Tampilkan postingan dengan label Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Islam. Tampilkan semua postingan

Kamis, 06 September 2018

Menimbang Dan Memaknai #2019GantiPresiden

image search by google
Entah sudah berapa ribu kaos dengan tulisan #2019 Ganti Presiden terjual. Media sosial ramai dengan foto-foto pemakainya dengan beragam pose. Ada gelora perlawanan di wajah para pemakainya. Mereka sudah tak sabar menginginkan perubahan.
Bagaimana tidak. Data hutang luar negeri kian mengkhawatirkan. Harga-harga makin melambung. Rupiah keok di hadapan Dolar AS. Iklim usaha terpuruk. Pengangguran bertambah. Tapi pekerja asing berkeliaran di dalam negeri.

Banyak aparat yang sepertinya tidak kompeten dengan jabatannya. Dan seluruh kekecewaan publik itu hanya terpuaskan jika #2019 Ganti Presiden. Kalimat yang memantik gelora dan gairah. Dan harga mati.

Kalangan muslim yang selama ini kontra terhadap rezim Kerja cenderung merapat kepada tagar tersebut. Bukan lagi mayoritas, tapi seluruhnya. Sambil menyisipkan harapan semoga presiden pengganti lebih berpihak kepada Islam. Sebuah harapan mulia yang sudah sepatutnya tersimpan di dada setiap muslim yang cinta agamanya.

Mazhab #2019 Ganti Presiden

Penganut #2019 Ganti Presiden sangat beragam. Multi aliran. Mulai dari latar belakang masalah yang sangat sederhana hingga faktor ideologi yang paling puritan (menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai dosa). Semuanya mendapat saluran dengan tagar sama. Sekurangnya, dengan ganti presiden ada secercah harapan yang lebih baik. Meski masih menyimpan tanda tanya juga.
Latar belakang masalah sederhana misalnya masyarakat yang merasakan kesempitan ekonomi gara-gara harga makin melambung. Atau kesulitan mendapat pekerjaan. Atau merasakan iklim bisnis yang tidak kondusif.

Mereka semua mendukung #2019 Ganti Presiden semata karena kecewa masalah ekonomi, sesuatu yang bisa dianggap sederhana karena tidak terkait dengan kebencian ideologis kepada sang presiden. Hanya masalah perut.

Latar belakang yang lebih serius adalah mereka yang benci dengan ideologi sang presiden. Bagi kalangan ini, presiden yang berasal dari PDIP mengindikasikan ideologi merah. Pro komunis. Apalagi dikaitkan dengan isu banjir pekerja China yang menyerobot pekerjaan kasar yang seharusnya bisa dilakukan oleh pekerja lokal.

Isu makin liar dengan dikaitkan asumsi invasi China yang terbukti sangat agresif di beberapa negera lain. Maka #2019 Ganti Presiden adalah solusi harga mati. Pokoknya bukan merah.

Latar belakang lebih serius lagi adalah mereka yang benci dengan ideologi sang presiden, dan keinginannya diganti dengan yang pro Islam. Kalangan ini lebih ideologis. Bukan sekedar ganti presiden, tapi sudah pasang harga penggantinya harus lebih pro kepada Islam. Bahkan kalau bisa sang pengganti dari kalangan aktivis Islam. Karenanya, selain mengusung #2019 Ganti Presiden, mereka juga aktif mengampanyekan sosok baru seperti Ahmad Heryawan, gubernur Jabar dua periode dan Tuan Guru Bajang (TGB), gubernur NTB.

Mazhab #Ganti Sistem

Mazhab ini diusung oleh para pendukung eks HTI dan para Islamis anti sekuler lain seperti. Mereka dipersatukan oleh penolakan terhadap sistem Demokrasi. Bagi mereka, ganti presiden masih merupakan solusi setengah hati.

Sebab akar masalahnya adalah sistem sekuler, yang menegaskan peran agama dalam percaturan politik dan hukum. Ketika sistemnya rusak, maka akan melahirkan para pemimpin yang rusak. Mengganti presiden dengan demikian hanya mengganti orang rusak dengan orang lain yang juga rusak. Atau setidaknya, beda-beda tipis.

Salah seorang tokoh pengusung mazhab ini, Felix Siauw, menulis: Tidak hanya orang yang salah, sistem pun bisa salah. Hanya saja kesalahan orang itu pribadi, sedangkan kesalahan sistem memproduksi orang salah secara masal. #Ganti Sistemnya Dengan Islam.

Momentum pilpres selalu menjadi kesempatan terbaik untuk menjajakan pandangan ini. Ketika awarenes masyarakat tentang fungsi presiden dan segala perangkatnya sedang naik. Saat itu edukasi tentang pentingnya sistem Islam menggantikan sistem sekuler mendapat kesempatan. Dan para aktifis eks HTI serius menggunakan momentum ini dengan baik.

image search by google

Menimbang Mazhab Pertama dan Kedua

Jika ditimbang dengan kacamata sunnatullah, maka kedua mazhab tersebut masih mengandung masalah. Mazhab pertama menghadapi masalah siapa sosok calon pengganti presiden. Apakah bakal lebih baik dibanding sebelumnya? Siapa yang bisa memberi garansi bahwa presiden baru akan lebih baik ?

Kelemahan utama mazhab pertama, masalah yang begitu kompleks diberi solusi hanya bertumpu pada sosok manusianya. Padahal manusia makhluk lemah, ia akan mudah terbawa oleh situasi dan kondisi. Berhadapan dengan taipan (konglomerat), ia dengan mudah kalah. Berhadapan dengan kekuatan senjata, ia gampang menyerah. Bahkan kekuatan loby tanpa uang dan senjata juga bisa menjebaknya. Misalnya honey trap, dijebak dengan wanita cantik. Semua idealisme tiba-tiba bisa rontok jika sudah terjebak dengan honey trap.

Maka secara realistis, mazhab ini adalah solusi jangka pendek, dan belum tentu benar-benar solusi. Masih gambling. Bisa ya, bisa tidak. Sangat tergantung sosok baru sebagai pengganti.
Sementara mazhab kedua sudah lebih baik. Ingin mengganti orang dan sistemnya sekaligus. Harapannya, dengan sistemnya ganti maka siapa pun sang pengganti akan terkawal oleh sistem. Ia dipaksa oleh sistem untuk lebih baik. Dan sistem pengganti yang dimaksud adalah sistem Islam. 

Ketika seluruh elemen masyarakat sepakat mengganti sistem, maka dengan sendirinya akan menjadi penyaring untuk menghasilkan sosok pemimpin yang diharapkan. Jika saringannya longgar, output yang dihasilkan juga kualitas rendah. Tapi bila saringannya ketat, dan itu hanya ada dalam Islam, maka akan menghasilkan sosok ideal.

Perlu Mazhab Ketiga

Ada mazhab ketiga yang menarik dibincangkan. Sayangnya belum ada yang mengusung mazhab ini. Yaitu mazhab, yang lumpuhkan biang kekafiran untuk mendirikan sistem Islam. Mazhab yang berangkat dari sunnatullah kemenangan Islam.

