Tampilkan postingan dengan label Referensi Buku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Referensi Buku. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 September 2018

Tarbiyatul Aulad dari Luqman Al hakim

image search by google


Pendidikan Ibadah dan Adab untuk Anak Islami

Allah SWT telah memberikan hikmah kepada Luqman Al Hakim. Hikmah itu adalah benarnya ilmu dan amal. Beliau adalah sosok pendidik yang sukses dalam mendidik anak-anaknya dalam menanamkan tauhid.

Ditengah maraknya ilmu-ilmu Parenting yang berkembang saat ini. Seharusnya kita tidak lupa belajar bagaimana parenting (pola asuh) Luqman dalam mendidik anak-anaknya. Metode Luqman ini merupakan pola asuh terbaik sehingga Allah SWT abadikan dalam Al Qur’an surat Luqman.

Surat Luqman identik dengan tarbiyatul aulad, dimana ayat-ayatnya memuat uslub yang mangagumkan dalam pendidikan anak yang didasarkan kepada manhaj Allah SWT. Ia merupakan tarbiyah yang komprehensif yang dibutuhkan anak-anak baik di dunia maupun akhirat. Tarbiyah itu mencakup pokok-pokok bahasan sebagai berikut.

Pertama, Penanaman Tauhid dan Larangan berbuat syirik kepada Allah SWT.

Pokok bahasan itu terdapat kita lihat dengan jelas dalam surat ini semuanya. Karena yang pertama kali wajib kita tumbuhkan pada anak-anak kita dalah tentang tauhidullah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.

Lalu bagaimana caranya kita menanamkan makna itu pada jiwa anak-anak kita? Hendaknya kita perlihatkan kepada mereka kerajaan (kekuasaan) Allah yang ada di alam semesta ini.
Kita ajak mereka berjalan-jalan untuk melihat berbagai pemandangan alam. Ini agar mereka mengetahui kekuasaan Allah dalam segala ciptaaan-Nya, dan mereka mengenal keagungan sang khaliq, Allah Swt atas semua makhluknya.

Perhatikan bagaimana cara Luqman mendidik puteranya. Allah Swt berfirman :

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar.” (Qs. Luqman : 13)

Ia memulai dengan pelajaran teori tentang larangan keras mengenai syirik, setelah itu mulai dengan pelajaran aplikasi amal. 

Allah Swt berfirman :
“(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Luqman : 16).

Ayat agung ini memberikan perumpamaan yang bisa dipahami anak-anak. Ia juga mengandung makna yang amat besar dan sejalan dengan orang tua, yang menjadikan mereka bisa merasakan kekuasaan, pengawasan dan ilmu Allah SWT.

Kedua, Berbuat baik kepada kedua orang tua (birrul walidain)

Ia mengenalkan kepada anak-anak tentang keutamaan orang tua atas mereka. Dengan demikian, mereka mengenal makna syukur baik kepada Allah maupun kepada kedua orang tua. Allah Swt berfirman.

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadakulah kembalimu.” (Luqman : 14)

Ayat ini memerintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua dan untuk tidak berbuat syirik. Al Qur’an mengajarkan kepada kita, bahwa kedua perkara itu tidak semestinya bertentangan satu sama lain. 

Allah Swt berfirman :
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (Qs. Luqman : 15)

Berikutnya disebutkan kaidah yang penting tentang keseimbangan diantara berbuat baik kepada orang tua (birrul walidain) dengan meninggalkan syirik. Allah Swt berfirman :

“Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutlah jalan orang yang kembali kepadaku, kemudian hanya kepadakulah kembalimu, maka kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan: (Luqman : 15).

Surat Luqman telah memberikan arahan-arahan dalam mendidik anak. Luqman merupakan sosok pendidik yang tenang, cakap memberikan nasehat-nasehatnya. Ia mengatakan “Ya Bunaiya” Wahai Anakku!.

Surat ini memberikan arahan kepada orang tua temanilah anak-anakmu dan perilakukanlah mereka dengan penuh rasa cinta sebelum kalian memberikan mereka nasehat. Bicaralah dengan mereka dari hati, pengalaman, dan kesalahan-kesalahan dalam hidup.

Perlakukanlah mereka dengan penuh keakraban dalam menasehati mereka, sebelum menggunakan kata perintah dan larangan dengan keras. Surat ini benar-benar merupakan manhaj tarbiyah yang paling utama yang terdapat dalam Al Qur’an. Baca makalah sebelumnya (Belajar Tauhid dan Aplikasinya dari Luqman Al Hakim)

Pokok-pokok pola asuh yang diajarkan luqman adalah sebagai berikut.

Ketiga, Urgensi (Ahammiyyah) ibadah dan berbuat kebajikan dalam hidup

Allah Swt berfirman :

“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar” (Qs. Luqman : 17)

Tarbiyah itu tidak berarti kita cukup memberikan kepada anak-anak kita persedian makanan, minuman, tempat tinggal, pakaian dan obat-obatan semata, mengingat itu semua termasuk perlengkapan rumah. Namun, Tarbiyah adalah bagaimana menumbuhkembangkan anak-anak kita menjadi hamba Allah SWT
Dan tarbiyah tidak hanya terbatas pada pendidikan shalat pada anak-anak seperti diyakini oleh mayoritas orang tua. Kita juga berkewajiban untuk menanamkan pada jiwa-jiwa mereka kebajikan terhadap masyarakat dan saudara-saudara mereka.

