Tampilkan postingan dengan label Muhasabah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Muhasabah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 06 September 2018

Menimbang Dan Memaknai #2019GantiPresiden

image search by google
Entah sudah berapa ribu kaos dengan tulisan #2019 Ganti Presiden terjual. Media sosial ramai dengan foto-foto pemakainya dengan beragam pose. Ada gelora perlawanan di wajah para pemakainya. Mereka sudah tak sabar menginginkan perubahan.
Bagaimana tidak. Data hutang luar negeri kian mengkhawatirkan. Harga-harga makin melambung. Rupiah keok di hadapan Dolar AS. Iklim usaha terpuruk. Pengangguran bertambah. Tapi pekerja asing berkeliaran di dalam negeri.

Banyak aparat yang sepertinya tidak kompeten dengan jabatannya. Dan seluruh kekecewaan publik itu hanya terpuaskan jika #2019 Ganti Presiden. Kalimat yang memantik gelora dan gairah. Dan harga mati.

Kalangan muslim yang selama ini kontra terhadap rezim Kerja cenderung merapat kepada tagar tersebut. Bukan lagi mayoritas, tapi seluruhnya. Sambil menyisipkan harapan semoga presiden pengganti lebih berpihak kepada Islam. Sebuah harapan mulia yang sudah sepatutnya tersimpan di dada setiap muslim yang cinta agamanya.

Mazhab #2019 Ganti Presiden

Penganut #2019 Ganti Presiden sangat beragam. Multi aliran. Mulai dari latar belakang masalah yang sangat sederhana hingga faktor ideologi yang paling puritan (menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai dosa). Semuanya mendapat saluran dengan tagar sama. Sekurangnya, dengan ganti presiden ada secercah harapan yang lebih baik. Meski masih menyimpan tanda tanya juga.
Latar belakang masalah sederhana misalnya masyarakat yang merasakan kesempitan ekonomi gara-gara harga makin melambung. Atau kesulitan mendapat pekerjaan. Atau merasakan iklim bisnis yang tidak kondusif.

Mereka semua mendukung #2019 Ganti Presiden semata karena kecewa masalah ekonomi, sesuatu yang bisa dianggap sederhana karena tidak terkait dengan kebencian ideologis kepada sang presiden. Hanya masalah perut.

Latar belakang yang lebih serius adalah mereka yang benci dengan ideologi sang presiden. Bagi kalangan ini, presiden yang berasal dari PDIP mengindikasikan ideologi merah. Pro komunis. Apalagi dikaitkan dengan isu banjir pekerja China yang menyerobot pekerjaan kasar yang seharusnya bisa dilakukan oleh pekerja lokal.

Isu makin liar dengan dikaitkan asumsi invasi China yang terbukti sangat agresif di beberapa negera lain. Maka #2019 Ganti Presiden adalah solusi harga mati. Pokoknya bukan merah.

Latar belakang lebih serius lagi adalah mereka yang benci dengan ideologi sang presiden, dan keinginannya diganti dengan yang pro Islam. Kalangan ini lebih ideologis. Bukan sekedar ganti presiden, tapi sudah pasang harga penggantinya harus lebih pro kepada Islam. Bahkan kalau bisa sang pengganti dari kalangan aktivis Islam. Karenanya, selain mengusung #2019 Ganti Presiden, mereka juga aktif mengampanyekan sosok baru seperti Ahmad Heryawan, gubernur Jabar dua periode dan Tuan Guru Bajang (TGB), gubernur NTB.

Mazhab #Ganti Sistem

Mazhab ini diusung oleh para pendukung eks HTI dan para Islamis anti sekuler lain seperti. Mereka dipersatukan oleh penolakan terhadap sistem Demokrasi. Bagi mereka, ganti presiden masih merupakan solusi setengah hati.

Sebab akar masalahnya adalah sistem sekuler, yang menegaskan peran agama dalam percaturan politik dan hukum. Ketika sistemnya rusak, maka akan melahirkan para pemimpin yang rusak. Mengganti presiden dengan demikian hanya mengganti orang rusak dengan orang lain yang juga rusak. Atau setidaknya, beda-beda tipis.

Salah seorang tokoh pengusung mazhab ini, Felix Siauw, menulis: Tidak hanya orang yang salah, sistem pun bisa salah. Hanya saja kesalahan orang itu pribadi, sedangkan kesalahan sistem memproduksi orang salah secara masal. #Ganti Sistemnya Dengan Islam.

Momentum pilpres selalu menjadi kesempatan terbaik untuk menjajakan pandangan ini. Ketika awarenes masyarakat tentang fungsi presiden dan segala perangkatnya sedang naik. Saat itu edukasi tentang pentingnya sistem Islam menggantikan sistem sekuler mendapat kesempatan. Dan para aktifis eks HTI serius menggunakan momentum ini dengan baik.

image search by google

Menimbang Mazhab Pertama dan Kedua

Jika ditimbang dengan kacamata sunnatullah, maka kedua mazhab tersebut masih mengandung masalah. Mazhab pertama menghadapi masalah siapa sosok calon pengganti presiden. Apakah bakal lebih baik dibanding sebelumnya? Siapa yang bisa memberi garansi bahwa presiden baru akan lebih baik ?

Kelemahan utama mazhab pertama, masalah yang begitu kompleks diberi solusi hanya bertumpu pada sosok manusianya. Padahal manusia makhluk lemah, ia akan mudah terbawa oleh situasi dan kondisi. Berhadapan dengan taipan (konglomerat), ia dengan mudah kalah. Berhadapan dengan kekuatan senjata, ia gampang menyerah. Bahkan kekuatan loby tanpa uang dan senjata juga bisa menjebaknya. Misalnya honey trap, dijebak dengan wanita cantik. Semua idealisme tiba-tiba bisa rontok jika sudah terjebak dengan honey trap.

Maka secara realistis, mazhab ini adalah solusi jangka pendek, dan belum tentu benar-benar solusi. Masih gambling. Bisa ya, bisa tidak. Sangat tergantung sosok baru sebagai pengganti.
Sementara mazhab kedua sudah lebih baik. Ingin mengganti orang dan sistemnya sekaligus. Harapannya, dengan sistemnya ganti maka siapa pun sang pengganti akan terkawal oleh sistem. Ia dipaksa oleh sistem untuk lebih baik. Dan sistem pengganti yang dimaksud adalah sistem Islam. 

Ketika seluruh elemen masyarakat sepakat mengganti sistem, maka dengan sendirinya akan menjadi penyaring untuk menghasilkan sosok pemimpin yang diharapkan. Jika saringannya longgar, output yang dihasilkan juga kualitas rendah. Tapi bila saringannya ketat, dan itu hanya ada dalam Islam, maka akan menghasilkan sosok ideal.

Perlu Mazhab Ketiga

Ada mazhab ketiga yang menarik dibincangkan. Sayangnya belum ada yang mengusung mazhab ini. Yaitu mazhab, yang lumpuhkan biang kekafiran untuk mendirikan sistem Islam. Mazhab yang berangkat dari sunnatullah kemenangan Islam.

Ketika seluruh masyarakat sepakat mengganti sistem Demokrasi dan memproklamasikan sistem Islam, secara sunnatullah sistem itu tidak otomatis akan berdiri. Sebab akan diuji oleh kekuatan kafir yang mengelilinginya. Mereka tak akan tinggal diam menyaksikan proklamasi itu.

Mereka akan segera merespon dengan mengerahkan segenap kekuatan tempur dan embargo ekonomi dalam rangka memaksa masyarakat Indonesia untuk kembali ke pangkuan sistem Demokrasi. Memaksa agar mencabut kembali proklamasinya.

Maknanya, ganti sistem itu di atas kertas adalah solusi ideal. Tapi solusi tersebut hanya melihat masalah dengan kacamata lokal, belum mempertimbangkan aspek global. Dunia hari ini adalah dunia yang sempit dengan penguasa tunggal yaitu AS dan seluruh jaringan bonekanya. Secara sunnatullah tak mungkin sistem berubah hanya dengan proklamasi internal.

Namun, sistem hanya berubah jika setelah proklamasi mampu menghadapi lawan eksternal dan bisa menjinakkannya. Barulah sesudah itu, proklamasi punya pijakan kuat di muka bumi, karena sudah tidak ada angin yang akan menggoyahkannya.

