Tampilkan postingan dengan label Kutipan Ayat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kutipan Ayat. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 September 2018

Tarbiyatul Aulad dari Luqman Al hakim

image search by google


Pendidikan Ibadah dan Adab untuk Anak Islami

Allah SWT telah memberikan hikmah kepada Luqman Al Hakim. Hikmah itu adalah benarnya ilmu dan amal. Beliau adalah sosok pendidik yang sukses dalam mendidik anak-anaknya dalam menanamkan tauhid.

Ditengah maraknya ilmu-ilmu Parenting yang berkembang saat ini. Seharusnya kita tidak lupa belajar bagaimana parenting (pola asuh) Luqman dalam mendidik anak-anaknya. Metode Luqman ini merupakan pola asuh terbaik sehingga Allah SWT abadikan dalam Al Qur’an surat Luqman.

Surat Luqman identik dengan tarbiyatul aulad, dimana ayat-ayatnya memuat uslub yang mangagumkan dalam pendidikan anak yang didasarkan kepada manhaj Allah SWT. Ia merupakan tarbiyah yang komprehensif yang dibutuhkan anak-anak baik di dunia maupun akhirat. Tarbiyah itu mencakup pokok-pokok bahasan sebagai berikut.

Pertama, Penanaman Tauhid dan Larangan berbuat syirik kepada Allah SWT.

Pokok bahasan itu terdapat kita lihat dengan jelas dalam surat ini semuanya. Karena yang pertama kali wajib kita tumbuhkan pada anak-anak kita dalah tentang tauhidullah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.

Lalu bagaimana caranya kita menanamkan makna itu pada jiwa anak-anak kita? Hendaknya kita perlihatkan kepada mereka kerajaan (kekuasaan) Allah yang ada di alam semesta ini.
Kita ajak mereka berjalan-jalan untuk melihat berbagai pemandangan alam. Ini agar mereka mengetahui kekuasaan Allah dalam segala ciptaaan-Nya, dan mereka mengenal keagungan sang khaliq, Allah Swt atas semua makhluknya.

Perhatikan bagaimana cara Luqman mendidik puteranya. Allah Swt berfirman :

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar.” (Qs. Luqman : 13)

Ia memulai dengan pelajaran teori tentang larangan keras mengenai syirik, setelah itu mulai dengan pelajaran aplikasi amal. 

Allah Swt berfirman :
“(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Luqman : 16).

Ayat agung ini memberikan perumpamaan yang bisa dipahami anak-anak. Ia juga mengandung makna yang amat besar dan sejalan dengan orang tua, yang menjadikan mereka bisa merasakan kekuasaan, pengawasan dan ilmu Allah SWT.

Kedua, Berbuat baik kepada kedua orang tua (birrul walidain)

Ia mengenalkan kepada anak-anak tentang keutamaan orang tua atas mereka. Dengan demikian, mereka mengenal makna syukur baik kepada Allah maupun kepada kedua orang tua. Allah Swt berfirman.

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadakulah kembalimu.” (Luqman : 14)

Ayat ini memerintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua dan untuk tidak berbuat syirik. Al Qur’an mengajarkan kepada kita, bahwa kedua perkara itu tidak semestinya bertentangan satu sama lain. 

Allah Swt berfirman :
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (Qs. Luqman : 15)

Berikutnya disebutkan kaidah yang penting tentang keseimbangan diantara berbuat baik kepada orang tua (birrul walidain) dengan meninggalkan syirik. Allah Swt berfirman :

“Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutlah jalan orang yang kembali kepadaku, kemudian hanya kepadakulah kembalimu, maka kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan: (Luqman : 15).

Surat Luqman telah memberikan arahan-arahan dalam mendidik anak. Luqman merupakan sosok pendidik yang tenang, cakap memberikan nasehat-nasehatnya. Ia mengatakan “Ya Bunaiya” Wahai Anakku!.

Surat ini memberikan arahan kepada orang tua temanilah anak-anakmu dan perilakukanlah mereka dengan penuh rasa cinta sebelum kalian memberikan mereka nasehat. Bicaralah dengan mereka dari hati, pengalaman, dan kesalahan-kesalahan dalam hidup.

Perlakukanlah mereka dengan penuh keakraban dalam menasehati mereka, sebelum menggunakan kata perintah dan larangan dengan keras. Surat ini benar-benar merupakan manhaj tarbiyah yang paling utama yang terdapat dalam Al Qur’an. Baca makalah sebelumnya (Belajar Tauhid dan Aplikasinya dari Luqman Al Hakim)

Pokok-pokok pola asuh yang diajarkan luqman adalah sebagai berikut.

