu bahagia dari jauh, kutemukan bahagiaku. Bahagia yang kucari, bukan sebab datang dengan maunya sendiri. Semu, memang. Tapi setidaknya lebih baik daripada membencimu, bukan?

Bahagia ini seperti dipaksakan, aku tak lagi punya pilihan. dan menganggap kamu kisah lama yang aku mesti lupa, aku belum pintar melakukannya.
Meski entah ini memang bahagia yang sesungguhnya, atau imajinasiku terlalu terlatih untuk mengada-ada?  Entah dengan melihatmu tersenyum aku juga merasakan yang sama, atau semuanya hanya karena aku tak lagi memiliki pilihan? Terkadang lucu, jika memang benar ada wujud bahagia seperti itu. Padahal kalau boleh jujur, aku ingin bahagiamu yang dibagi denganku.

Kupandang sebuah pohon dengan tatapan penuh kagum. Sebab, bagaimana bisa ia tetap berdiri tegak, sementara melihat dedaunan yang selama ini dipertahankannya, justru jatuh dan kemudian meninggalkan?  Atau, ini hanya salah satu cara semesta untuk mengajarkanku menjadi lebih kuat?

Kuat itu aku, yang telah lama jauh terjatuh padamu, tahu sakitnya luka, namun terus mengulanginya saja.
Lemah itu kamu, datang sebab terluka, lalu pergi sebab bosan dijaga. Barangkali jika ada kekacauan di poros bumi dan semua hal jadi terbalik, aku baru paham caramu yang mudah pergi. Pun, kamu kelak mengerti caraku yang keras kepala selalu menanti.
Lalu, aku harus ke mana? Tepatnya, aku harus bagaimana?
Menerimamu yang muncul tiba-tiba, dan merelakan begitu saja padahal ingin tak ada? Kamu ingin (si)apa?  Seseorang dengan perasaan sekeras batu dan sikap sediam patung? Sebab, bagaimana mungkin aku mampu untuk terus bertahan melihatmu semudah itu berpaling, namun harus menjadi yang sangat siap ketika kamu tak menemukan siapa-siapa lagi untuk berbagi?

Barangkali sejak awal kita tidak seharusnya bertemu. Agar tak ada rasa yang bertamu, agar inginku tak melulu hanya kamu. Barangkali sejak dulu mestinya kamu yang mencintai aku. Biar aku jadi yang pintar berlalu, biar aku jadi yang pura-pura lupa pernah sengaja menyakitimu. Ah, tapi apa gunanya? Jika kamu ada di posisiku, apa benar kamu tetap memilihku meski aku tak menoleh padamu?
Bahkan mengkhayalkannya saja aku tak berani.

Tak perlu kamu tahu sesakit apa aku, yang kuperlu hanya kamu bilang iya untuk cintaku. Paling tidak, aku sudah pernah mencoba untuk terjatuh, meski bukan kedua tanganmu yang menangkap hatiku secara utuh. Memang ada yang hancur dan tidak secara baik tertata, namun paling tidak aku pernah tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Meski yang kurasakan ialah tangis untuk keduanya, namun paling tidak aku selangkah lagi menuju masa yang belum ada dan penuh bahagia.

Yang perlu kamu tahu, tetap memilihmu bukanlah pilihan, itu keputusan.
Menyesal bukanlah bagianmu, itu bagianku jika kelak kehilangan kamu. Sebab aku berani bertaruh, belum pernah kamu menemui hati lain yang cukup gila terus menerus berkata bahwa menanti yang tak ada ialah bentuk lain setia.
Ingatlah, jika ia menyakitimu, jangan cari aku. Sebab nanti, aku yang lebih dulu menemukanmu.
Jika tak kamu temukan aku, tetaplah jangan mencari. Sebab barangkali yang ingin kamu temukan bukanlah aku, melainkan dirimu yang lain, yang sejak lama ada padaku.

Maka teruslah jangan aku yang kamu cari, hanya sebab kamu tak mau merasa sendiri.  Kuharap saat itu aku telah cukup jadi egois, dengan menutup rasa dari apapun yang kutahu bisa membuatmu menangis.