Mazhab ketiga merupakan mazhab yang paling sesuai dengan sunnatullah kemenangan Islam. Rasulullah Saw baru bisa menegakkan sistem Islam di Madinah setelah berhasil melumpuhkan kekuatan kafir Quraisy yang berpusat di Mekah dan koalisinya di seluruh jazirah Arab.
Sebuah mazhab terjal yang hanya dipercaya oleh orang-orang yang mengerti sunnatullah dan yakin dengan pertolongan Allah Ta’ala. Mazhab yang rasanya mustahil diwujudkan, tapi petunjuk arahnya jelas karena banyak diterangkan dalam Al-Qur’an dan sejarah Nabi Saw.

Problemnya hanya perlu kemauan, keberanian dan keyakinan untuk mewujudkannya, dengan izin Allah Ta’ala. Sementara mazhab pertama tampak mudah tapi tak jelas arah. Dan mazhab kedua, sudah cukub bagus hanya belum berpijak pada rel sunnatullah dan aspek global.
 Wallahu Ta’ala ‘Alam.

Kamis, 08 Maret 2018

Untuk Kamu...


image by google

Apakah makna dari jarak yang membentang, jika dua hati yang sering bersama namun tak saling menggenggam -tidak saling cinta tepatnya.
 
Aku sedang menulis ini sambil sesekali melempar pandanganku memperhatikan suasana kafe yang biasa menjadi tempatku menulis. Suasananya cukup ramai karena saat itu adalah malam Minggu. Beberapa muda-mudi yang datang kebanyakan bersama pasangannya.


Di depanku kini ada sepasang kekasih yang sedang berfoto, namun tidak lama kemudian mereka sibuk dengan gadget masing-masing. Sebuah pemandangan yang sudah tidak asing. Menurutku yang menjauhkan dua hati bukanlah jarak yang terhitung pada satuan kilometer saja, tetapi ketika bersama, namun perhatian tersita di hadapan layar kaca. Bagiku, itulah jarak yang sebenarnya paling jauh memisahkan sepasang kekasih. Jarak itulah yang tanpa disadari akan pelan-pelan memudarkan cinta yang dulu terawat dengan baik di hati mereka.

Baiklah, kurasa kita mulai dari sini. Aku tidak sedang membahas tiga paragraf pertama, melainkan tentang banyak pertanyaan tentang kita.

Hai, apa kabarmu sekarang? Semoga kamu baik-baik saja di sana. Jika kamu bertanya perihal ‘kamu’ yang kumaksud itu siapa, anggap saja ‘kamu’ itu adalah seseorang yang ada namun tidak jelas siapa. Semoga kau mengerti untuk tidak menanyakan ulang.

Hai, mungkin malam ini kamu sedang pergi bersama kekasihmu atau orang yang sedang dekat denganmu, atau keluargamu, atau temanmu, atau entahlah siapapun yang sedang bersamamu. Aku tidak tau dan tidak peduli dengan itu. Yang jelas semoga orang itu menjagamu dari dinginnya angin malam dan orang jahat yang bisa mencelakakanmu kapan saja ketika kamu lengah.

Bagaimana hari-harimu kemarin? Apakah menyenangkan seperti yang pernah kau ceritakan dulu saat kita masih sering chatting dan bertemu untuk menikmati kopi sambil menertawakan lucunya kehidupan? Atau kau sedang bersedih karena seseorang yang menyakiti hatimu dengan pergi meninggalkanmu demi orang lain? Ah, semoga saja tidak. Karena jika itu terjadi dan aku mengetahui siapa orangnya, tolong jangan cegah aku untuk membuat orang itu menyesali perbuatannya, atau minimal membuat hidungnya patah.

Jujur saja, aku masih menunggu kabarmu, menunggu kau membalas pesan terakhir yang kirim dulu, namun sampai sekarang pesan itu belum terjawab, bahkan sepertinya tidak pernah kau lihat.
 
Jika kau bertanya sekarang aku bersama siapa, aku akan tersenyum menjawab. “Tidak ada.” Karena aku masih belum berniat membuka hatiku untuk siapapun…, selain kamu. Meskipun aku tau kau tidak tau, atau memang tidak pernah menyadari itu. Dan kamu akan menyadarinya setelah membaca tulisan-tulisan di bawah ini.

Hidup ini rumit untuk orang yang memendam perasaannya, entah dengan alasan apapun. Alasanku untuk memendam perasaan ini adalah agar kau tidak merasa punya kewajiban atau lebih tepatnya beban untuk membalasnya, untuk itulah aku tidak mengungkapkannya dan bersikap biasa saja. Jika ada orang yang memprotes alasanku berdasarkan logika ‘egois’ karena menikmati cinta sendirian, itu sangat salah. Bagi sebagian orang yang mengetahui cintanya tidak akan terbalas, mereka akan terlalu sadar diri dan memilih untuk tidak pernah mengutarakannya karena jika itu dilakukan hanya akan menghancurkan keadaan. 
Orang yang memendam perasaannya bukanlah pengecut atau pecundang yang tidak mempunyai nyali. Melainkan mereka adalah pemberani yang siap untuk menyakiti hatinya sendiri dengan membunuh harapan-harapan yang tidak terbalaskan. Mereka rela melihat dan membuat orang yang dicintainya tersenyum sepanjang hari, meskipun senyum itu tertuju untuk orang lain, orang yang beruntung mendapatkannya.

image by google


Aku tidak membela diri dengan ucapan-ucapan bijak layaknya seorang motivator terkenal yang tahu betul tentang seluk-beluk asam garam kehidupan. Tetapi aku hanya belajar bijak untuk mengontrol diri dan perasaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh diriku sendiri. Ada yang bilang, “Cinta tak harus bersama.” Dan ada orang yang bilang bahwa yang orang mengatakan itu adalah pecundang yang kalah sebelum sempat berjuang. Namun bagaimana jika orang itu sudah memperjuangkannya namun tetap dengan hasil; kekecewaan yang terpaksa ditelan bulat-bulat karena tidak terbalas.

Sebagian orang memilih untuk berhenti sebelum memulai, daripada memulai hanya untuk merusak yang sudah tertata dengan baik.

Hidup memang terkadang tidak adil untuk orang yang jatuh cinta sendirian. Seperti yang pernah dikutip oleh salah satu temanku yang berbunyi, “Orang yang jatuh cinta sendirian keinginannya sederhana, dia hanya ingin berdua.” Tapi bagaimana jika orang yang dicintai oleh orang yang jatuh cinta sendirian itu tidak pernah bisa mencintainya dengan cara apapun? Tolong, ada yang bisa menjawab pertanyaan ini? Dan apabila ada yang menjawab, “Ya tinggalin, terus cari yang lain.” Andai semudah itu, andai orang yang mengatakan itu tau bahwa itu bukanlah sebuah jawaban.

Ada hal yang memang tidak baik bila dipaksakan, salah satunya adalah perasaan, perasaan yang tidak bisa terbalaskan. Cinta ada karena terbiasa bersama. Memang betul untuk sebagian orang yang mengalaminya. Banyak orang yang diluar sana yang akhirnya memutuskan untuk bersama karena memang terbiasa bersama, tetapi bagaimana bila cinta tidak pernah ada meskipun sudah sering dan sangat lama bersama? Tolong, ada yang bisa menjawab pertanyaan ini dengan jawaban yang tepat?

Inilah yang kurasakan bersamamu selama ini. Aku tau aku cinta padamu, dan kamu dan aku tau kamu cinta pada orang lain. Kita bernasib sama, tetapi mengapa kita tak bersama saja karena kesamaan nasib? Karena bagiku itu adalah hal yang menyedihkan. Mengapa? Karena itu semua percuma. Mengapa itu semua percuma? Karena kau menikmati perasaan cintamu pada orang lain itu denganku, tanpa pernah benar-benar mencintaiku. Apakah itu tidak menyedihkan dan sebuah hal tega jika tetap dilakukan?

Tidakkah itu hanyalah kepalsuan yang terpaksa dibenarkan atas nama cinta? Memang, hati bisa mengubah arah yang akan ditujunya, tetapi kalau tidak? Kita akan hancur dalam hitungan mundur. Menghancurkan apa yang telah kita tata dengan baik. Menghancurkan kebersamaan yang kita buat selama ini.

Cinta itu tentang dua hati yang mencari untuk saling menemukan, bukan yang satunya sudah menemukan, namun yang satunya masih sibuk mencari meskipun sudah ditemukan.