Ketika seluruh masyarakat sepakat mengganti sistem Demokrasi dan memproklamasikan sistem Islam, secara sunnatullah sistem itu tidak otomatis akan berdiri. Sebab akan diuji oleh kekuatan kafir yang mengelilinginya. Mereka tak akan tinggal diam menyaksikan proklamasi itu.

Mereka akan segera merespon dengan mengerahkan segenap kekuatan tempur dan embargo ekonomi dalam rangka memaksa masyarakat Indonesia untuk kembali ke pangkuan sistem Demokrasi. Memaksa agar mencabut kembali proklamasinya.

Maknanya, ganti sistem itu di atas kertas adalah solusi ideal. Tapi solusi tersebut hanya melihat masalah dengan kacamata lokal, belum mempertimbangkan aspek global. Dunia hari ini adalah dunia yang sempit dengan penguasa tunggal yaitu AS dan seluruh jaringan bonekanya. Secara sunnatullah tak mungkin sistem berubah hanya dengan proklamasi internal.

Namun, sistem hanya berubah jika setelah proklamasi mampu menghadapi lawan eksternal dan bisa menjinakkannya. Barulah sesudah itu, proklamasi punya pijakan kuat di muka bumi, karena sudah tidak ada angin yang akan menggoyahkannya.

Mazhab ketiga merupakan mazhab yang paling sesuai dengan sunnatullah kemenangan Islam. Rasulullah Saw baru bisa menegakkan sistem Islam di Madinah setelah berhasil melumpuhkan kekuatan kafir Quraisy yang berpusat di Mekah dan koalisinya di seluruh jazirah Arab.
Sebuah mazhab terjal yang hanya dipercaya oleh orang-orang yang mengerti sunnatullah dan yakin dengan pertolongan Allah Ta’ala. Mazhab yang rasanya mustahil diwujudkan, tapi petunjuk arahnya jelas karena banyak diterangkan dalam Al-Qur’an dan sejarah Nabi Saw.

Problemnya hanya perlu kemauan, keberanian dan keyakinan untuk mewujudkannya, dengan izin Allah Ta’ala. Sementara mazhab pertama tampak mudah tapi tak jelas arah. Dan mazhab kedua, sudah cukub bagus hanya belum berpijak pada rel sunnatullah dan aspek global.
 Wallahu Ta’ala ‘Alam.

Kamis, 31 Agustus 2017

Syarat Talak


Para ulama membagi syarat sahnya talak menjadi tiga macam: (1) berkaitan dengan suami yang mentalak, (2) berkaitan dengan istri yang ditalak, dan (3) berkaitan dengan shighoh talak. Kesemua syarat ini tidak dibahas dalam satu tulisan. Kami akan berusaha secara perlahan sesuai dengan kelonggaran waktu kami. Untuk saat ini kita akan melihat manakah saja syarat yang berkaitan dengan suami yang akan mentalak.

Syarat Berkaitan dengan Orang yang akan Mentalak

Pertama: Yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah.

Syarat ini maksudnya adalah antara pasangan tersebut memiliki hubungan perkawinan yang sah. Seandainya tidak ada nikah, lalu dikatakan, “Saya mentalakmu”, seperti ini termasuk talak yang tidak sah. Atau belum menikah lalu mengatakan, “Jika menikahi si fulanah, saya akan mentalaknya”. Padahal ketika itu belum nikah, seperti ini adalah talak yang tidak sah.

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ نَذْرَ لاِبْنِ آدَمَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ عِتْقَ لَهُ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ طَلاَقَ لَهُ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ

“Tidak ada nadzar bagi anak Adam pada sesuatu yang bukan miliknya. Tidak ada membebaskan budak pada budak yang bukan miliknya. Tidak ada talak pada sesuatu yang bukan miliknya.”[1]

Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka ....” (QS. Al Ahzab: 49). Dalam ayat ini disebut kata talak setelah sebelumnya disebutkan nikah. Ini menunjukkan bahwa yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah melalui jalan pernikahan. Seandainya ada yang kumpul kebo (sebutan untuk sepasang pria wanita yang hidup bersama tanpa melalui jalur nikah), lalu si pria mengajukan cerai, seperti ini tidak jatuh talak sama sekali.

Kedua: Yang mengucapkan talak telah baligh.

Ini bisa saja terjadi pada pasangan yang menikah pada usia belum baligh.

Mayoritas ulama berpandangan bahwa jika anak kecil yang telah mumayyiz (bisa membedakan bahaya dan manfaat, baik dan jelek) atau belum mumayyiz menjatuhkan talak, talaknya dinilai tidak sah. Karena dalam talak sebenarnya murni bahaya, anak kecil tidaklah memiliki beban taklif (beban kewajiban syari’at).

Dalam hadits ‘Aisyah, Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَكْبَرَ

“Pena diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, orang yang hilang ingatan sampai kembali ingatannya dan anak kecil sampai ia dewasa.”[2]

Ulama Hambali berpandangan bahwa talak bagi anak kecil tetap sah. Mereka berdalil dengan hadits,

كُلُّ طَلاَقٍ جَائِزٌ إِلاَّ طَلاَقَ الْمَعْتُوهِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ

“Setiap talak itu boleh kecuali talak yang dilakukan oleh orang yang kurang akalnya.”[3] Namun hadits ini mauquf (hanya perkataan sahabat).

Pendapat mayoritas ulama (jumhur), itu yang lebih tepat. Wallahu a’lam.

Ketiga: Yang melakukan talak adalah berakal.

Dari sini, tidak sah talak yang dilakukan oleh orang gila atau orang yang kurang akal. Yang menjadi dalil adalah hadits ‘Aisyah yang disebutkan di atas. Talak yang tidak sah yang dimaksudkan di sini adalah yang dilakukan oleh orang yang gila atau orang yang kurang akal yang sifatnya permanen. Jika satu waktu hilang akal, waktu lain sadar. Jika ia mentalaknya dalam keadaan sadar, maka jatuh talak. Jika dalam keadaan tidak sadar, tidak jatuh talak.

Dalam pembahasan ini, para ulama biasa menyinggung bagaimanakah ucapan talak yang diucapkan oleh orang mabuk, orang dalam keadaan tidur, dan yang hilang kesadaran semacam itu. Insya Allah pembahasan tersebut akan kami kaji dalam serial berikutnya.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimuush sholihaat.





Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah, hal. 235-237.

[1] HR. Tirmidzi no. 1181 dan Ahmad 2/190. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits hasan shahih.

[2] HR. Abu Daud no. 4398, At Tirmidzi no. 1423, Ibnu Majah no. 2041. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[3] HR. Tirmidzi no. 1191. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if, namun shahih jika mauquf (perkataan sahabat).


Keempat: Memaksudkan untuk mengucapkan talak atas pilihan sendiri.

Yang dimaksudkan di sini adalah orang yang mengucapkan talak atas kehendak sendiri mengucapkannya tanpa ada paksaan, meskipun tidak ia niatkan.

Jika ada seorang guru mengucapkan talak dalam rangka mengajarkan murid-muridnya mengenai hukum talak, maka tidak jatuh talak. Karena guru tersebut tidak memaksudkan untuk mentalak istrinya, namun dalam rangka mengajar. Begitu pula jika ada seseorang mengucapkan lafazh talak dengan bahasa yang tidak ia pahami, maka sama halnya tidak jatuh talak. Ini disepakati oleh para ulama.