Ketiga, Urgensi (Ahammiyyah) ibadah dan berbuat kebajikan dalam hidup

Allah Swt berfirman :

“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar” (Qs. Luqman : 17)

Tarbiyah itu tidak berarti kita cukup memberikan kepada anak-anak kita persedian makanan, minuman, tempat tinggal, pakaian dan obat-obatan semata, mengingat itu semua termasuk perlengkapan rumah. Namun, Tarbiyah adalah bagaimana menumbuhkembangkan anak-anak kita menjadi hamba Allah SWT
Dan tarbiyah tidak hanya terbatas pada pendidikan shalat pada anak-anak seperti diyakini oleh mayoritas orang tua. Kita juga berkewajiban untuk menanamkan pada jiwa-jiwa mereka kebajikan terhadap masyarakat dan saudara-saudara mereka.

Dengan demikian, mereka akan selalu menyuruh berbuat kebaikan (Amar makruf) dan melarang dari perbuatan munkar (nahi munkar), serta menjadikan orang-orang yang mendapat hidayah Allah Swt.

Keempat, Mengenalkan hakekat dunia

Ada beberapa orang tua yang (sengaja) mendidik anak-anak mereka dengan hidup mewah (hura-hura), foya-foya, dan selalu bergantung kepada kekayaan orang tua. Sebagian orang tua mengira bahwa mereka dapat menjamin kebutuhan hidup anak-anak mereka selama di dunia.

Padahal seharusnya dilakukan oleh mereka adalah mengenalkan kepada anak-anak mereka tentang hakekat dunia berikut teka-tekinya yang berubah-ubah. Sesungguhnya dunia ini tidak akan selamanya bersama orang tua mereka. Seharunya mereka menyandarkan diri kepada diri sendiri, bukan kepada orang tua.

Berkenaan dengan hal itu, luqman pernah berpesan kepada anaknya, sebagaiman disebutkan pada ayat 17.

“Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesunggunya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (Qs. Luqman : 17)

Lebih khusus lagi, apabila sang anak dibesarkan dalam lingkungan yang baik seperti yang disinggung dalam ayat awal ayat 17.

“Suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar.” (Qs. Luqman : 17)

Anak-anak harus banyak mendapatkan arahan berupa kesabaran karena sesungguhnya jalan yang ditempuh dalam berbuat kebajikan dan dakwah di jalan Allah tidak akan terlepas dari masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan.

Kelima, Menanamkan etika (Adab) dan perasaan

Allah Swt berfirman :

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Qs. Luqman : 18 – 19)

Ayat diatas berisi arahan agar bergaul dengan manusia dengan penuh etika (adab) dan perasaan (kelembutan). Bahkan lebih spesifik dalam soal berjalan dan berbicara. Janganlah seseorang mengangkat (memalingkan) mukanya dari manusia karena sombong. Janganlah ia berjalan dengan penuh rasa angkuh, namun hendaknya ia berlaku sederhana dalam hal itu. “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan”. Dan janganlah ia meninggikan suaranya di hadapan orang yang mendengar lawan bicaranya.

Keenam, Membatasi tujuan hidup dan merencanakan masa depan

Diantara keagungan surat ini adalah  bahwa ia juga mencakup makna pendidikan untuk menentukan tujuan hidup dan masa depan. “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan”. Ayat ini bisa jadi merupakan pelengkap bagi rangkaian perasaan dan akhlak (budi pekerti) yang menjadi pembicaraan surat ini.

Maknanya berarti, hendaknya anda berjalan di muka bumi dengan penuh kesederhanaan, tidak angkuh, atau tidak sombong. Makna lainnya adalah hendaknya anda membuat maksud dan tujuan setiap langkah yang anda lakukan. Janganlah anda hidup di dunia secara berlebihan, tanpa memiliki tujuan yang jelas.



Refernsi:
 - Katsir, Ibnu. al-Bidayah wan Nihayah
- "Menyelami Nasihat Lukman Al-Hakim", Hidayah, volume 8, edisi 87, November 2008,
 hlm. 162-165.