Jika itu terjadi pada kita, aku mengartikannya bukan sebagai bahagia, melainkan petaka yang nantinya akan memisahkan kita. Itulah hal yang paling aku takutkan selama ini. Maka, biarlah aku tetap mencintaimu tanpa harus mengungkapkannya apalagi meminta kamu membalasnya. Aku akan selalu bersemangat mencintaimu tanpa pamrih meskipun dalam lubuk hatiku yang terdalam tetap berkeinginan kamu membalasnya.

Level tertinggi kebahagiaan adalah mencintai seseorang yang juga mencintai kita.

Dan aku tau, kita tidak akan pernah mencapai level tertinggi itu. Kita hanya akan tetap mendaki dan terus mendaki, hingga pada suatu titiki kita akan tersesat, dan masing-masing dari kita akan diselamatkan oleh orang yang mencintai kita.

Maafkan aku yang telah merusak semua ini. Maafkan aku yang tega membuatmu menangis karena pengakuanku dulu, yang membuatmu memilih pergi karena tak ingin menyakitiku lebih jauh karena tidak bisa membalasnya. Semoga ada kata maaf yang masih tersedia untukku meskipun itu tidak pernah diucapkan olehmu.
 Aku lupa rasanya menikmati kebersamaan, terakhir kali saat bersamamu, dan kini hanya ada aku dan secangkir kopi yang pahitnya selalu kunikmati setelah kamu pergi.

Aku hanyalah orang yang bukan siapa-siapamu yang lancang mendoakanmu agar kamu selalu bahagia dan baik-baik saja.

Jangan lupa untuk selalu berdoa dan tersenyum seberat apapun hari-harimu. Senyummu adalah pertanda bahwa kamu menikmati pahit dan manis kehidupan di mana pun kamu berada, dan doa adalah pengharapan yang takkan putus untuk bahagiamu di hari esok, hanya itu pesanku.

Minggu, 04 Februari 2018

Sepasang Sandal Jepit



image by google
Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh. betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop ini rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin nggak ketulungan.

"Ummi... Ummi, kapan kamu bisa memasak dengan benar...? Selalu saja, kalau ga keasinan... kemanisan, kalau ga keaseman... ya kepedesan!" Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.
 "Sabar bi... Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul...? "ucap isteriku kalem. "Iya... tapi abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini...! "Jawabku dengan nada tinggi. Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya sudah merebak.

Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan 'baiti jannati' di rumahku. Namun apa yang terjadi...? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal burak (pecah). Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta pora di dapur, dan cucian... ouw... berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada. "Ummi... ummi, bagaimana abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini...?" ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala.




"Ummi... isteri sholihat itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga
harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah...?" Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu. "Ah... wanita gampang sekali untuk menangis," batinku berkata dalam hati. "Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihat...? Isteri shalihat itu tidak cengeng," bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai dipipinya. "Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja untuk jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali," ucap isteriku diselingi isak tangis. "abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda..." Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.

Bi... siang nanti antar Ummi ngaji ya...?" pinta isteriku. "Aduh, Mi... abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?" ucapku. "Ya sudah, kalau abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan," jawab isteriku. "Lho, kok bilang gitu...?" selaku. "Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam bus dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa," ucap isteriku lagi. "Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja," jawabku ringan.

Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. "Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu," aku membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi luruh.

"Oh... bukankah ini sandal jepit isteriku?" tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus. "Maafkan aku Maryam," pinta hatiku. "Krek..." suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaya gelap dan berjilbab hitam melintas.

"Ini dia mujahidahku!" pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri. Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: "Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya." Sedang aku...? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku...? terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terdzalim!!! "Maryam...!" panggilku, ketika tubuh berbaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. "Abi...!" bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang ini. "Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?" sesal hatiku.

Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. "Alhamdulillah, jazakallahu..." ucapnya dengan suara tulus. Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud dan 'iffah' sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku...? Semoga berguna bagi kita semua...amin ya rabbal alamien...


Buat para mujahid dakwah... renungkanlah kisah sandal jepit ini, dan tanyalah hati kita sejauh mana perhatian kita (bukan hanya soal sandal dll) terhadap sosok makhluk bernama istri di tengah2 kesibukan kita...

Kamis, 31 Agustus 2017

Syarat Talak


Para ulama membagi syarat sahnya talak menjadi tiga macam: (1) berkaitan dengan suami yang mentalak, (2) berkaitan dengan istri yang ditalak, dan (3) berkaitan dengan shighoh talak. Kesemua syarat ini tidak dibahas dalam satu tulisan. Kami akan berusaha secara perlahan sesuai dengan kelonggaran waktu kami. Untuk saat ini kita akan melihat manakah saja syarat yang berkaitan dengan suami yang akan mentalak.

Syarat Berkaitan dengan Orang yang akan Mentalak

Pertama: Yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah.

Syarat ini maksudnya adalah antara pasangan tersebut memiliki hubungan perkawinan yang sah. Seandainya tidak ada nikah, lalu dikatakan, “Saya mentalakmu”, seperti ini termasuk talak yang tidak sah. Atau belum menikah lalu mengatakan, “Jika menikahi si fulanah, saya akan mentalaknya”. Padahal ketika itu belum nikah, seperti ini adalah talak yang tidak sah.

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ نَذْرَ لاِبْنِ آدَمَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ عِتْقَ لَهُ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ طَلاَقَ لَهُ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ

“Tidak ada nadzar bagi anak Adam pada sesuatu yang bukan miliknya. Tidak ada membebaskan budak pada budak yang bukan miliknya. Tidak ada talak pada sesuatu yang bukan miliknya.”[1]

Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka ....” (QS. Al Ahzab: 49). Dalam ayat ini disebut kata talak setelah sebelumnya disebutkan nikah. Ini menunjukkan bahwa yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah melalui jalan pernikahan. Seandainya ada yang kumpul kebo (sebutan untuk sepasang pria wanita yang hidup bersama tanpa melalui jalur nikah), lalu si pria mengajukan cerai, seperti ini tidak jatuh talak sama sekali.

Kedua: Yang mengucapkan talak telah baligh.

Ini bisa saja terjadi pada pasangan yang menikah pada usia belum baligh.

Mayoritas ulama berpandangan bahwa jika anak kecil yang telah mumayyiz (bisa membedakan bahaya dan manfaat, baik dan jelek) atau belum mumayyiz menjatuhkan talak, talaknya dinilai tidak sah. Karena dalam talak sebenarnya murni bahaya, anak kecil tidaklah memiliki beban taklif (beban kewajiban syari’at).

Dalam hadits ‘Aisyah, Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَكْبَرَ

“Pena diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, orang yang hilang ingatan sampai kembali ingatannya dan anak kecil sampai ia dewasa.”[2]

Ulama Hambali berpandangan bahwa talak bagi anak kecil tetap sah. Mereka berdalil dengan hadits,

كُلُّ طَلاَقٍ جَائِزٌ إِلاَّ طَلاَقَ الْمَعْتُوهِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ

“Setiap talak itu boleh kecuali talak yang dilakukan oleh orang yang kurang akalnya.”[3] Namun hadits ini mauquf (hanya perkataan sahabat).

Pendapat mayoritas ulama (jumhur), itu yang lebih tepat. Wallahu a’lam.

Ketiga: Yang melakukan talak adalah berakal.

Dari sini, tidak sah talak yang dilakukan oleh orang gila atau orang yang kurang akal. Yang menjadi dalil adalah hadits ‘Aisyah yang disebutkan di atas. Talak yang tidak sah yang dimaksudkan di sini adalah yang dilakukan oleh orang yang gila atau orang yang kurang akal yang sifatnya permanen. Jika satu waktu hilang akal, waktu lain sadar. Jika ia mentalaknya dalam keadaan sadar, maka jatuh talak. Jika dalam keadaan tidak sadar, tidak jatuh talak.

Dalam pembahasan ini, para ulama biasa menyinggung bagaimanakah ucapan talak yang diucapkan oleh orang mabuk, orang dalam keadaan tidur, dan yang hilang kesadaran semacam itu. Insya Allah pembahasan tersebut akan kami kaji dalam serial berikutnya.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimuush sholihaat.





Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah, hal. 235-237.

[1] HR. Tirmidzi no. 1181 dan Ahmad 2/190. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits hasan shahih.

[2] HR. Abu Daud no. 4398, At Tirmidzi no. 1423, Ibnu Majah no. 2041. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[3] HR. Tirmidzi no. 1191. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if, namun shahih jika mauquf (perkataan sahabat).