Ada beberapa masalah yang perlu kita tinjau dari orang yang mengucapkan talak berikut ini, apakah telah jatuh talak ataukah tidak.

1. Orang yang keliru

Orang yang keliru di sini bukanlah orang yang sedang bermain-main atau bergurau. Namun lisannya salah mengucap, sudah terlancur mengucapkan talak tanpa ia maksudkan. Seperti niatannya ingin berkata, “Anti thohir (kamu itu suci)”. Eh malah keliru ucap menjadi, “Anti tholiq (kamu ditalak)”. Menurut jumhur, seperti ini tidaklah jatuh talak. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah memaafkan dosa dari umatku ketika ia keliru, lupa dan dipaksa”.[1]

2. Orang yang dipaksa

Begitu pula orang yang dipaksa tidak jatuh talak. Demikian menurut pendapat mayoritas ulama. Dalilnya di antara adalah hadits yang telah disebutkan di atas. Dan juga hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَلاَقَ وَلاَ عَتَاقَ فِى غَلاَقٍ

“Tidak jatuh talak dan tidak pula dianggap merdeka dalam suatu pemaksaan”.[2]

Kapan seseorang disebut dipaksa? Kata Ibnu Qudamah, disebut dipaksa jika memenuhi tiga syarat:

a. Orang yang memaksa punya kekuatan atau bisa mengalahkan seperti pencuri dan semacamnya.

b. Yakin akan terkena ancaman jika melawan

c. Akan menimbalkan dhoror (bahaya) besar jika melawan seperti dibunuh, dipukul dengan pukulan yang keras, digantung, dipenjara dalam waktu lama. Adapun jika hanya dicela, maka itu bukan namanya dipaksa. Begitu pula jika hanya diambil harta yang jumlahnya sedikit, bukan pula disebut dipaksa.[3]

3. Orang yang sedang marah

Keadaan marah ada beberapa bentuk:

a. Marah dalam keadaan sadar, akal dan pikiran tidaklah berubah, masih normal. Ketika itu, masih dalam keadaan mengetahui maksud talak yang diutarakan. Marah seperti ini tidak diragukan lagi telah jatuh talak. Dan bentuk talak seperti inilah yang umumnya terjadi.

b. Marah sampai dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa atau hilang kesadaran dan tidak paham apa yang diucapkan atau yang dimaksudkan. Seperti ini tidak jatuh talak dan tidak ada perselisihan pendapat di dalamnya.

4. Orang yang safiih (idiot atau kurang akal)

Yang dimaksud adalah orang yang tidak bisa membelanjakan hartanya dengan benar. Menurut mayoritas ulama, talak dari orang yang safiih itu jatuh karena ia masih mukallaf (dibebani syari’at) dan punya kemampuan untuk mentalak.

5. Orang yang sakit menjelang kematian

Hal ini dilakukan suami di antaranya agar istri tidak mendapatkan waris. Menurut pendapat yang kuat, talaknya jatuh karena dilakukan atas kehendak dan pilihan suami. Dan jika talaknya jatuh, berarti istri tidak mendapatkan hak waris.

Namun jika ketika akan meninggal dunia, talak yang dilakukan masih talak rujuk (bukan talak ba-in), lalu istri atau suami yang meninggal dunia, maka masih mewarisi berdasarkan kesepakatan para ulama.


Referensi:

Al Mughni, ‘Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi, terbitan Darul Fikr, cetakan pertama, 1405 H.

Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Saalim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.

[1] HR. Ibnu Majah no. 2045. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[2] HR. Abu Daud no. 2193. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan

[3] Lihat Al Mughni, 8: 260.

Teruntuk Wahai Kau Wanitaku..(Wanita Adalah Aurat)


image search by google


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ ، وَإِنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ، وَإِنَّهَا لاَتَكُوْنُ أَقْرَبَ إِلَى اللهِ مِنْهَا فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا

Wanita itu aurat, jika ia keluar dari rumahnya maka setan mengikutinya. Dan tidaklah ia lebih dekat kepada Allâh (ketika shalat) melainkan di dalam rumahnya

TAKHRIJ HADITS:

Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh :
1. at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausâth, no. 2911 dari Shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma
2. at-Tirmidzi, no. 1173
3. Ibnu Khuzaimah, no. 1685, 1686
4. Ibnu Hibbân, no. 5559, 5570-at-Ta’lîqâtul Hisân), dari Shahabat Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu
5. at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausâth, no. 8092
Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, ”Hadits ini hasan shahîh gharib.” Dishahihkanoleh Imam al-Mundziri, beliau mengatakan, “Hadits ini diriwayatkan oleh at-Thabrani t dalam al-Mu’jamul Ausâth dan rawi-rawinya yang shahih.” Lihat Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb (I/260, no. 344). Dishahihkan juga oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2688) dan Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb (no. 344, 346).

SYARAH HADITS:

(اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ)maksudnya ialah aurat manusia. Setiap ia merasa malu darinya (jika terlihat-pent) maka disandarkan padanya wajib menutupinya.

إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

Yakni asal dari al-isyrâf adalah meletakkan telapak tangan di atas alis saat mengangkat kepala agar bisa melihat. Maksudnya yaitu setan mengangkat pandangannya kearah wanita untuk menyesatkannya dan menyesatkan orang lain dengannya, sehingga salah satunya atau kedua-keduanya terjatuh dalam fitnah. Bisa jadi yang dimaksud dengan kata setan di atas adalah setan dari jenis manusia, yaitu orang fasik. Karena jika orang fasik tersebut melihat wanita keluar dan menampakkan diri, maka ia langsung memandangnya lekat-lekat. Jadilah setan menyesatkan keduanya. Apabila wanita tetap berada di dalam rumahnya, maka setan tidak akan mampu untuk menyesatkannya dan menyesatkan manusia dengan (perantara)nya. Tetapi apabila wanita keluar dari rumahnya, maka setan akan sangat berambisi (untuk menyesatkannya dan menyesatkan orang lain dengannya), karena ia termasuk dari buhul-buhul (jerat-jerat dan perangkap) setan. Dan ini adalah anjuran kepada wanita agar ia tetap berada dalam rumahnya.[1]

KEWAJIBAN MENUTUP AURAT

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allâh, mudah-mudahan mereka ingat.” [al-A’râf/7:26]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat tersebut, “Kata al-libâs dalam ayat tersebut berarti penutup aurat, sedangkan kata ar-rîsy atau ar-riyâsy berarti sesuatu yang digunakan untuk menghias diri. Jadi, pakaian merupakan sesuatu yang bersifat primer (pokok), sedangkan perhiasan hanya sebagai pelengkap dan tambahan.”[2]

Dalam ayat ini diperintahkan laki-laki dan wanita untuk berpakaian menutup aurat mereka. Laki-laki batasan auratnya dari perut/pusar sampai dengan lutut, sedangkan wanita seluruh tubuhnya adalah aurat.