Jumat, 21 Oktober 2016

Lindungi Diri Dengan Jilbab Syar‘i

Wanita telah digariskan menjadi lentera rumah tangga sekaligus pendidik generasi mendatang. Oleh karena itu, ia harus menjaga kesuciannya, memiliki rasa malu yang tinggi, mulia, dan bertaqwa.

slam mewajibkan seorang wanita untuk dijaga dan dipelihara dengan sesuatu yang tidak sama dengan kaum laki-laki. Wanita dikhususkan dengan perintah untuk berhijab (menutup diri dari laki-laki yang bukan mahram). Baik dengan mengenakan jilbab, maupun dengan betah tinggal di rumah dan tidak keluar rumah kecuali jika ada keperluan, berbeda dengan batasan hijab yang diwajibkan bagi laki-laki.

Allah ta‘ala telah menciptakan wanita tidak sama dengan laki-laki. Baik dalam postur tubuh, susunan anggota badan, maupun kondisi kejiwaannya. Dengan hikmah Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal, kedua jenis ini telah memunculkan perbedaan dalam sebagian hukum-hukum syar‘i, tugas, serta kewajiban yang sesuai dengan penciptaan dan kodrat masing-masing sehingga terwujudlah kemaslahatan hamba, kemakmuran alam, dan keteraturan hidup.

Wanita telah digariskan menjadi lentera rumah tangga sekaligus pendidik generasi mendatang. Oleh karena itu, ia harus menjaga kesuciannya, memiliki rasa malu yang tinggi, mulia, dan bertaqwa. Telah dimaklumi bahwa seorang wanita yang berhijab sesuai dengan apa yang dimaksudkan Allah dan Rasul-Nya, maka tidak akan diganggu orang yang dalam hatinya terdapat keinginan untuk berbuat tidak senonoh, serta akan terhindar dari mata-mata khianat.

Pengertian Jilbab
Ada beberapa pendapat di kalangan ulama tentang definisi jilbab. Ibnu Rajab mengatakan jilbab itu mala-ah (kain yang menutupi seluruh tubuh dari kepala sampai kaki yang dipakai melapisi baju bagian dalamnya, seperti jas hujan). Pendapat ini juga dipilih oleh al-Baghawi dalam tafsirnya dan al-Albani. Ada juga yang berpendapat jilbab itu sama dengan khimar alias kerudung sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi, Ibnu Hajar, dll. As-Sindi mengatakan, “Jilbab adalah kain yang digunakan oleh seorang perempuan untuk menutupi kepala, dada, dan punggung ketika keluar rumah.”

Syarat Jilbab
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang tokoh besar modern dalam bidang hadits, telah melakukan penelitian terhadap ayat-ayat al-Qur‘an dan sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta atsar-atsar para ulama terdahulu mengenai masalah yang penting ini. Beliau mengatakan bahwa seorang wanita hanya diperbolehkan keluar dari rumahnya (begitu pun apabila di dalam rumahnya terdapat laki-laki yang bukan mahramnya) dengan mengenakan jilbab, yaitu berbagai jenis pakaian yang telah memenuhi syarat-syarat berikut ini:

Syarat pertama: menutupi seluruh tubuh kecuali bagian yang dikecualikan
Syarat ini tercantum dalam firman Allah ta‘ala, surat An-Nuur, ayat 31

