Aku yang ahli
berpura-pura, atau kamu yang terlalu ahli menanamkan luka?
Rupanya bepura-pura tak
semudah yang kukira. Kusuruh hati menyabarkan diri, meski dengan cara itu juga
ia melukai. Menurut teoriku, bicara takkan membuat semuanya jadi lebih tertata.
Jika teori itu salah, anggaplah pikiran ini sedang berulah. Pilihanku
sepertinya hanya ada dua, pilih luka dengan menutup mata berpura tidak ada
apa-apa atau luka dengan membeberkan semuanya? Tidak ada yang bisa memprediksi
apa yang akan terjadi nanti.
Aku tak mau menyebut ini
perasaan rahasia, meski memang ada hatiku yang diam-diam telah tersia-sia.
Selalu kuingat satu hal, kita akan diberikan yang terbaik jika kita memberi
yang terbaik pula. Namun, tak pernah ada peringatan bahwa memberi yang terbaik
juga termasuk mengorbankan rasa. Ingin kuyakini ini hanya sementara, dan Tuhan
tak mungkin memberi kesusahan jika aku tak cukup kuat menerima. Maka biar rasa
ini kutelan pelan-pelan. Biar sedih ini aku saja yang merasakan, sebab luka tak
semestinya kubagi-bagikan.
Bukankah sebagian daripada hidup ini adalah sandiwara?
Dan untuk kali ini,
akulah sang pemeran utama. Ada sedih yang kupendam rapat-rapat. Ada pedih yang
kugenggam erat-erat. Hingga mereka pikir aku adalah sosok yang kuat. Nyatanya
tidak. Ada sesuatu di dalam aku yang perlahan-lahan mulai runtuh. Ada sesuatu
di dalam aku yang perlahan-lahan mulai meretak, dan mungkin sebentar lagi akan
hancur. Ada sakit hati yang tertahan, dan entah kapan akan tersalurkan.
Di layar kaca penuh
pura-pura ini tersusun skenarioku tersenyum bahagia. Diantara tak rela juga tak
tega. Aku sudah terbiasa menahan tangis sambil tersenyum manis.
Kamu tidak pernah tahu
bukan?
Kuharap ada polisi rasa
yang bisa memborgol metode pura-pura itu ke penjara. Suruhlah para polisi itu
menahannya, agar jangan aku lagi yang jadi tahanannya. Agar tiada lagi yang
menaruh diam sebagai salah satunya alasan luka bisa diredam. Agar raja terego sedunia
bernama pura-pura saja yang tenggelam.
Aku tak pernah menyangka
bahwa tak perlu banyak belajar untuk menjadi aktor sandiwara. Cukup beri
betubi-tubi luka, dengan kesabaran sebagai topengnya. Lalu dialog meyakinkan
dan senyum selebar-lebarnya. Bukan bermaksud menjadi yang palsu dihadapanmu.
Hanya saja, aku terlalu takut menemui kenyataan yang tak sesuai inginku. Sebab
bukan tak mungkin ketika nanti kamu tahu hatiku luka dan aku berharap kamu
datang mengobati, nyatanya kamu hanya menertawai.
Entah sudah seberapa
berat beban yang harus kupikul, namun dalam membungkusnya dengan topeng bahagia
aku tampak paling unggul. Entah sudah berapa tetes air mata yang seharusnya
kutahan, namun aku paling piawai dalam mengekspresikannya dengan senyuman.
Tidak semuanya tahu bahwa ada isak yang kuendap dalam diam. Karena ketika
mereka tahu pun, belum tentu mereka peduli. Hanya kepada Sang Maha, tangisku
tercurah tanpa sandiwara. Dan hanya kepadaNya, aku tahu bahwa pura-puraku
hanyalah sia-sia.
Meski hari-hari terasa tersiksa
dengan cinta yang seakan kujaga dengan terpaksa, tapi hanya kamu orang yang
mampu membuatku berikan segalanya. Aku terluka, tapi Tuhan tak buta. Dia
melihat apa yang tersembunyi dibalik hati. Tak ada yang bisa membohongi, meski
kubilang tak apa ratusan kali.
Berserah kepadaNya,
biarlah Dia yang mengambil alih posisi nahkoda dalam setiap cerita. Bahagia
pasti punya jalurnya, akupun ada di dalam alurnya. Ya, aku percaya. Ironisnya,
terlalu mudah untuk berkata ‘ya’ ternyata bisa berujung tidak bahagia. Aku
tahu, percuma memendam jika dalam hati tak bisa beri maaf dan terus mendendam.
Maka semoga Tuhan memberi
porsi kesabaran yang berlebih, agar setiap perilakumu yang menggores hati,
mampu dengan mudah kurawat perihnya sendiri. Dan semoga Tuhan memberimu cinta
yang berlebih, agar tak perlu kamu merasa sepertiku untuk bisa menjadi yang
lebih baik dariku. Semoga kelak sifat burukmu lupa caranya memunculkan diri,
sehingga akupun lupa bagaimana rasanya disakiti.
Pada akhirnya, kuharap
selalu lahir toleransi untuk setiap sakit hati yang entah kapan akan berhenti.
Kuharap senantiasa ada maaf yang tak mengenal garis akhir. Kuharap akan ada
balasan untuk segala yang sudah berjalan. Mudah-mudahan bukan diam yang akan
menjadi jawaban. Mudah-mudahan bukan hati lagi yang harus menjadi korban.
Karena yang baik,
berkunjunglah kepada hati yang baik.
0 komentar:
Posting Komentar