Dari Jarhad al-Aslami Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewatinya sedangkan dia dalam keadaan terbuka pahanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ

Sesungguhnya paha adalah aurat.[3]

Juga dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seseorang yang pahanya terlihat, maka beliau bersabda :

غَطِّ فَخِذَكَ، فَإِنَّ فَخِذَ الرَّجُلِ مِنَ عَوْرَتِهِ

Tutuplah pahamu, karena sesungguhnya paha laki-laki termasuk aurat.[4]

Diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلَا تَنْظُرُ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ

Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya, dan seorang wanita tidak boleh melihat aurat wanita lainnya[5]

Saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang aurat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

اِحْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجِكَ أَوْ مَامَلَكَتْ يَمِيْنُكَ، فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِذَا كَانَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ فِيْ بَعْضٍ؟ قَالَ: إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لاَ يَرَيَنَّهَا أَحَدٌ فَلاَ يَرَيَنَّهَا ، فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِذَا كَانَ أَحَدُنَا خَالِيًا؟ قَالَ: اَللهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنَ النَّاس

Jagalah auratmu kecuali dari isterimu atau budak wanita yang engkau miliki ! lalu beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika suatu kaum bercampur baur dengan yang lainnya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika engkau sanggup agar seseorang tidak melihatnya, maka janganlah ia melihatnya,” kemudian beliau ditanya, “Bagaimana jika seseorang telanjang dan tidak seorang pun melihatnya?” Beliau menjawab, “Allâh lebih berhak untuk engkau merasa malu dari-Nya daripada manusia.”[6]

Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ" (wanita adalah aurat), artinya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali anggota badan yang tidak diperkecualikan oleh syari’at. Wanita wajib menutup seluruh tubuhnya. Yang jadi masalah apakah muka wanita adalah aurat. Terjadi ikhtilaf di antara para ulama dalam masalah ini.

Sesungguhnya para Ulama telah bersepakat bahwa seorang wanita wajib menutupi seluruh tubuhnya, perbedaan yang mu’tabar (dianggap) hanya terjadi pada wajah dan kedua telapak tangan.

Sebagian Ulama berpendapat bahwa menutup wajah dan kedua telapak tangan hukumnya wajib. Mereka berhujjah dengan beberapa dalil, di antaranya adalah :

1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ

Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir! [al-Ahzâb/33:53]

Para Ulama yang berpendapat wajib menutup wajah berargumen, “Sesungguhnya dalil tersebut mencakup seluruh kaum wanita karena semuanya masuk ke dalam alasan diwajibkannya menggunakan penutup (hijab), yaitu kesucian hati.”

2. Firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allâh Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [al-Ahzâb/33:59]

Mereka menafsirkan kata yudnîna yang ada di dalam ayat dengan menutup seluruh wajah dan hanya menampakkan satu mata saja untuk melihat.

Sementara kelompok Ulama yang lain berpendapat boleh hukumnya membuka wajah dan telapak tangan bagi seorang wanita, dan sesungguhnya menutup keduanya hanya sekedar mustahab (sunnah). Mereka berhujjah dengan beberapa dalil, di antaranya :

1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

”...Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat...” [an-Nûr/24:31]

Mereka berkata “yang biasa nampak” maksudnya adalah wajah dan kedua telapak tangan.

2. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Asmâ’ binti Abu Bakar Radhiyallahu anhuma datang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memakai pakaian yang tipis, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya dengan bersabda:

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيْضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا، وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ.

Wahai Asma! Sesungguhnya jika seorang wanita telah mencapai haidh, maka tidak boleh dilihat darinya kecuali ini dan ini. Beliau mengisyaratkan wajah dan kedua telapak tangan.[7]

3. Hadits Jâbir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, tentang nasihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum wanita pada hari Raya. Di dalamnya diungkapkan, “ ... Lalu seorang wanita yang duduk di tengah-tengah (kaum wanita) yang kehitam-hitaman kedua pipinya berdiri dan berkata, ‘Kenapa Rasûlullâh?’[8]

Mereka berkata, ucapan Jabir “yang kehitam-hitaman di kedua pipinya” merupakan dalil bahwa ia membuka wajahnya sehingga terlihat kedua pipinya.

4.Hadits Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma tentang kisah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membonceng al-Fadhl bin ‘Abbâs ketika haji Wada’ dan seorang wanita yang meminta fatwa kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dalam kisaha itu disebutkan, “Lalu al-Fadhl bin Abbâs Radhiyallahu anhuma menatapnya, ia adalah seorang wanita yang cantik, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang dagu al-Fadhl Radhiyallahu anhu dan memalingkan wajahnya ke arah yang lain.”[9]

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Seandainya wajah itu adalah aurat maka wajib ditutupi, sementara beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkannya terbuka di hadapan orang-orang, dan niscaya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya agar mengulurkan kerudung dari atas kepala. Dan seandainya wajah si wanita itu tertutup, niscaya Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma tidak akan mengetahui apakah wanita itu cantik atau tidak.”[10]

5. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dahulu para wanita Mukminah hadir bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Fajar dengan pakaian wol yang menutupi semua badan mereka. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka ketika mereka selesai melaksanakan shalat, tidak ada seorang pun mengenali mereka karena gelapnya akhir malam.”[11]

Mereka berkata. “Yang terpahami dari hadits di atas adalah bahwa jika tidak ada kegelapan, niscaya mereka akan dikenal dan biasanya mereka bisa diketahui dari wajah yang terbuka.”[12]

Pendapat jumhur Ulama ini yang paling kuat bahwa wajah wanita bukan aurat. Apabila mereka memakai cadar itu lebih baik, tapi hukumnya adalah mustahabb (sunnah) bukan wajib. Dan hal ini sesuai dengan kemudahan syari’at Islam untuk seluruh wanita Islam di seluruh dunia.[13]

image search by google



MENGINGKARI WANITA YANG MENAMPAKKAN WAJAHNYA (TIDAK MENGENAKAN CADAR)

Imam Abu Abdillah bin Muflih al-Maqdisi yang terkenal dengan Ibnu Muflih rahimahullah (wafat th. 762 M), beliau berkata[14] , “Bolehkah mengingkari wanita yang menampakkan wajahnya di jalan-jalan ? Dengan dalih wajibkah bagi wanita menutup wajahnya, ataukah para laki-laki wajib menundukkan pandangan darinya ? Atau ada dua pendapat dalam masalah ini ?

عَنْ جَرِيْر بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفَجْأَةِ؟ فَقَالَ: اِصْرِفْ بَصَرَكَ

Dari Jarîr bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang melihat (wanita-pent) dengan tiba-tiba (tidak sengaja-pent), maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Palingkanlah pandangan-mu!’”[15]

al-Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullah berkata tentang hadits Jarîr Radhiyallahu anhu, para Ulama berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat hujjah bahwa tidak wajib bagi seorang wanita untuk menutupi wajahnya di jalan (ketika dia keluar rumah-pent), sesungguhnya itu hanyalah sunnah yang dianjurkan bagi wanita. Dan wajib bagi laki-laki untuk menundukkan pandangan darinya dalam berbagai keadaan, kecuali jika memiliki tujuan yang sah dan syar’i.”[16]

Imam asy-Syaukâni rahimahullah berkata, “Kesimpulannya, bahwa wanita boleh menampakkan tempat-tempat yang biasa dihias padanya jika memang diperlukan ketika menjalankan sesuatu, seperti jual beli dan persaksian. Maka itu menjadi pengecualian dari keumuman pelarangan tentang menampakkan anggota-anggota badan yang biasa dihiasi. Hal ini dikarenakan tidak adanya tafsir yang marfû’.”[17]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pembahasan hadits di atas :

...وَإِنَّهَا لاَتَكُوْنُ أَقْرَبَ إِلَى اللهِ مِنْهَا فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا.