Keempat: Memaksudkan untuk mengucapkan talak atas pilihan sendiri.

Yang dimaksudkan di sini adalah orang yang mengucapkan talak atas kehendak sendiri mengucapkannya tanpa ada paksaan, meskipun tidak ia niatkan.

Jika ada seorang guru mengucapkan talak dalam rangka mengajarkan murid-muridnya mengenai hukum talak, maka tidak jatuh talak. Karena guru tersebut tidak memaksudkan untuk mentalak istrinya, namun dalam rangka mengajar. Begitu pula jika ada seseorang mengucapkan lafazh talak dengan bahasa yang tidak ia pahami, maka sama halnya tidak jatuh talak. Ini disepakati oleh para ulama.

Ada beberapa masalah yang perlu kita tinjau dari orang yang mengucapkan talak berikut ini, apakah telah jatuh talak ataukah tidak.

1. Orang yang keliru

Orang yang keliru di sini bukanlah orang yang sedang bermain-main atau bergurau. Namun lisannya salah mengucap, sudah terlancur mengucapkan talak tanpa ia maksudkan. Seperti niatannya ingin berkata, “Anti thohir (kamu itu suci)”. Eh malah keliru ucap menjadi, “Anti tholiq (kamu ditalak)”. Menurut jumhur, seperti ini tidaklah jatuh talak. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah memaafkan dosa dari umatku ketika ia keliru, lupa dan dipaksa”.[1]

2. Orang yang dipaksa

Begitu pula orang yang dipaksa tidak jatuh talak. Demikian menurut pendapat mayoritas ulama. Dalilnya di antara adalah hadits yang telah disebutkan di atas. Dan juga hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَلاَقَ وَلاَ عَتَاقَ فِى غَلاَقٍ

“Tidak jatuh talak dan tidak pula dianggap merdeka dalam suatu pemaksaan”.[2]

Kapan seseorang disebut dipaksa? Kata Ibnu Qudamah, disebut dipaksa jika memenuhi tiga syarat:

a. Orang yang memaksa punya kekuatan atau bisa mengalahkan seperti pencuri dan semacamnya.

b. Yakin akan terkena ancaman jika melawan

c. Akan menimbalkan dhoror (bahaya) besar jika melawan seperti dibunuh, dipukul dengan pukulan yang keras, digantung, dipenjara dalam waktu lama. Adapun jika hanya dicela, maka itu bukan namanya dipaksa. Begitu pula jika hanya diambil harta yang jumlahnya sedikit, bukan pula disebut dipaksa.[3]

3. Orang yang sedang marah

Keadaan marah ada beberapa bentuk:

a. Marah dalam keadaan sadar, akal dan pikiran tidaklah berubah, masih normal. Ketika itu, masih dalam keadaan mengetahui maksud talak yang diutarakan. Marah seperti ini tidak diragukan lagi telah jatuh talak. Dan bentuk talak seperti inilah yang umumnya terjadi.

b. Marah sampai dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa atau hilang kesadaran dan tidak paham apa yang diucapkan atau yang dimaksudkan. Seperti ini tidak jatuh talak dan tidak ada perselisihan pendapat di dalamnya.

4. Orang yang safiih (idiot atau kurang akal)

Yang dimaksud adalah orang yang tidak bisa membelanjakan hartanya dengan benar. Menurut mayoritas ulama, talak dari orang yang safiih itu jatuh karena ia masih mukallaf (dibebani syari’at) dan punya kemampuan untuk mentalak.

5. Orang yang sakit menjelang kematian

Hal ini dilakukan suami di antaranya agar istri tidak mendapatkan waris. Menurut pendapat yang kuat, talaknya jatuh karena dilakukan atas kehendak dan pilihan suami. Dan jika talaknya jatuh, berarti istri tidak mendapatkan hak waris.

Namun jika ketika akan meninggal dunia, talak yang dilakukan masih talak rujuk (bukan talak ba-in), lalu istri atau suami yang meninggal dunia, maka masih mewarisi berdasarkan kesepakatan para ulama.


Referensi:

Al Mughni, ‘Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi, terbitan Darul Fikr, cetakan pertama, 1405 H.

Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Saalim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.

[1] HR. Ibnu Majah no. 2045. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[2] HR. Abu Daud no. 2193. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan

[3] Lihat Al Mughni, 8: 260.

Teruntuk Wahai Kau Wanitaku..(Wanita Adalah Aurat)


image search by google


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ ، وَإِنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ، وَإِنَّهَا لاَتَكُوْنُ أَقْرَبَ إِلَى اللهِ مِنْهَا فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا

Wanita itu aurat, jika ia keluar dari rumahnya maka setan mengikutinya. Dan tidaklah ia lebih dekat kepada Allâh (ketika shalat) melainkan di dalam rumahnya

TAKHRIJ HADITS:

Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh :
1. at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausâth, no. 2911 dari Shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma
2. at-Tirmidzi, no. 1173
3. Ibnu Khuzaimah, no. 1685, 1686
4. Ibnu Hibbân, no. 5559, 5570-at-Ta’lîqâtul Hisân), dari Shahabat Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu
5. at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausâth, no. 8092
Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, ”Hadits ini hasan shahîh gharib.” Dishahihkanoleh Imam al-Mundziri, beliau mengatakan, “Hadits ini diriwayatkan oleh at-Thabrani t dalam al-Mu’jamul Ausâth dan rawi-rawinya yang shahih.” Lihat Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb (I/260, no. 344). Dishahihkan juga oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2688) dan Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb (no. 344, 346).

SYARAH HADITS:

(اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ)maksudnya ialah aurat manusia. Setiap ia merasa malu darinya (jika terlihat-pent) maka disandarkan padanya wajib menutupinya.

إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

Yakni asal dari al-isyrâf adalah meletakkan telapak tangan di atas alis saat mengangkat kepala agar bisa melihat. Maksudnya yaitu setan mengangkat pandangannya kearah wanita untuk menyesatkannya dan menyesatkan orang lain dengannya, sehingga salah satunya atau kedua-keduanya terjatuh dalam fitnah. Bisa jadi yang dimaksud dengan kata setan di atas adalah setan dari jenis manusia, yaitu orang fasik. Karena jika orang fasik tersebut melihat wanita keluar dan menampakkan diri, maka ia langsung memandangnya lekat-lekat. Jadilah setan menyesatkan keduanya. Apabila wanita tetap berada di dalam rumahnya, maka setan tidak akan mampu untuk menyesatkannya dan menyesatkan manusia dengan (perantara)nya. Tetapi apabila wanita keluar dari rumahnya, maka setan akan sangat berambisi (untuk menyesatkannya dan menyesatkan orang lain dengannya), karena ia termasuk dari buhul-buhul (jerat-jerat dan perangkap) setan. Dan ini adalah anjuran kepada wanita agar ia tetap berada dalam rumahnya.[1]

KEWAJIBAN MENUTUP AURAT

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allâh, mudah-mudahan mereka ingat.” [al-A’râf/7:26]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat tersebut, “Kata al-libâs dalam ayat tersebut berarti penutup aurat, sedangkan kata ar-rîsy atau ar-riyâsy berarti sesuatu yang digunakan untuk menghias diri. Jadi, pakaian merupakan sesuatu yang bersifat primer (pokok), sedangkan perhiasan hanya sebagai pelengkap dan tambahan.”[2]

Dalam ayat ini diperintahkan laki-laki dan wanita untuk berpakaian menutup aurat mereka. Laki-laki batasan auratnya dari perut/pusar sampai dengan lutut, sedangkan wanita seluruh tubuhnya adalah aurat.