وَŁ‚ُŁ„ْ Ł„ِŁ„ْŁ…ُŲ¤ْŁ…ِنَŲ§ŲŖِ يَŲŗْŲ¶ُŲ¶ْنَ Ł…ِنْ Ų£َŲØْŲµَŲ§Ų±ِهِنَّ وَيَŲ­ْفَŲøْنَ فُŲ±ُوجَهُنَّ وَلا يُŲØْŲÆِŁŠŁ†َ Ų²ِŁŠŁ†َŲŖَهُنَّ Ų„ِلا Ł…َŲ§ ŲøَهَŲ±َ Ł…ِنْهَŲ§ وَŁ„ْيَŲ¶ْŲ±ِŲØْنَ ŲØِŲ®ُŁ…ُŲ±ِهِنَّ Ų¹َŁ„َى Ų¬ُيُوبِهِنَّ وَلا يُŲØْŲÆِŁŠŁ†َ Ų²ِŁŠŁ†َŲŖَهُنَّ Ų„ِلا Ł„ِŲØُŲ¹ُŁˆŁ„َŲŖِهِنَّ Ų£َوْ Ų¢ŲØَŲ§Ų¦ِهِنَّ Ų£َوْ Ų¢ŲØَŲ§Ų”ِ ŲØُŲ¹ُŁˆŁ„َŲŖِهِنَّ Ų£َوْ Ų£َŲØْنَŲ§Ų¦ِهِنَّ Ų£َوْ Ų£َŲØْنَŲ§Ų”ِ ŲØُŲ¹ُŁˆŁ„َŲŖِهِنَّ Ų£َوْ Ų„ِŲ®ْوَانِهِنَّ Ų£َوْ ŲØَنِي Ų„ِŲ®ْوَانِهِنَّ Ų£َوْ ŲØَنِي Ų£َŲ®َوَŲ§ŲŖِهِنَّ Ų£َوْ نِŲ³َŲ§Ų¦ِهِنَّ Ų£َوْ Ł…َŲ§ Ł…َŁ„َكَŲŖْ Ų£َيْŁ…َانُهُنَّ Ų£َوِ التَّŲ§ŲØِŲ¹ِŁŠŁ†َ ŲŗَيْŲ±ِ Ų£ُŁˆŁ„ِي ال؄رْŲØَŲ©ِ Ł…ِنَ الرِّŲ¬َŲ§Ł„ِ Ų£َوِ الطِّفْŁ„ِ Ų§Ł„َّŲ°ِŁŠŁ†َ Ł„َŁ…ْ يَŲøْهَŲ±ُوا Ų¹َŁ„َى Ų¹َوْŲ±َŲ§ŲŖِ النِّŲ³َŲ§Ų”ِ وَلا يَŲ¶ْŲ±ِŲØْنَ ŲØِŲ£َŲ±ْŲ¬ُŁ„ِهِنَّ Ł„ِيُŲ¹ْŁ„َŁ…َ Ł…َŲ§ يُŲ®ْفِŁŠŁ†َ Ł…ِنْ Ų²ِŁŠŁ†َŲŖِهِنَّ وَŲŖُوبُوا Ų„ِŁ„َى اللَّهِ Ų¬َŁ…ِيعًŲ§ Ų£َيُّهَŲ§ Ų§Ł„ْŁ…ُŲ¤ْŁ…ِنُŁˆŁ†َ Ł„َŲ¹َŁ„َّكُŁ…ْ ŲŖُفْŁ„ِŲ­ُŁˆŁ†َ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung (khimar) ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.’” (Qs An Nuur: 31)

Begitu juga surat Al-Ahzaab, ayat 59,

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Para ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi‘in memang berselisih pendapat mengenai tafsir “… dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya …” 
(Qs An-Nuur: 31). Ada yang berpendapat bahwa perhiasan yang boleh nampak adalah pakaian bagian luar yang dikenakan wanita karena tidak mungkin disembunyikan, sebagaimana perkataan al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Sedangkan Ibnu Jarir rahimahullah lebih memilih wajah dan kedua telapak tangan sebagai perhiasan yang boleh ditampakkan, karena keduanya bukan termasuk aurat. Al-Albani juga berpendapat bolehnya seorang wanita menampakkan wajah dan kedua telapak tangan, namun beliau mengingatkan bahwa pendapat tersebut dibangun dengan syarat pada bagian wajah dan telapak tangan tidak terdapat perhiasan. Apabila terdapat perhiasan pada dua bagian tubuh tersebut seperti cincin, make up, dan lain-lain maka keduanya harus ditutupi, berdasarkan keumuman firman Allah ta’ala, “… dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya …” (Qs An-Nuur: 31).

Syarat kedua: bukan untuk berhias
Tujuan utama perintah memakai jilbab adalah untuk menutupi perhiasannya, sebagaimana dalil di atas. Oleh karena itu, jilbab yang dikenakan seorang wanita tidak boleh diperindah dengan perhiasan sehingga menarik perhatian dan pandangan kaum laki-laki. Fenomena memperindah pakaian yang dikenakan seorang muslimah ketika keluar rumah banyak terjadi di tengah masyarakat, contohnya adalah bordiran warna-warni, payet, pita sulam emas serta perak yang menyilaukan mata, dan lain sebagainya. Adapun warna pakaian selain putih dan hitam bukanlah termasuk kategori perhiasan, berdasarkan riwayat-riwayat yang menceritakan bahwa istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengenakan jubah berwarna merah.