...Dan tidaklah ia lebih dekat kepada Allâh (ketika shalat) melainkan (ketika shalat) di dalam rumahnya.”

Maksudnya bahwa wanita shalat di dalam rumahnya lebih baik daripada shalat di masjid. Karena di dalam rumahnya dia lebih dekat kepada Allâh dan akan terhindar dari fitnah. Ada beberapa hadits yang menganjurkan wanita shalat didalam rumahnya, di antaranya;

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ، وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

Janganlah kalian melarang kaum wanita yang hendak mendatangi masjid, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.[18]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَا اللهِ، وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ.

Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allâh yang perempuan mendatangi masjid Allâh. Hanya saja, hendaklah mereka keluar dalam keadaan tidak mengenakan parfum.[19]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu juga, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُوْرًا، فَلاَ تَشْهَدَنَّ مَعَنَا الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ.

Siapa saja wanita yang memakai wewangian maka ia tidak boleh shalat ‘Isya` bersama kami.[20]

Yang terbaik bagi kaum wanita adalah shalat di rumah mereka. Dasarnya adalah hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma di atas :

...وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ.

... dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka

Dari Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :

صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِىْ بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِىْ حُجْرَتِهَا، وَصَلاَتُهَا فِى مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِىبَيْتِهَا.

Shalat seorang wanita di dalam kamarnya lebih utama dari pada shalatnya di ruang tamunya. Dan shalatnya di ruang pribadinya[21] lebih baik dari pada shalatnya di rumahnya[22].

FAWA-ID

1. Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali yang dikecualikan oleh syari’at.
2. Wanita wajib menutup auratnya dengan sempurna.
3. Wanita bila akan keluar rumah, wajib memakai jilbab yang sempurna dan sesuai tuntunan syar’i.
4. Haram bagi wanita memakai pakaian yang ketat, tipis, dan tembus pandang karena dapat menggambarkan aurat dan menampakkan bentuk tubuh.
5. Busana muslimah dengan mode-mode yang ketat, tipis, tembus pandang, adalah busana yang tidak syar’i.
6. Wanita adalah fitnah yang sangat berbahaya bagi laki-laki.
7. Perangkap setan untuk merusak manusia adalah wanita, sebab dengan terbukanya aurat wanita, maka wanita dan laki-laki akan menjadi rusak.
8. Wanita dianjurkan untuk tetap tinggal di rumahnya berdasarkan ayat dalam al-Qur-an Surat al-Ahzâb ayat ke-33.
9. Bila wanita keluar dari rumahnya, maka dia menjadi perangkap setan.
10. Setan menghiasi wanita, baik bagian depan maupun bagian belakangnya
11. Wanita lebih dekat kepada Allâh Azza wa Jalla bila berada di dalam rumahnya.
12. Shalat wanita di dalam rumahnya lebih baik daripada di masjid.
13. Bila wanita ingin ke masjid, maka dia tidak boleh memakai parfum, bersolek, dan lainnya, namun rumah mereka lebih baik bagi mereka.

MARAAJI’

1. al-Qur’ûnul Karîm.
2. Tafsîr Ibnu Katsîr, cet. Daar Thaybah.
3. Kutubussittah.
4. al-Mu’jamul Ausâth, Imam ath-Thabrani.
5. Shahîh Ibni Khuzaimah.
6. Shahîh Ibni Hibbân (at-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibbân).
7. Syarhus Sunnah, Imam al-Baghawi.
8. Fat-hul Bâri, cet. Daarul Fikr.
9. al-Âdâb Asy-Syar’iyyah, karya Ibnu Muflih. Tahqiq: Syu’aib al-Arna-uth dan Umar al-Qayyam, Mu-assasah ar-Risalah
10. at-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ish Shaghîr, karya Imam as-Shan’ani. Tahqiq: DR. Muhammad Ishaq Muhammad Ibrahim.
11. Nailul Authâr, Imam asy-Syaukani.
12. Irwâ-ul Ghalîl
13. Jilbâbul Mar-atil Muslimah
14. ar-Raddul Mufhim ‘ala Man Khâlafal ‘Ulamaa` wa Tasyaddada wa Ta’ashshaba wa Alzama al Mar-ata an Tastura Wajhaha wa Kaffaiha wa Aujaba wa lam Yaqna’ Biqaulihim Innahu Sunnatun, Syaikh al-Albani, cet. Maktabah al-Islamiyyah.
15. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
16. Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb.
17. Fiqhus Sunnah lin Nisâ’.

[.]
________
Footnote
[1]. at-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ish Shaghîr (X/474), karya Imam as-Shan’ani. Tahqiq: DR. Muhammad Ishaq Muhammad Ibrahim.
[2]. Tafsîr Ibnu Katsiir (III/399-400), cet. Daar Thaybah.
[3]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 2795, 2797), Abu Dâwud (no. 4014), dan al-Bukhâri secara ta’lîq dalam Fat-hul Bâri (I/478-479). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ-ul Ghalîl (I/297-298).
[4]. Shahih: HR. Ahmad (I/275), at-Tirmidzi (no. 2796),dan al-Bukhari secara ta’liq dalam Fat-hul Bâri (I/478-479), cet. Daarul Fikr. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ-ul Ghalîl (I/297-298).
[5]. Shahih: HR. Muslim (no.338 [74]) dan at-Tirmidzi (no. 2793).
[6]. Hasan: HR. Abu Dawud (no. 4017), at-Tirmidzi (no. 2769, 2794), Ibnu Majah (no. 1920), Ahmad (V/3-4), dan lainnya.
[7]. Hasan lighairihi: HR. Abu Dawud (no. 4104). Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dengan beberapa syawâhid (penguat)nya. Lihat kitab Jilbâbul Mar-atil Muslimah (hlm. 57-60).
[8]. Shahih: HR. Muslim (no. 885), an-Nasa-i (I/233), dan Ahmad (III/318).
[9]. Shahih:HR. al-Bukhâri (no. 6228) dan Muslim (no. 1218).
[10]. Al-Muhalla (III/218.
[11]. Shahih:HR. al-Bukhâri (no. 578) dan Muslim (no. 645).
[12]. Fiqhus Sunnah lin Nisâ’ (hlm. 382-385), karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim.
[13]. Lihat masalah ini dalam kitab Jilbâbul Mar-atil Muslimah, al-Maktabah al-Islamiyyah, dan kitab ar-Raddul Mufhim cet. Maktabah al-Islamiyyah. Kedua kitab ini karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah .
[14]. al-Âdâb Asy-Syar’iyyah (I/296), karya Ibnu Muflih. Tahqiq: Syu’aib al-Arna-uth dan Umar al-Qayyam, Mu-assasah ar-Risalah.
[15]. Shahih: HR. Muslim (no. 2159), Abu Dâwud (no. 2148), at-Tirmidzi (no. 2776), dan Ibnu Hibbân (no. 5571).
[16]. Disebutkan oleh Syaikh Muhyiddin an-Nawawi dan beliau tidak menambahkannya. Lihat Syarh Shahîh Muslim (XIV/139).
[17]. Nailul Authâr (XII/56), Imam asy-Syaukani, tahqiq Muhammad Subhi bin Hasan Hallaq.
[18]. Shahih:HR. Abu Dawud (no. 567), Ahmad (II/76-77), Ibnu Khuzaimah (no. 1684), al-Baihaqi (III/131), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 864).
[19]. Shahih:HR. Abu Dawud (no. 565), Ahmad (II/438), al-Humaidi (no. 978), Ibnu Khuzaimah (no. 1679), dan lainnya. Lafazh ini milik Abu Dâwud. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ-ul Ghalîl (no. 515).
[20]. Shahih: HR. Muslim (no. 444), Abu Dâwud (no. 4175), dan an-Nasa-i (VIII/154).
[21]. Kata اَلْمَخْدَعُ (al-Makhda’) artinya ruang khusus yang terletak di bagian paling ujung (tersembunyi) di dalam rumahnya. (Faidhul Qadîr, VI/293, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah)
[22]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 570) dan Ibnu Khuzaimah (no. 1690).