Dari Jarhad al-Aslami Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewatinya sedangkan dia dalam keadaan terbuka pahanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ

Sesungguhnya paha adalah aurat.[3]

Juga dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seseorang yang pahanya terlihat, maka beliau bersabda :

غَطِّ فَخِذَكَ، فَإِنَّ فَخِذَ الرَّجُلِ مِنَ عَوْرَتِهِ

Tutuplah pahamu, karena sesungguhnya paha laki-laki termasuk aurat.[4]

Diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلَا تَنْظُرُ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ

Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya, dan seorang wanita tidak boleh melihat aurat wanita lainnya[5]

Saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang aurat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

اِحْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجِكَ أَوْ مَامَلَكَتْ يَمِيْنُكَ، فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِذَا كَانَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ فِيْ بَعْضٍ؟ قَالَ: إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لاَ يَرَيَنَّهَا أَحَدٌ فَلاَ يَرَيَنَّهَا ، فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِذَا كَانَ أَحَدُنَا خَالِيًا؟ قَالَ: اَللهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنَ النَّاس

Jagalah auratmu kecuali dari isterimu atau budak wanita yang engkau miliki ! lalu beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika suatu kaum bercampur baur dengan yang lainnya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika engkau sanggup agar seseorang tidak melihatnya, maka janganlah ia melihatnya,” kemudian beliau ditanya, “Bagaimana jika seseorang telanjang dan tidak seorang pun melihatnya?” Beliau menjawab, “Allâh lebih berhak untuk engkau merasa malu dari-Nya daripada manusia.”[6]

Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ" (wanita adalah aurat), artinya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali anggota badan yang tidak diperkecualikan oleh syari’at. Wanita wajib menutup seluruh tubuhnya. Yang jadi masalah apakah muka wanita adalah aurat. Terjadi ikhtilaf di antara para ulama dalam masalah ini.

Sesungguhnya para Ulama telah bersepakat bahwa seorang wanita wajib menutupi seluruh tubuhnya, perbedaan yang mu’tabar (dianggap) hanya terjadi pada wajah dan kedua telapak tangan.

Sebagian Ulama berpendapat bahwa menutup wajah dan kedua telapak tangan hukumnya wajib. Mereka berhujjah dengan beberapa dalil, di antaranya adalah :

1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ

Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir! [al-Ahzâb/33:53]

Para Ulama yang berpendapat wajib menutup wajah berargumen, “Sesungguhnya dalil tersebut mencakup seluruh kaum wanita karena semuanya masuk ke dalam alasan diwajibkannya menggunakan penutup (hijab), yaitu kesucian hati.”

2. Firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allâh Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [al-Ahzâb/33:59]

Mereka menafsirkan kata yudnîna yang ada di dalam ayat dengan menutup seluruh wajah dan hanya menampakkan satu mata saja untuk melihat.

Sementara kelompok Ulama yang lain berpendapat boleh hukumnya membuka wajah dan telapak tangan bagi seorang wanita, dan sesungguhnya menutup keduanya hanya sekedar mustahab (sunnah). Mereka berhujjah dengan beberapa dalil, di antaranya :

1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

”...Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat...” [an-Nûr/24:31]

Mereka berkata “yang biasa nampak” maksudnya adalah wajah dan kedua telapak tangan.

2. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Asmâ’ binti Abu Bakar Radhiyallahu anhuma datang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memakai pakaian yang tipis, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya dengan bersabda:

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيْضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا، وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ.

Wahai Asma! Sesungguhnya jika seorang wanita telah mencapai haidh, maka tidak boleh dilihat darinya kecuali ini dan ini. Beliau mengisyaratkan wajah dan kedua telapak tangan.[7]

3. Hadits Jâbir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, tentang nasihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum wanita pada hari Raya. Di dalamnya diungkapkan, “ ... Lalu seorang wanita yang duduk di tengah-tengah (kaum wanita) yang kehitam-hitaman kedua pipinya berdiri dan berkata, ‘Kenapa Rasûlullâh?’[8]

Mereka berkata, ucapan Jabir “yang kehitam-hitaman di kedua pipinya” merupakan dalil bahwa ia membuka wajahnya sehingga terlihat kedua pipinya.

4.Hadits Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma tentang kisah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membonceng al-Fadhl bin ‘Abbâs ketika haji Wada’ dan seorang wanita yang meminta fatwa kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dalam kisaha itu disebutkan, “Lalu al-Fadhl bin Abbâs Radhiyallahu anhuma menatapnya, ia adalah seorang wanita yang cantik, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang dagu al-Fadhl Radhiyallahu anhu dan memalingkan wajahnya ke arah yang lain.”[9]

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Seandainya wajah itu adalah aurat maka wajib ditutupi, sementara beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkannya terbuka di hadapan orang-orang, dan niscaya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya agar mengulurkan kerudung dari atas kepala. Dan seandainya wajah si wanita itu tertutup, niscaya Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma tidak akan mengetahui apakah wanita itu cantik atau tidak.”[10]

5. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dahulu para wanita Mukminah hadir bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Fajar dengan pakaian wol yang menutupi semua badan mereka. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka ketika mereka selesai melaksanakan shalat, tidak ada seorang pun mengenali mereka karena gelapnya akhir malam.”[11]

Mereka berkata. “Yang terpahami dari hadits di atas adalah bahwa jika tidak ada kegelapan, niscaya mereka akan dikenal dan biasanya mereka bisa diketahui dari wajah yang terbuka.”[12]

Pendapat jumhur Ulama ini yang paling kuat bahwa wajah wanita bukan aurat. Apabila mereka memakai cadar itu lebih baik, tapi hukumnya adalah mustahabb (sunnah) bukan wajib. Dan hal ini sesuai dengan kemudahan syari’at Islam untuk seluruh wanita Islam di seluruh dunia.[13]

image search by google



MENGINGKARI WANITA YANG MENAMPAKKAN WAJAHNYA (TIDAK MENGENAKAN CADAR)

Imam Abu Abdillah bin Muflih al-Maqdisi yang terkenal dengan Ibnu Muflih rahimahullah (wafat th. 762 M), beliau berkata[14] , “Bolehkah mengingkari wanita yang menampakkan wajahnya di jalan-jalan ? Dengan dalih wajibkah bagi wanita menutup wajahnya, ataukah para laki-laki wajib menundukkan pandangan darinya ? Atau ada dua pendapat dalam masalah ini ?

عَنْ جَرِيْر بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفَجْأَةِ؟ فَقَالَ: اِصْرِفْ بَصَرَكَ

Dari Jarîr bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang melihat (wanita-pent) dengan tiba-tiba (tidak sengaja-pent), maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Palingkanlah pandangan-mu!’”[15]

al-Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullah berkata tentang hadits Jarîr Radhiyallahu anhu, para Ulama berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat hujjah bahwa tidak wajib bagi seorang wanita untuk menutupi wajahnya di jalan (ketika dia keluar rumah-pent), sesungguhnya itu hanyalah sunnah yang dianjurkan bagi wanita. Dan wajib bagi laki-laki untuk menundukkan pandangan darinya dalam berbagai keadaan, kecuali jika memiliki tujuan yang sah dan syar’i.”[16]

Imam asy-Syaukâni rahimahullah berkata, “Kesimpulannya, bahwa wanita boleh menampakkan tempat-tempat yang biasa dihias padanya jika memang diperlukan ketika menjalankan sesuatu, seperti jual beli dan persaksian. Maka itu menjadi pengecualian dari keumuman pelarangan tentang menampakkan anggota-anggota badan yang biasa dihiasi. Hal ini dikarenakan tidak adanya tafsir yang marfû’.”[17]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pembahasan hadits di atas :

...وَإِنَّهَا لاَتَكُوْنُ أَقْرَبَ إِلَى اللهِ مِنْهَا فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا.

...Dan tidaklah ia lebih dekat kepada Allâh (ketika shalat) melainkan (ketika shalat) di dalam rumahnya.”

Maksudnya bahwa wanita shalat di dalam rumahnya lebih baik daripada shalat di masjid. Karena di dalam rumahnya dia lebih dekat kepada Allâh dan akan terhindar dari fitnah. Ada beberapa hadits yang menganjurkan wanita shalat didalam rumahnya, di antaranya;

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ، وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

Janganlah kalian melarang kaum wanita yang hendak mendatangi masjid, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.[18]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَا اللهِ، وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ.

Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allâh yang perempuan mendatangi masjid Allâh. Hanya saja, hendaklah mereka keluar dalam keadaan tidak mengenakan parfum.[19]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu juga, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُوْرًا، فَلاَ تَشْهَدَنَّ مَعَنَا الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ.

Siapa saja wanita yang memakai wewangian maka ia tidak boleh shalat ‘Isya` bersama kami.[20]

Yang terbaik bagi kaum wanita adalah shalat di rumah mereka. Dasarnya adalah hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma di atas :

...وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ.

... dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka

Dari Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :

صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِىْ بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِىْ حُجْرَتِهَا، وَصَلاَتُهَا فِى مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِىبَيْتِهَا.

