Kamis, 02 Februari 2017

CIDAHA ( Cinta Dalam Hati )

Di sebuah ruangan yang dipenuhi kesunyian, rindu demi rindu berlarian, air mata demi air mata berjatuhan. Mungkin di atas sana, Alloh sedang menatap dengan penuh kekhawatiran atau barangkali di balik punggungNya tersembunyi sebuah kejutan. Entah dimulainya sejak kapan, cinta ini sepertinya sudah cukup lama aku pendam sendirian. Aku tidak mengerti dengan baik mengenai kerelaan. Namun yang aku tahu dengan pasti, di detik saat sebuah senyum kausunggingkan, di titik yang lain aku juga turut merasakan kebahagiaan.

Detak-detik jarum jam menusuk telinga, seakan menegaskan ada nada bisu yang diteriakkan semesta untuk kita. Sunyi sudah menjadi teman, sejak kutahu aku bagimu tak mungkin menjadi pasangan.
Aku ingin kamu menginginkanku.

ilustrasi gambar by google


Satu kalimat yang kemudian menguap seiring berlalunya waktu. Betapa menjadi yang tulus mencintai, menanti sepenuh hati, tetap saja bukan jaminan akan balas dicintai. Apakah cinta memang begini? Apakah cinta bisa setega ini, ataukah aku yang salah menangkap arahan Tuhan tentang rasa di hati?

Terkadang aku ingin cinta kita semudah membalikkan telapak tangan, namun kusadari bukan dengan sesingkat itu mimpi bisa terwujudkan. Terkadang aku ingin cinta menemukan tujuannya setelah lelah berjalan tanpa henti. Namun mungkin waktunya bukanlah saat ini. Mungkin tujuanku semestinya bukan kamu. Mungkin aku tidak perlu membuang waktu untuk terus menunggu.Sebut saja kedua mataku buta, yang tak juga menyadari ketika lampu merah ke arahmu sudah benar-benar menyala.
Harus meminta Tuhan seperti apa, agar kamu kelak membalas seluruh cinta? Barangkali memang begini seharusnya. Aku cinta, kamu tidak. Aku terluka, kamu tak tahu apa-apa.

Bersandar pada ketetapan hati, aku terus menanti. Meski kutahu bukan aku alamat rumah yang hatimu cari. Cinta ini sudah terlanjur, dan yang tertinggal hanya serpihan hati yang hancur. Namun belum menyerah aku memperjuangkanmu, sebab belum ada lain hati yang mampu mengetuk pintu di dadaku. Jika aku terus mengharapkanmu, bolehkah? Aku hanya ingin menjadi yang pintar mencintai, meski tak begitu fasih dalam ilmu memiliki.

Sementara hati ingin menjadi satu-satunya yang kamu ingini, cinta pun berkata, ia tak ingin membenci. Tak apa aku bukan untukmu, tak apa kita tidak saling menuju. Tetap saja segala harap, semua rindu, setiap peluk bermuara padamu.

Beberapa pelukan memang diciptakan untuk mengantar rindu sampai ke tempat tujuan. Jika boleh sekali saja berharap untuk bisa memelukmu, menganggukkah kamu? Jika boleh sekali saja tertawa untuk perjalanan yang entah kapan habisnya, bolehkah aku? Jika selamat tinggal adalah satu-satunya yang tersisa, ketahuilah bahwa selama ini kamu pernah menjadi sosok yang benar-benar aku cinta. Pada akhirnya kita berdua pasti akan bahagia. Meski bahagiamu ialah dengan bersama yang lain, dan bahagiaku adalah mengubah arah harapan menjadi sesuatu yang lebih mungkin.

Mengagumi dari jarak sejauh ini adalah pintu bahagia yang kupilih. Dan semoga kelak, Tuhan akan memberiku kunci untuk pintu menuju bahagia yang lain: merelakanmu, misalnya.
Aku bukanlah siapa-siapa, tentu saja aku harus rela jika pada akhirnya kamu berjumpa dengan dia yang ditakdirkan semesta. Dan aku memang bukanlah siapa-siapa, justru itu yang membuatku harus menelan perihnya luka.

Jika mencintai dalam diam adalah jarak terjauh yang mampu hatiku tuju, semoga secepatnya bahagia datang menujuku. Semoga tangan-tangan keajaiban ikhlas kelak memelukku, mencipta rasa lega luar biasa ketika melihatmu bahagia, meski bukan denganku.

ilustrasi gambar by google



Dingin dinding memeluk sunyi yang mencintaiku tanpa tetapi. Aku tersenyum lemah pada bayanganku sendiri, seraya bertanya: Masih sanggup menanti? Tak lelahkah hati?

Gaung namamu dalam bisu bibirku lebih nyaring daripada seluruh tanya itu. Dalam hati, cinta padamu terus mengaliri sepi.


*Ditemenin Lagunya Ungu-Cinta Dalam hati

0 komentar:

Posting Komentar