Selasa, 22 November 2016

Imam Syafi’i Sang Jenius Legendaris

Beliau lahir tahun 150 H, yaitu pada tahun meninggalnya Imam Abu Hanifah rahimahullah. Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Saib … 
ilustrasi gambar by google

Beliau lahir tahun 150 H, yaitu pada tahun meninggalnya Imam Abu Hanifah rahimahullah. Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Saib bin Ubaid bin Abdul Yazid bin Hasyim bin Al-Mutholib bi Abdi Manaf bin Qushai Al-Quraisy Al-Mathlabi Asy-Syafi’i Al-Hijazi Al-Maliki.

Beliau mengembara mencari ilmu agama, nahwu, adab dan juga fiqih, membaca Al-Muwatho’ dihadapan Imam Malik, bahkan menghafal lancar hingga Imam Malik kagum akan bacaannya. Kecerdasan yang luar biasa, akhlak yang mulia dan berpegang teguh dengan Sunnah. Selain itu beliau sering berdiskusi dengan Muhammad bin Al-Hasan di Irak, menyebarkan hadits, menanamkan kaidah-kaidah mahzhab dalam menetapkan hukum dan menyebarkan Sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dan Imamnya ahli hadits zaman itu, Abdurrahman bin Mahdi meminta beliau menulis sebuah buku tentang Ushul Fiqih.



Diantara Perkataan Mulia Beliau

Beliau seorang yang fakir, sebagaimana perkataannya : “ Aku tidak memiliki harta dan sejak kecil telah menuntut ilmu ( pada waktu berumur dibawah 13 tahun ) dan aku pergi belajar  dengan meminta punggung kulit buku ( kulit buku yang telah dipakai) dan aku menulis pelajarannya di sisa kertas tersebut”.

Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan :

“Kebaikan dunia dan akhirat terdapat dalam 5 hal :

·         Jiwa yang senantiasa merasa cukup.
·         Menolak gangguan
·         Usaha yang halal
·         Taqwa
·         Selalu yakin terhadap Allah ‘Azza wa Jalla apapun yang terjadi ”.
Harmalah berkata, “Aku mendengar Asy Syafi’i berkata, ‘ Aku mendambakan semua ilmu diamalkan oleh orang sehingga aku mendapatkan pahala, namun mereka tidak pernah memujiku‘”.



Bukti Kecerdasan Asy-Syafi’i

Ada sebagian ulama Iraq ingin menguji kecerdasan beliau dalam menjawab teka-teki yang rumit.  Khalifah  Harun  Al-Rasyid yang sangat mengagumi kepandaian beliau juga hadir dalam majelis tersebut. Diantara teka-teki yang diajukan kepada beliau adalah :


 ·         Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang menyembelih kambing dirumahnya kemudian dia keluar untuk suatu keperluan, lalu dia kembali lagi, lantas dia berkata kepada keluarganya, “ Makanlah kambing ini!, sungguh kambing ini haram bagiku!”, keluarganyapun berkata, “Demikian juga haram bagi kami”?.


Jawaban Imam Syafi’i rahimahullah  :

“ Sesungguhnya laki-laki tersebut merupakan orang musyrik. Dia menyembelih kambing atas nama berhala, lalu dia keluar dari rumahnya untuk suatu keperluan dan ternyata Allah memberi hidayah kepadanya. Untuk memeluk agama Islam lalu dia masuk Islam, maka kambing tersebut haram baginya. Ketika para keluarganya tahu bahwa lelaki tersebut masuk Islam, maka merekapun ikut masuk Islam, maka kambing tersebut juga diharamkan atas mereka”.



·         Ada dua muslim yang sama-sama berakal minum arak. Salah satunya dikenai hukuman sedangkan yang lainnya tidak dikenai hukuman ?


Beliau menjawab : “Sebab salah satunya baligh, sedangkan lainnya masih kecil (belum baligh)”.


 ·         Ada lima orang melakukan zina terhadap seorang perempuan maka orang pertama harus dibunuh, orang ke dua dirajam, orang ketiga dikenai hukuman zina (non rajam,pent.), orang ke empat dikenai separoh dari hukuman zina dan orang kelima tidak dikenai sanksi apapun.


Jawab beliau : “ Orang pertama menganggap zina merupakan perbuatan yang halal sehingga dia murtad dan dia harus di bunuh. Orang kedua adalah muhshon ( orang yang pernah menikah, orang ketiga adalah ghoiru muhshon ( belum pernah menikah ) orang ke empat adalah budak. Sedangkan orang kelima adalah orang gila”.


 ·         Ada dua laki-laki diatas loteng rumah, salah satunya terjatuh dan mati. Anehnya istri lelaki satunya yang masih hidup menjadi haram baginya.


Imam Syafi’i pun menjawab:

“ Sesungguhnya lelaki yang terjatuh sampai mati menikahkan anak perempuannya kepada budaknya yang menemaninya di atas loteng. Ketika laki-laki tersebut meninggal dunia maka anak perempuannya memiliki budak yang merupakan suaminya sendiri, maka perempuan tersebut haram baginya”.

 Begitulah Imam Asy-Syafi’i, sosok cerdas, banyak ide, tajam pemahaman dan bagus daya tangkapnya.