Shalat seorang wanita di dalam kamarnya lebih utama dari pada shalatnya di ruang tamunya. Dan shalatnya di ruang pribadinya[21] lebih baik dari pada shalatnya di rumahnya[22].

FAWA-ID

1. Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali yang dikecualikan oleh syari’at.
2. Wanita wajib menutup auratnya dengan sempurna.
3. Wanita bila akan keluar rumah, wajib memakai jilbab yang sempurna dan sesuai tuntunan syar’i.
4. Haram bagi wanita memakai pakaian yang ketat, tipis, dan tembus pandang karena dapat menggambarkan aurat dan menampakkan bentuk tubuh.
5. Busana muslimah dengan mode-mode yang ketat, tipis, tembus pandang, adalah busana yang tidak syar’i.
6. Wanita adalah fitnah yang sangat berbahaya bagi laki-laki.
7. Perangkap setan untuk merusak manusia adalah wanita, sebab dengan terbukanya aurat wanita, maka wanita dan laki-laki akan menjadi rusak.
8. Wanita dianjurkan untuk tetap tinggal di rumahnya berdasarkan ayat dalam al-Qur-an Surat al-Ahzâb ayat ke-33.
9. Bila wanita keluar dari rumahnya, maka dia menjadi perangkap setan.
10. Setan menghiasi wanita, baik bagian depan maupun bagian belakangnya
11. Wanita lebih dekat kepada Allâh Azza wa Jalla bila berada di dalam rumahnya.
12. Shalat wanita di dalam rumahnya lebih baik daripada di masjid.
13. Bila wanita ingin ke masjid, maka dia tidak boleh memakai parfum, bersolek, dan lainnya, namun rumah mereka lebih baik bagi mereka.

MARAAJI’

1. al-Qur’ûnul Karîm.
2. Tafsîr Ibnu Katsîr, cet. Daar Thaybah.
3. Kutubussittah.
4. al-Mu’jamul Ausâth, Imam ath-Thabrani.
5. Shahîh Ibni Khuzaimah.
6. Shahîh Ibni Hibbân (at-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibbân).
7. Syarhus Sunnah, Imam al-Baghawi.
8. Fat-hul Bâri, cet. Daarul Fikr.
9. al-Âdâb Asy-Syar’iyyah, karya Ibnu Muflih. Tahqiq: Syu’aib al-Arna-uth dan Umar al-Qayyam, Mu-assasah ar-Risalah
10. at-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ish Shaghîr, karya Imam as-Shan’ani. Tahqiq: DR. Muhammad Ishaq Muhammad Ibrahim.
11. Nailul Authâr, Imam asy-Syaukani.
12. Irwâ-ul Ghalîl
13. Jilbâbul Mar-atil Muslimah
14. ar-Raddul Mufhim ‘ala Man Khâlafal ‘Ulamaa` wa Tasyaddada wa Ta’ashshaba wa Alzama al Mar-ata an Tastura Wajhaha wa Kaffaiha wa Aujaba wa lam Yaqna’ Biqaulihim Innahu Sunnatun, Syaikh al-Albani, cet. Maktabah al-Islamiyyah.
15. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
16. Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb.
17. Fiqhus Sunnah lin Nisâ’.

[.]
________
Footnote
[1]. at-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ish Shaghîr (X/474), karya Imam as-Shan’ani. Tahqiq: DR. Muhammad Ishaq Muhammad Ibrahim.
[2]. Tafsîr Ibnu Katsiir (III/399-400), cet. Daar Thaybah.
[3]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 2795, 2797), Abu Dâwud (no. 4014), dan al-Bukhâri secara ta’lîq dalam Fat-hul Bâri (I/478-479). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ-ul Ghalîl (I/297-298).
[4]. Shahih: HR. Ahmad (I/275), at-Tirmidzi (no. 2796),dan al-Bukhari secara ta’liq dalam Fat-hul Bâri (I/478-479), cet. Daarul Fikr. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ-ul Ghalîl (I/297-298).
[5]. Shahih: HR. Muslim (no.338 [74]) dan at-Tirmidzi (no. 2793).
[6]. Hasan: HR. Abu Dawud (no. 4017), at-Tirmidzi (no. 2769, 2794), Ibnu Majah (no. 1920), Ahmad (V/3-4), dan lainnya.
[7]. Hasan lighairihi: HR. Abu Dawud (no. 4104). Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dengan beberapa syawâhid (penguat)nya. Lihat kitab Jilbâbul Mar-atil Muslimah (hlm. 57-60).
[8]. Shahih: HR. Muslim (no. 885), an-Nasa-i (I/233), dan Ahmad (III/318).
[9]. Shahih:HR. al-Bukhâri (no. 6228) dan Muslim (no. 1218).
[10]. Al-Muhalla (III/218.
[11]. Shahih:HR. al-Bukhâri (no. 578) dan Muslim (no. 645).
[12]. Fiqhus Sunnah lin Nisâ’ (hlm. 382-385), karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim.
[13]. Lihat masalah ini dalam kitab Jilbâbul Mar-atil Muslimah, al-Maktabah al-Islamiyyah, dan kitab ar-Raddul Mufhim cet. Maktabah al-Islamiyyah. Kedua kitab ini karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah .
[14]. al-Âdâb Asy-Syar’iyyah (I/296), karya Ibnu Muflih. Tahqiq: Syu’aib al-Arna-uth dan Umar al-Qayyam, Mu-assasah ar-Risalah.
[15]. Shahih: HR. Muslim (no. 2159), Abu Dâwud (no. 2148), at-Tirmidzi (no. 2776), dan Ibnu Hibbân (no. 5571).
[16]. Disebutkan oleh Syaikh Muhyiddin an-Nawawi dan beliau tidak menambahkannya. Lihat Syarh Shahîh Muslim (XIV/139).
[17]. Nailul Authâr (XII/56), Imam asy-Syaukani, tahqiq Muhammad Subhi bin Hasan Hallaq.
[18]. Shahih:HR. Abu Dawud (no. 567), Ahmad (II/76-77), Ibnu Khuzaimah (no. 1684), al-Baihaqi (III/131), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 864).
[19]. Shahih:HR. Abu Dawud (no. 565), Ahmad (II/438), al-Humaidi (no. 978), Ibnu Khuzaimah (no. 1679), dan lainnya. Lafazh ini milik Abu Dâwud. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ-ul Ghalîl (no. 515).
[20]. Shahih: HR. Muslim (no. 444), Abu Dâwud (no. 4175), dan an-Nasa-i (VIII/154).
[21]. Kata اَلْمَخْدَعُ (al-Makhda’) artinya ruang khusus yang terletak di bagian paling ujung (tersembunyi) di dalam rumahnya. (Faidhul Qadîr, VI/293, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah)
[22]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 570) dan Ibnu Khuzaimah (no. 1690).

Selasa, 13 Juni 2017

Bersyukur (For my Self)

Dengan merasa bersyukur atas kesempatan hidup yang masih diberikan hingga saat ini.

Tanpa masa lalu, kamu engga mungkin akan menjadi kamu yang sekarang. Kesalahan diri di masa lalu bukan sesuatu hal yang berlama-lama harus disesali, tapi cukup dijadikan pelajaran supaya tidak mengulanginya di hari sekarang. Semua orang pasti pernah melakukan kesalahan, semua orang bisa untuk merasa bersalah dan menyesal, tapi sedikit orang yang bisa dengan ikhlas menerima kesalahan itu sebagai proses pendewasaannya, sebagai proses alami yang memang harus dia jalani untuk di kemudian hari.


Bersyukurlah untuk napas yang masih bisa dihirup di hari ini. Berterima kasihlah pada masa lalu yang tidak baik. Dan berjanjilah untuk membenahi apa yang masih harus dibenahi selagi masih memiliki waktu. Nikmatilah waktumu saat ini, lakukan kegiatan apa pun dengan sebaik dan semaksimal mungkin jika kamu ingin hari esok tidak lagi kamu sesali. Semangat ya :)

image by google


*Ngomong sama diri sendiri hahaha..