Syarat ketiga dan keempat:
 bahannya tebal, tidak transparan, dan tidak menampakkan lekuk tubuh
Agar dapat tercapai tujuan tertutupnya aurat, maka jilbab yang dikenakan harus tebal dan tidak transparan yang dapat memperlihatkan warna kulit dan rambut. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Khimar adalah sesuatu yang dapat menyembunyikan kulit dan rambut.”

Selain tebal, pakaian tersebut juga tidak menggambarkan lekuk tubuh. Terkadang ada bahan pakaian yang tebal namun sangat halus sehingga melekat pada tubuh, atau bisa jadi karena ukurannya yang ketat sehingga nampak lekuk tubuh si pemakai. Usamah bin Zaid berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, ‘Mengapa engkau tidak mengenakan baju Qubthiyah yang telah kuberikan?’ ‘Aku memberikannya kepada istriku,’ jawabku. Maka beliau berpesan, ‘Perintahkanlah istrimu agar memakai pakaian bagian dalam sebelum mengenakan baju Qubthiyah itu. Aku khawatir baju itu akan menggambarkan lekuk tubuhnya.’” (HR. Ahmad dan al-Baihaqi, hasan).

Syarat kelima: tidak ditaburi wewangian atau parfum
Kaum wanita dilarang menggunakan wewangian ketika keluar rumah berdasarkan banyak hadits. Salah satunya adalah hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: “Seorang wanita melintas di hadapan Abu Hurairah dan aroma wewangian yang dikenakan wanita tersebut tercium olehnya. Abu Hurairah pun bertanya, ‘Hai hamba wanita milik Al-Jabbar (Allah ta’ala)! Apakah kamu hendak ke masjid?’ ‘Benar,’ jawabnya. Abu Hurairah lantas bertanya lagi, ‘Apakah karena itu kamu memakai parfum?’ wanita tersebut menjawab, ‘Benar.’ Maka Abu Hurairah berkata, ‘Pulang dan mandilah kamu! Sungguh, aku pernah mendengar Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Allah tidak akan menerima shalat wanita yang keluar menuju masjid sementara bau wangi tercium darinya, hingga ia kembali ke rumahnya dan mandi.’” (HR. Al-Baihaqi, shahih)

Hadits ini menunjukkan haramnya seorang wanita keluar menuju masjid dengan memakai wewangian. Lalu bagaimana hukumnya  jika wanita tersebut hendak menuju tempat perbelanjaan, perkantoran atau jalanan umum? Tentu tidak diragukan lagi keharaman dan dosanya lebih besar walaupun seandainya suaminya mengizinkan.

Syarat keenam: tidak menyerupai pakaian laki-laki
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang memakai pakaian wanita, dan wanita yang memakai pakaian pria.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Hakim, dan Ahmad, shahih)

Adz-Dzahabi rahimahullah menggolongkan perbuatan menyerupai lawan jenis (tasyabbuh) termasuk dosa besar, berdasarkan kandungan hadits-hadits shahih dan ancaman keras yang disebutkan di dalamnya. Tasyabbuh yang dilarang dalam Islam berdasarkan dalil-dalil meliputi masalah pakaian, sifat-sifat tertentu, tingkah laku, dan yang semisalnya, bukan dalam hal perkara-perkara kebaikan. Alasan ditimpakannya laknat bagi pelaku tasyabbuh menurut Syaikh Abu Muhammad bin Abu Jumrah adalah karena orang tersebut telah keluar dari tabi’at asli yang Allah ta’ala karuniakan bagi dirinya.

Syarat ketujuh: tidak menyerupai pakaian wanita kafir
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, hasan)

Meniru-niru penampilan lahiriah kaum musyrikin akan menghantarkan pada kesamaan akhlak dan perbuatan. Terdapat kaitan erat antara penampilan luar seseorang dengan keimanan yang ada dalam batin, keduanya akan saling mempengaruhi.

Syarat kedelapan: bukan merupakan pakaian yang mengundang sensasi di masyarakat (pakaian syuhrah)
Jilbab yang dipakai wanita muslimah tidak boleh mengundang sensasi atau nyeleneh, sehingga menjadi pusat perhatian orang, baik pakaian tersebut pakaian yang sangat mewah maupun murahan. Adapun penampilan yang sesuai dengan syari‘at namun berbeda dengan masyarakat pada umunya maka bukan termasuk dalam pakaian syuhrah.

“Barangsiapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan memakaikan pakaian (kehinaan) yang serupa baginya pada hari kiamat, lalu Allah akan menyulutkan api pada pakaian itu.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, hasan)



Kedelapan syarat di atas harus terpenuhi seluruhnya untuk mencapai makna jilbab yang dimaksudkan dalam Islam. Hendaklah kaum mukminah bersegera melaksanakan apa yang Allah ta’ala perintahkan, salah satunya yaitu untuk mengenakan jilbab sebagai bentuk ketaatan kepada Allah ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cukuplah para shahabiyah di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan bagi kita dalam melaksanakan perintah Allah ta’ala, sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Sungguh wanita-wanita Quraisy memiliki keutamaan. Namun demi Allah, aku belum pernah menjumpai kaum wanita yang lebih utama, membenarkan kitabullah, dan lebih kuat keimanannya terhadap apa yang diturunkan Allah daripada wanita Anshar. Ketika Allah menurunkan surat An-Nuur (ayat 31), ‘Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya,’ para laki-laki Anshar pulang untuk membacakan ayat tersebut kapada istri, putri, saudarinya, serta para kerabatnya. Setelah mendengarnya, mereka pun langsung bangkit mengambil kain tirai rumahnya (lebar dan tebal), lalu menjadikannya kerudung; sebagai bentuk pembenaran dan keimanan terhadap hukum yang Allah ta’ala turunkan melalui kitab-Nya.”

Wahai Ukhti, tutupilah aurat mu (aib dan sesuatu yang tidak layak dilihat orang) dan tentramkanlah hati kalian dari rasa takut.

Wa shallallaahu ‘ala nabiyyina Muhammadin walhamdu lillaahi Rabbil ‘aalamin.


Referensi:
 Kriteria Busana Muslimah [terj. Jilbaab Mar-ah Muslimah fil Kitaab was Sunnah], Muhammad Nashiruddin al-Albani, Pustaka Imam Syafi‘i.
Menjaga Kehormatan Muslimah [terj. Hiraasah al-Fadhilah], Syaikh Bakr Abdullah Abu Zaid, Daar an-Naba’.
Artikel “Jilbab atau Khimar”, Aris Munandar, www.ustadzaris.com





Jumat, 23 September 2016

Alternatif Pemecahan Problemantika Suami Istri Sebelum Talak

Allah telah mensyariatkan perbaikan antara suami istri dan menempuh cara-cara yang dapat menyatukan kembali mereka dan menghindari akibat buruk perceraian. Di antaranya adalah pemberian nasehat, pisah ranjang dan pukullah yang ringan jika nasehat dan pisah ranjang tidak berhasil, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta'atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar".[An-Nisa : 34]

Setelah cara itu, jika tidak berhasil juga, maka masing-masing suami dan istri mengutus hakam (penengah) dari keluarga masing-masing saat terjadi persengketaan antara keduanya. Kedua hakam ini bertugas mencari solusi perdamaian bagi kedua suami istri tersebut, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".[An-Nisa : 35]

Jika cara-cara tadi telah ditempuh namun perdamaian tidak kunjung terjadi, sementara perselisihan terus saja berlanjut, maka Allah mensyariĆ¢€™atkan bagi suami untuk mentalak (istrinya), jika penyebabnya berasal darinya, dan mensyariatkan bagi istri untuk menebus dirinya dengan harta jika suaminya tidak menceraikannya jika sebabnya berasal darinya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya'. [Al-Baqarah : 229]

Karena bercerai dengan cara yang baik adalah lebih baik dari pada terus menerus dalam perselisihan dan persengketaan sehingga tidak tercapainya maksud-maksud pernikahan yang telah ditetapkan syari'at.

Karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karuniaNya. Dan adalah Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Bijaksana". [An-Nisa : 130]

Benarlah apa yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa ketika istri Tsabit bin Qais Al-Anshari Radhiyallahu 'anhu menyatakan tidak bisa melanjutkan rumah tangga dengannya karena tidak mencintainya, dan ia bersedia menyerahkan kembali kebun kepadanya yang dulu dijadikan sebagai mahar pernikahannya, beliau menyuruh Tsabit untuk menceraikannya, maka Tsabit pun melaksanakannya. Demikian sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab shahihnya. Hanya Allahlah pemberi petunjuk. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan atas Nabi kita Muhammad semua keluarga dan para sahabatnya.

[Majalah Ad-Da'wah, edisi 1318, Syaikh Ibnu Baz]


[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Muthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]

Rabu, 10 Februari 2016

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (Q.S Al-Baqarah:186)