Referensi :
·         Hiburan Orang-Orang Sholih ( terjemahan.), Muhammad Amin Al-Jundi, Pustaka Arofah, Solo, Cetakan ke- I 2011
·         Perjalanan ‘Ulama Menuntut Ilmu ( terjemahan ) Abu Annas Majid Al-Bantani , Darul Fallah, Bekasi, cet ke 4 2012

Mulia Dan Mempesona Dengan Ahlak Islam

ilustrasi gambar by google

Dunia tiada artinya kecuali agama, dan tidak ada agama kecuali dengan akhlak yang mulia( Jami’ul ‘Ulum wal Hikam : 399)


Empat belas abad telah berlalu, ada seorang wanita Yahudi, cantik, cerdas, dan populer. Di balik keteduhan wajahnya, tersimpan dendam membuncah pada sosok lelaki tampan. Suami dan orang- orang yang dicintainya telah pergi meninggalkannya. Shofiyyah binti Huyai begitu bencinya pada manusia termulia di dunia, Rasulullah shalallaahu’alaihi wa sallam (Disebutkan dalam HR. Ibnu Hibban, dihasankan oleh Al-Albani).

Namun percayakah anda hanya dalam waktu singkat, sebuah kebencian menjelma menjadi benar-benar cinta. Apa rahasianya? Itulah kekuatan hebat akhlak Rasulullah shalallaahu’alaihi wa sallam yang telah mempesona Shofiyah hingga mengantarkannya pada hidayah Islam, sangat singkron dengan ungkapan hadits,

أَحْبِبْ حَبِيْبَكَ هَوْناً مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيْضَكَ يَوْماً مَا، وَأَبْغِضْ بَغِيْضَكَ هَوْناً مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيْبَكَ يَوْمًا مَا

Artinya, “Cintailah kekasihmu sewajarnya, karena suatu hari nanti dia bisa menjadi orang yang kamu benci. Dan bencilah musuhmu sewajarnya, karena suatu hari nanti ia bisa menjadi sosok yang paling kamu cintai”. (HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Syaikh Al-Albani).

Rasulullah shalallaahu’alaihi wa sallam senantiasa memuliakan orang lain, meski orang tersebut sama sekali bersikap arogan, tidak simpatik bahkan memusuhi beliau. Namun beliau senantiasa berbuat baik hingga mereka terpesona akan keluhuran dan kelembutannya sehingga mereka masuk Islam.

Islam yang ditampilkan generasi awal telah berhasil membuat takjub penuh keheranan, sehingga berbondong-bondong mereka menyongsong cahaya Iman. Itulah fenomena Islam ketika kaum muslimin masih berpegang teguh dan mengamalkan Islam secara murni. Akhlak mulia ini  mampu membuat Islam berabad-abad menguasai dunia.

Umar bin Abdul Aziz, adalah salah satu contoh nyata betapa ia tawadhu’ dan mampu menjadi role mode bagi umatnya dalam kebaikan dan taqwa. Begitu pula kisah menarik putri Sa’id bin Musayib, yang ia bangga menikahkan anaknya dengan lelaki duda dan miskin, namun memiliki kemuliaan ilmu dan akhlak.

Suatu ketika seseorang berbuat kasar dan mencaci maki Imam Abu Hanifah. Beliau tidak membalas dengan sepatah katapun padanya. Ia pulang ke rumah dan mengumpulkan beberapa hadiah, lalu pergi mengunjungi orang tersebut. Kemudian Imam Abu Hanifah memberikan hadiah-hadiah itu kepadanya seraya berkata, “ Kamu telah berbuat untukku hal sangat aku sukai, yaitu membuat pindahnya catatan perbuatan baikmu menjadi catatan perbuatan baikku dengan cara berlaku kasar seperti tadi kepadaku”.

Ada pula kisah inspiratif di abad ini yaitu seorang wanita yang sangat dibenci tetangganya. Dia tidak ramah dan sering menyakiti hatinya. Tetapi wanita itu tetap berbuat baik kepada tetangganya. Dia berusaha terus merebut hatinya, akhirnya dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla wanita itu mampu membuat pesona di hati tetangganya dan mereka berdua akhirnya menjadi akrab dan bersahabat.

Mutiara Akhlak Nabawi
Akhlak mulia adalah salah satu sifat-sifat para nabi, rasul, para shadiqin dan orang-orang shalih. Semua akhlak terpuji dan adab yang indah terhimpun, dalam diri beliau.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

 “ Sesungguhnya kamu berada di atas akhlak yang mulia”. (Q.S. Al-Qolam: 4).

Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pernah ditanya  tentang hal apakah yang paling banyak memasukkan seseorang ke surga? Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda (artinya): “Ketaqwaan kepada Allah dan akhlaq yang baik.” (HR. At-Tirmidzi dan yang lainnya, di hasankan oleh Syaikh Al-Albani)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّمَابُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad, Al-Hakim dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).

“ Sesungguhnya seseorang itu dengan kemuliaan akhlaknya akan dapat mencapai tingkatan yang berpuasa dan mengerjakan shalat malam”. ( HR. Abu Dawud dan Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Abani ).

 Ali bin Abi Thalib berkata : “Kebagusan akhlak seseorang tercermin dalam tiga perangai : menjauhi yang haram, mencari yang halal , dan bersikap lapang terhadap keluarga. ( Al Ihya : 3/57).

Sebuah Fenomena Tragis
Tak jauh dari kota Jakarta, suatu ketika mengadakan pemilihan ketua RT. Saat itu ada 2 calon seorang muslim dan satunya non Islam. Hasil akhirnya sungguh mengejutkan, ternyata yang menang adalah sosok yang non muslim, padahal mayoritas penduduknya Islam. Dari berbagai aspek sosok non muslim itu memilki pesona yang hebat, ia bisa menjadi magnet, figurnya baik hati, suka menolong ramah sangat peduli pada orang lain dan berbagai kelebihan- kelebihan lainnya hingga pamornya melejit.

Gencarnya propaganda dan aksi para missionaris, orientalis dan gerakan kristenisasi tak terlepas dari bertanam budi. Mereka sepintas terlihat care, powerfull, dan begitu antusias dalam memperlihatkan perbuatan baiknya, dalam upaya menarik simpati dan tabur pesona. Tetapi semua itu tak lebih dari musang berbulu domba, hanya kamuflase, mengecoh dan akhirnya berujung pada kemurtadan. Mereka yang jelas-jelas menyimpang dari kebenaran saja berupaya tampil beda agar terlihat wow, terlihat indah, menakjubkan di mata manusia, apalagi seorang mukmin yang selalu menempuh shirathal mustaqim tentunya harus bisa tampil mempesona dengan akhlak Islam. Karena menyempurnakan akhlak mulia adalah bagian penting dari diutusnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

Murojaah: Ustadz Sa’id Abu Ukasyah, Isruwanti Ummu Nashifah




 

Adab-Adab Keluar Rumah Bagi Seorang Wanita

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, telah mengatur sedemikian rupa berkenaan dengan keutamaan dan batasan-batasan sesuai syari’at tentang apa yang seharusnya dikerjakan dan ditinggalkan oleh para wanita


ilustrasi gambar by google


Bismillahirrahmanirrahim

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, telah mengatur sedemikian rupa berkenaan dengan keutamaan dan batasan-batasan sesuai syari’at tentang apa yang seharusnya dikerjakan dan ditinggalkan oleh para wanita.