Selasa, 22 November 2016

Mulia Dan Mempesona Dengan Ahlak Islam

ilustrasi gambar by google

Dunia tiada artinya kecuali agama, dan tidak ada agama kecuali dengan akhlak yang mulia( Jami’ul ‘Ulum wal Hikam : 399)


Empat belas abad telah berlalu, ada seorang wanita Yahudi, cantik, cerdas, dan populer. Di balik keteduhan wajahnya, tersimpan dendam membuncah pada sosok lelaki tampan. Suami dan orang- orang yang dicintainya telah pergi meninggalkannya. Shofiyyah binti Huyai begitu bencinya pada manusia termulia di dunia, Rasulullah shalallaahu’alaihi wa sallam (Disebutkan dalam HR. Ibnu Hibban, dihasankan oleh Al-Albani).

Namun percayakah anda hanya dalam waktu singkat, sebuah kebencian menjelma menjadi benar-benar cinta. Apa rahasianya? Itulah kekuatan hebat akhlak Rasulullah shalallaahu’alaihi wa sallam yang telah mempesona Shofiyah hingga mengantarkannya pada hidayah Islam, sangat singkron dengan ungkapan hadits,

أَحْبِبْ حَبِيْبَكَ هَوْناً مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيْضَكَ يَوْماً مَا، وَأَبْغِضْ بَغِيْضَكَ هَوْناً مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيْبَكَ يَوْمًا مَا

Artinya, “Cintailah kekasihmu sewajarnya, karena suatu hari nanti dia bisa menjadi orang yang kamu benci. Dan bencilah musuhmu sewajarnya, karena suatu hari nanti ia bisa menjadi sosok yang paling kamu cintai”. (HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Syaikh Al-Albani).

Rasulullah shalallaahu’alaihi wa sallam senantiasa memuliakan orang lain, meski orang tersebut sama sekali bersikap arogan, tidak simpatik bahkan memusuhi beliau. Namun beliau senantiasa berbuat baik hingga mereka terpesona akan keluhuran dan kelembutannya sehingga mereka masuk Islam.

Islam yang ditampilkan generasi awal telah berhasil membuat takjub penuh keheranan, sehingga berbondong-bondong mereka menyongsong cahaya Iman. Itulah fenomena Islam ketika kaum muslimin masih berpegang teguh dan mengamalkan Islam secara murni. Akhlak mulia ini  mampu membuat Islam berabad-abad menguasai dunia.

Umar bin Abdul Aziz, adalah salah satu contoh nyata betapa ia tawadhu’ dan mampu menjadi role mode bagi umatnya dalam kebaikan dan taqwa. Begitu pula kisah menarik putri Sa’id bin Musayib, yang ia bangga menikahkan anaknya dengan lelaki duda dan miskin, namun memiliki kemuliaan ilmu dan akhlak.

Suatu ketika seseorang berbuat kasar dan mencaci maki Imam Abu Hanifah. Beliau tidak membalas dengan sepatah katapun padanya. Ia pulang ke rumah dan mengumpulkan beberapa hadiah, lalu pergi mengunjungi orang tersebut. Kemudian Imam Abu Hanifah memberikan hadiah-hadiah itu kepadanya seraya berkata, “ Kamu telah berbuat untukku hal sangat aku sukai, yaitu membuat pindahnya catatan perbuatan baikmu menjadi catatan perbuatan baikku dengan cara berlaku kasar seperti tadi kepadaku”.

Ada pula kisah inspiratif di abad ini yaitu seorang wanita yang sangat dibenci tetangganya. Dia tidak ramah dan sering menyakiti hatinya. Tetapi wanita itu tetap berbuat baik kepada tetangganya. Dia berusaha terus merebut hatinya, akhirnya dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla wanita itu mampu membuat pesona di hati tetangganya dan mereka berdua akhirnya menjadi akrab dan bersahabat.

Mutiara Akhlak Nabawi
Akhlak mulia adalah salah satu sifat-sifat para nabi, rasul, para shadiqin dan orang-orang shalih. Semua akhlak terpuji dan adab yang indah terhimpun, dalam diri beliau.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

 “ Sesungguhnya kamu berada di atas akhlak yang mulia”. (Q.S. Al-Qolam: 4).

Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pernah ditanya  tentang hal apakah yang paling banyak memasukkan seseorang ke surga? Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda (artinya): “Ketaqwaan kepada Allah dan akhlaq yang baik.” (HR. At-Tirmidzi dan yang lainnya, di hasankan oleh Syaikh Al-Albani)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّمَابُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad, Al-Hakim dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).

“ Sesungguhnya seseorang itu dengan kemuliaan akhlaknya akan dapat mencapai tingkatan yang berpuasa dan mengerjakan shalat malam”. ( HR. Abu Dawud dan Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Abani ).

 Ali bin Abi Thalib berkata : “Kebagusan akhlak seseorang tercermin dalam tiga perangai : menjauhi yang haram, mencari yang halal , dan bersikap lapang terhadap keluarga. ( Al Ihya : 3/57).

Sebuah Fenomena Tragis
Tak jauh dari kota Jakarta, suatu ketika mengadakan pemilihan ketua RT. Saat itu ada 2 calon seorang muslim dan satunya non Islam. Hasil akhirnya sungguh mengejutkan, ternyata yang menang adalah sosok yang non muslim, padahal mayoritas penduduknya Islam. Dari berbagai aspek sosok non muslim itu memilki pesona yang hebat, ia bisa menjadi magnet, figurnya baik hati, suka menolong ramah sangat peduli pada orang lain dan berbagai kelebihan- kelebihan lainnya hingga pamornya melejit.

Gencarnya propaganda dan aksi para missionaris, orientalis dan gerakan kristenisasi tak terlepas dari bertanam budi. Mereka sepintas terlihat care, powerfull, dan begitu antusias dalam memperlihatkan perbuatan baiknya, dalam upaya menarik simpati dan tabur pesona. Tetapi semua itu tak lebih dari musang berbulu domba, hanya kamuflase, mengecoh dan akhirnya berujung pada kemurtadan. Mereka yang jelas-jelas menyimpang dari kebenaran saja berupaya tampil beda agar terlihat wow, terlihat indah, menakjubkan di mata manusia, apalagi seorang mukmin yang selalu menempuh shirathal mustaqim tentunya harus bisa tampil mempesona dengan akhlak Islam. Karena menyempurnakan akhlak mulia adalah bagian penting dari diutusnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

Murojaah: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah, Isruwanti Ummu Nashifah




 

Minggu, 20 November 2016

Sukses Mendidik Buah Hati Sejak Dini (Pendidikan Iman Untuk Anak)

Mendengarkan bacaan Al-Qur’an dan dzikir harian yang dibaca oleh kedua ayah ibunya dan saudara-saudaranya secara berulang-ulang, akan memberikan konsumsi rohani dan menghidupkan hati sang anak sebagaimana hujan bisa menghidupkan tanah yang kering kerontang.


ilustrasi gambar by google




Anak di usia minimal tiga tahun sebaiknya melihat ayah dan ibunya yang sedang melaksanakan shalat dan mendengarkan keduanya sedang membaca Al-Qur’an. Mendengarkan bacaan Al-Qur’an dan dzikir harian yang dibaca oleh kedua ayah ibunya dan saudara-saudaranya secara berulang-ulang, akan memberikan konsumsi rohani dan menghidupkan hati sang anak sebagaimana hujan bisa menghidupkan tanah yang kering kerontang, karena mendengar dan menyaksikan kedua orang tua yang sedang berdzikir, memberikan pengaruh kepada tindakan dan ucapan anak.

Salah satu contohnya adalah kisah seorang anak berikut ini:

Suatu ketika, seorang ibu baru selesai berwudhu, mendadak dilihatnya anaknya yang berusia tiga tahun membasuh wajah dan kedua tangannya mengikuti apa yang barusan dilakukan ibunya. Selanjutnya, ia mengangkat jari telunjuknya lantas membaca doa, “Laa ilaaha illallah”. Ini menunjukan bahwa anak mengetahui dari tindakan kedua orang tuanya bahwa ada dzikir-dzikir tertentu yang diucapkan sesudah wudhu.

Ada satu cerita lain. Seorang ibu melaksanakan shalat sunnah wudhu –pada suatu hari-. Kemudian ia berdiri untuk menyelesaikan pekerjaan di rumah. Anak perempuannya biasa melihat ibunya sesudah shalat duduk di tempat shalatnya, sehingga selesai membaca dzikir-dzikir shalat. Tetapi, saat itu sang anak melihat ibunya sesudah melaksanakan shalat langsung berdiri. Anak itu pun berkata, “Ibu, mengapa ibu berdiri meninggalkan tempat shalat sebelum membaca, ‘Astaghfirullah?’” Kejadian ini menunjukan betapa telitinya perhatian anak kepada kedua orang tua mereka.