Adapun Islam telah mengatur mengenai adab-adab keluar bagi seorang wanita, yaitu:

·         Berhijab (memakai hijab yang syar’i)
·         Tidak memakai wewangian
·         Pelan-pelan dalam berjalan, agar tidak terdengar suara sendalnya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ

“Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan”. (QS. An-Nuur: 31)

Dan pada masa sekarang ini, dengan adanya sepatu atau sandal yang bertumit atau berhak tinggi dan kita dapati para wanita memakainya, sehingga terdengarlah suara sandal atau sepatunya tersebut. kadang ia bertingkah genit dalam berjalan dan bernarlah apa yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

“Wanita adalah aurat, maka jika ia keluar syaithan akan mengikutinya”.

·         Ketika berjalan bersama saudarinya dan di sana ada para pria, maka janganlah bercakap-cakap dengan saudarinya tersebut. Bukan berarti bahwa suara wanita adalah aurat, tetapi bagi sebagian pria mendengar suara wanita itu terkadang bisa menimbulkan fitnah.
·         Hendaklah meminta izin kepada suaminya, jika ia telah berkeluarga.
·         Apabila jaraknya sejauh jarak safar, maka janganlah ia keluar, kecuali bersama mahram
·         Jangan berdesak-desakan dengan pria.
·         Hendaknya ia menundukan pandangannya.
·         Janganlah menanggalkan pakaiannya di selain rumahnya, jika bermaksud untuk tampil cantik (berhias) dengan perbuatan itu.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ وَضَعَتْ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا فَقَدْ هَتَكَتْ سِتْرَ مَا بَيْنَها وَ بَيْنَ اللهِ

“Wanita mana saja yang menanggalkan pakaiannya di selain rumah suaminya, maka sungguh ia telah membuka penutupnya antara dia dengan Rabb-nya”. (Hadits Shahih)


Referensi: Ummu Abdillah al-Wadi’iyyah



Minggu, 20 November 2016

Bolehkah Wanita Berenang Di Kolam Renang?



Hukum asal bagi seorang wanita berenang sendirian di kolam renang tanpa dilihat oleh orang lain adalah boleh. Akan tetapi, jika dia ingin berenang di pemandian umum, dia harus memperhatikan hal-hal berikut agar tidak terjatuh kepada perbuatan dosa



ilustrasi gambar by google

Terkadang wanita juga membutuhkan sesuatu yang bisa menyegarkan kembali dirinya dari kejenuhannya menjalankan aktivitas sehari-harinya, tidak hanya laki-laki yang bisa dengan mudah mencari aktivitas untuk menghibur dirinya. Cara yang ditempuh wanita pun bermacam-macam, ada yang suka berbelanja, ada yang suka pergi ke gunung, ada yang suka berenang dan ada yang suka melakukan aktivitas lainnya.

Mungkin sebagian pembaca pernah bertanya, apakah boleh seorang wanita pergi ke kolam renang untuk berenang di sana? Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang wanita untuk mandi di hammaam (tempat pemandian umum di zaman Rasulullah)?

Ya, benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang wanita untuk mandi di tempat pemandian umum. Beliau bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُدْخِلْ حَلِيلَتَهُ الْحَمَّامَ

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia memasukkan istrinya ke dalan hammaam (tempat pemandian umum).”[1]

Begitu pula sabda beliau shallallahu ‘alahi wa sallam:

مَا مِنْ امْرَأَةٍ تَضَعُ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلَّا هَتَكَتْ السِّتْرَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ رَبِّهَا

“Wanita mana yang melepaskan pakaiannya di selain rumah suaminya, maka dia telah merusak hubungan antara dirinya dengan Allah.”[2]

Di zaman Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam belum dikenal kamar mandi khusus di rumah masing-masing orang. Sehingga sebagian orang lebih mengutamakan mandi di hammaam, karena di sana berdekatan dengan sumur dan mudah untuk mengambil air darinya. Tempat pemandian umum (hammaam) di zaman Nabi, tidak bercampur baur antara laki-laki dan wanita. Akan tetapi, memang masih memungkinkan untuk terlihatnya aurat satu dengan yang lain, sehingga dapat menimbulkan fitnah. Wanita memungkinkan untuk melihat aurat wanita lain, demikian juga dengan laki-laki. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.

Bagaimana dengan kolam renang?
Hukum asal bagi seorang wanita berenang sendirian di kolam renang tanpa dilihat oleh orang lain adalah boleh. Akan tetapi, jika dia ingin berenang di pemandian umum, dia harus memperhatikan hal-hal berikut agar tidak terjatuh kepada perbuatan dosa:

·         Wanita yang ingin berenang harus menutup auratnya dan berpakaian tidak ketat.
·         Wanita-wanita yang hadir di kolam renang tersebut juga harus menutup auratnya dan berpakaian tidak ketat, sehingga tidak saling memungkinkan untuk saling melihat antara satu dengan yang lainnya.
Karena Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam melarang seorang wanita melihat aurat wanita yang lain, beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ

“Janganlah seorang laki-laki melihat kepada aurat laki-laki lain dan janganlah seorang wanita melihat aurat wanita lain.”[3]

·         Tidak ada campur-baur antara laki-laki dan wanita di tempat tersebut.
·         Tempat tersebut aman dari pandangan lelaki. Laki-laki tidak bisa melihat ke dalamnya.
·         Mendapatkan izin dari suami apabila sudah menikah dan dari wali apabila belum menikah.
Meskipun keempat syarat di atas terpenuhi tetapi suami atau wali tidak mengizinkan, maka tidak boleh seorang wanita memaksakan dirinya untuk pergi ke sana, karena mematuhi suami atau wali hukumnya adalah wajib pada permasalahan-permasalahan yang mubah (boleh).

Jika telah terpenuhi syarat-syarat di atas, maka tidak mengapa seorang wanita berenang. Jika tidak terpenuhi maka seorang wanita jangan memaksakan dirinya untuk pergi ke kolam renang.

Untuk saat ini sangat jarang ditemukan kolam renang yang memenuhi kriteria-kriteria di atas. Oleh karena itu, sebagai bentuk ke-wara’-an atau kehati-hatian maka sebaiknya seorang wanita tidak berenang di kolam renang, kecuali di kolam renang pribadi. Ini lebih baik baginya dan lebih menjaga kesucian dirinya.

Adapun hadits kedua yang disebutkan di atas, maka diterapkan pada kolam renang yang tidak memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan. Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka tidak ada bedanya dengan hukum berkumpulnya wanita dengan wanita lainnya di suatu tempat. Allahu a’lam.

Dan saya juga menyarankan kepada orang-orang yang ingin membangun kolam renang dan disewakan kepada orang lain agar memperhatikan hal-hal berikut:

·         Kolam renang harus benar-benar tertutup sehingga tidak bisa terlihat dari luar.
·         Kolam renang laki-laki khusus untuk laki-laki dan kolam renang wanita khusus wanita.
·         Menyediakan pakaian khusus untuk berenang dan tidak membolehkan orang berenang kecuali dengan pakaian tersebut, jika pakaian yang dipakai oleh orang tersebut belum memenuhi syarat yang telah ditetapkan syariat.
·         Menyediakan ruang ganti baju yang tertutup.


Referensi :  Maraji’ dari berbagai sumber.

Catatan kaki
[1] HR At-Tirmidi no. 2801
[2] HR Abu Dawud no. 4012 dan At-Tirmidzi no. 2803
[3] HR Muslim no. 338.