Sewaktu-waktu, semua orang bisa terkena penyakit. Begitu pula, anak kita juga akan mengalami sakit. Saat-saat sakitnya seyogyanya dijadikan sebagai kesempatan untuk menguatkan hubungannya dengan Allah ta’ala dengan cara mengingatkannya bahwa kesehatan merupakan karunia dan nikmat Allah ta’ala yang harus disyukuri; bahwa manusia itu lemah dan tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Rabbnya. Ketika meminum obat atau pergi ke rumah sakit, kita beritahukan kepadanya bahwa kesembuhan itu datang dari Allah, berobat dan ke rumah sakit hanyalah sarana kesembuhan yang diperintahkan oleh Allah untuk melakukannya. Kemudian, kita ajari mereka mengamalkan bacaan-bacaan ruqyah yang disyariatkan. Kita ambilkan contoh dari para Nabi, bagaimana mereka mengupayakan sebab, dan ketawakalan mereka kepada Allah ta’ala. Misalnya kisah Ayyub ‘alaihis salam dan sakitnya, kisah Ya’qub ‘alaihis salam ketika memerintahkan anak-anaknya memasuki pintu-pintu negeri Mesir dari arah berbeda-beda, akan tetapi diberitahukan bahwa hal itu sama sekali tidak berguna untuk menolak ketetapan Allah dan ia menyerahkan segala urusan hanya kepada Allah ta’ala. Allah berfirman mengisahkan ucapan Ya’qub:

وَقَالَ يَا بَنِيَّ لَا تَدْخُلُوا مِن بَابٍ وَاحِدٍ وَادْخُلُوا مِنْ أَبْوَابٍ مُّتَفَرِّقَةٍ ۖ وَمَا أُغْنِي عَنكُم مِّنَ اللَّهِ مِن شَيْءٍ ۖ 

“Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah” (QS. Yusuf: 67). 
Adalah penting untuk mengingatkan anak-anak agar mengharapkan, bersabar menjalani sakit, dan menjalani pengobatan. Seorang ibu bercerita anaknya yang masih kecil bahwa Allah ta’ala menghendaki anaknya itu terkena penyakit yang dalam istilah medis disebut sebagai “penyakit kronis”. Itu menurut penilaian medis dan manusia, akan tetapi kesembuhan hanyalah di tangan Allah ta’ala. Sang ibu bercerita bahwa anaknya ini terpaksa harus minum obat dua kali sehari. Sang ibu selalu mengingatkan anaknya akan pahala Allah. Mendadak, pada suatu hari, anak ini berkata kepada ibunya, “Aku mendapat pahala karena minum obat ini.” Anak ini mengatakannya dengan bangga, seakan-akan ia diistimewakan dengan memperoleh pahala ini, sementara keluarga dan saudara-saudaranya tidak.

والله أعلمُ بالـصـواب

Bolehkah Wanita Berenang Di Kolam Renang?



Hukum asal bagi seorang wanita berenang sendirian di kolam renang tanpa dilihat oleh orang lain adalah boleh. Akan tetapi, jika dia ingin berenang di pemandian umum, dia harus memperhatikan hal-hal berikut agar tidak terjatuh kepada perbuatan dosa



ilustrasi gambar by google

Terkadang wanita juga membutuhkan sesuatu yang bisa menyegarkan kembali dirinya dari kejenuhannya menjalankan aktivitas sehari-harinya, tidak hanya laki-laki yang bisa dengan mudah mencari aktivitas untuk menghibur dirinya. Cara yang ditempuh wanita pun bermacam-macam, ada yang suka berbelanja, ada yang suka pergi ke gunung, ada yang suka berenang dan ada yang suka melakukan aktivitas lainnya.

Mungkin sebagian pembaca pernah bertanya, apakah boleh seorang wanita pergi ke kolam renang untuk berenang di sana? Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang wanita untuk mandi di hammaam (tempat pemandian umum di zaman Rasulullah)?

Ya, benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang wanita untuk mandi di tempat pemandian umum. Beliau bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُدْخِلْ حَلِيلَتَهُ الْحَمَّامَ

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia memasukkan istrinya ke dalan hammaam (tempat pemandian umum).”[1]

Begitu pula sabda beliau shallallahu ‘alahi wa sallam:

مَا مِنْ امْرَأَةٍ تَضَعُ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلَّا هَتَكَتْ السِّتْرَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ رَبِّهَا

“Wanita mana yang melepaskan pakaiannya di selain rumah suaminya, maka dia telah merusak hubungan antara dirinya dengan Allah.”[2]

Di zaman Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam belum dikenal kamar mandi khusus di rumah masing-masing orang. Sehingga sebagian orang lebih mengutamakan mandi di hammaam, karena di sana berdekatan dengan sumur dan mudah untuk mengambil air darinya. Tempat pemandian umum (hammaam) di zaman Nabi, tidak bercampur baur antara laki-laki dan wanita. Akan tetapi, memang masih memungkinkan untuk terlihatnya aurat satu dengan yang lain, sehingga dapat menimbulkan fitnah. Wanita memungkinkan untuk melihat aurat wanita lain, demikian juga dengan laki-laki. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.

Bagaimana dengan kolam renang?
Hukum asal bagi seorang wanita berenang sendirian di kolam renang tanpa dilihat oleh orang lain adalah boleh. Akan tetapi, jika dia ingin berenang di pemandian umum, dia harus memperhatikan hal-hal berikut agar tidak terjatuh kepada perbuatan dosa:

·         Wanita yang ingin berenang harus menutup auratnya dan berpakaian tidak ketat.
·         Wanita-wanita yang hadir di kolam renang tersebut juga harus menutup auratnya dan berpakaian tidak ketat, sehingga tidak saling memungkinkan untuk saling melihat antara satu dengan yang lainnya.
Karena Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam melarang seorang wanita melihat aurat wanita yang lain, beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ

“Janganlah seorang laki-laki melihat kepada aurat laki-laki lain dan janganlah seorang wanita melihat aurat wanita lain.”[3]

·         Tidak ada campur-baur antara laki-laki dan wanita di tempat tersebut.
·         Tempat tersebut aman dari pandangan lelaki. Laki-laki tidak bisa melihat ke dalamnya.
·         Mendapatkan izin dari suami apabila sudah menikah dan dari wali apabila belum menikah.
Meskipun keempat syarat di atas terpenuhi tetapi suami atau wali tidak mengizinkan, maka tidak boleh seorang wanita memaksakan dirinya untuk pergi ke sana, karena mematuhi suami atau wali hukumnya adalah wajib pada permasalahan-permasalahan yang mubah (boleh).

Jika telah terpenuhi syarat-syarat di atas, maka tidak mengapa seorang wanita berenang. Jika tidak terpenuhi maka seorang wanita jangan memaksakan dirinya untuk pergi ke kolam renang.

Untuk saat ini sangat jarang ditemukan kolam renang yang memenuhi kriteria-kriteria di atas. Oleh karena itu, sebagai bentuk ke-wara’-an atau kehati-hatian maka sebaiknya seorang wanita tidak berenang di kolam renang, kecuali di kolam renang pribadi. Ini lebih baik baginya dan lebih menjaga kesucian dirinya.

Adapun hadits kedua yang disebutkan di atas, maka diterapkan pada kolam renang yang tidak memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan. Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka tidak ada bedanya dengan hukum berkumpulnya wanita dengan wanita lainnya di suatu tempat. Allahu a’lam.

Dan saya juga menyarankan kepada orang-orang yang ingin membangun kolam renang dan disewakan kepada orang lain agar memperhatikan hal-hal berikut:

·         Kolam renang harus benar-benar tertutup sehingga tidak bisa terlihat dari luar.
·         Kolam renang laki-laki khusus untuk laki-laki dan kolam renang wanita khusus wanita.
·         Menyediakan pakaian khusus untuk berenang dan tidak membolehkan orang berenang kecuali dengan pakaian tersebut, jika pakaian yang dipakai oleh orang tersebut belum memenuhi syarat yang telah ditetapkan syariat.
·         Menyediakan ruang ganti baju yang tertutup.


Referensi :  Maraji’ dari berbagai sumber.

Catatan kaki
[1] HR At-Tirmidi no. 2801
[2] HR Abu Dawud no. 4012 dan At-Tirmidzi no. 2803
[3] HR Muslim no. 338.