Dengan demikian, mereka akan selalu menyuruh berbuat kebaikan (Amar makruf) dan melarang dari perbuatan munkar (nahi munkar), serta menjadikan orang-orang yang mendapat hidayah Allah Swt.

Keempat, Mengenalkan hakekat dunia

Ada beberapa orang tua yang (sengaja) mendidik anak-anak mereka dengan hidup mewah (hura-hura), foya-foya, dan selalu bergantung kepada kekayaan orang tua. Sebagian orang tua mengira bahwa mereka dapat menjamin kebutuhan hidup anak-anak mereka selama di dunia.

Padahal seharusnya dilakukan oleh mereka adalah mengenalkan kepada anak-anak mereka tentang hakekat dunia berikut teka-tekinya yang berubah-ubah. Sesungguhnya dunia ini tidak akan selamanya bersama orang tua mereka. Seharunya mereka menyandarkan diri kepada diri sendiri, bukan kepada orang tua.

Berkenaan dengan hal itu, luqman pernah berpesan kepada anaknya, sebagaiman disebutkan pada ayat 17.

“Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesunggunya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (Qs. Luqman : 17)

Lebih khusus lagi, apabila sang anak dibesarkan dalam lingkungan yang baik seperti yang disinggung dalam ayat awal ayat 17.

“Suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar.” (Qs. Luqman : 17)

Anak-anak harus banyak mendapatkan arahan berupa kesabaran karena sesungguhnya jalan yang ditempuh dalam berbuat kebajikan dan dakwah di jalan Allah tidak akan terlepas dari masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan.

Kelima, Menanamkan etika (Adab) dan perasaan

Allah Swt berfirman :

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Qs. Luqman : 18 – 19)

Ayat diatas berisi arahan agar bergaul dengan manusia dengan penuh etika (adab) dan perasaan (kelembutan). Bahkan lebih spesifik dalam soal berjalan dan berbicara. Janganlah seseorang mengangkat (memalingkan) mukanya dari manusia karena sombong. Janganlah ia berjalan dengan penuh rasa angkuh, namun hendaknya ia berlaku sederhana dalam hal itu. “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan”. Dan janganlah ia meninggikan suaranya di hadapan orang yang mendengar lawan bicaranya.

Keenam, Membatasi tujuan hidup dan merencanakan masa depan

Diantara keagungan surat ini adalah  bahwa ia juga mencakup makna pendidikan untuk menentukan tujuan hidup dan masa depan. “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan”. Ayat ini bisa jadi merupakan pelengkap bagi rangkaian perasaan dan akhlak (budi pekerti) yang menjadi pembicaraan surat ini.

Maknanya berarti, hendaknya anda berjalan di muka bumi dengan penuh kesederhanaan, tidak angkuh, atau tidak sombong. Makna lainnya adalah hendaknya anda membuat maksud dan tujuan setiap langkah yang anda lakukan. Janganlah anda hidup di dunia secara berlebihan, tanpa memiliki tujuan yang jelas.



Refernsi:
 - Katsir, Ibnu. al-Bidayah wan Nihayah
- "Menyelami Nasihat Lukman Al-Hakim", Hidayah, volume 8, edisi 87, November 2008,
 hlm. 162-165.

Minggu, 02 Oktober 2016

Bagaimanakah Perempuan Saleha Itu?


Dan, kira-kira, bagaimanakah perempuan saleha, idaman setiap laki-laki saleh itu?
Yakni,
Perempuan yang menjaga pandangannya, menjaga penampilannya, menjaga perilakunya, menjaga hatinya, sesuai Al-Qur’an dan Sunah
Perempuan yang meninggalkan hal-hal yang mendekati dosa, hal-hal yang syubhat, hal-hal yang tidak bermanfaat
Perempuanyang lisan dan pendengarannya untuk bacaan Al-Qur’an, bukan untukmusik atau nyanyiankejahilan dan kemaksiatan
Perempuan yang mengidolakan Rasulullah, bukan mengidolakan artis atau semacamnya
Perempuan yang menjadikan ulama sebagai motivatornya
Perempuan yang mencari rida AllahTa’ala

(Dikutip dari buku “Jannah: Bagaimana Menikmati dan Menenangkan Hidup”, Muhammad Yuan Yusuf)

Ukhti,Mengapa Gugat Cerai?

Bercerai? Siapa yang mau? Pastinya yang menikah tidak pernah – dan tidak akan mau – bercerai. Karena begitu ijab kabul yang terucap, Anda pastinya menginginkan pernikahan yang langgeng. Sakinah, mawadah wa rahmah.

Namun siapa sangka kalau angka perceraian di tanah air belakangan justru semakin tinggi. Sepanjang 2014 kasus cerai gugat di seluruh Pengadilan Agama ada 268.381 kasus. Yang mencemaskan perceraian hari ini banyak diinisiasi kaum perempuan, alias banyak para istri yang mengajukan gugat cerai. Prosentasinya mencapai hingga 75 persen.

“Sekarang ada kecenderungan perempuan lebih berani untuk mengambil keputusan cerai,” kata Prof. DR. Nasarudin Umar, Imam Besar Mesjid Istiqlal, kala menjabat Dirjen Bimas Kemenag saat itu.

Para istri yang menggugat cerai suaminya itu menurut laporan pihak Kementerian Agama banyak dilatarbelakangi alasan tidak harmonis.

Pertanyaannya adalah apakah boleh semata alasan tidak harmonis lalu kemudian kaum perempuan mengajukan gugat cerai? Semudah itukah?

Saya ingin mengajukan pertanyaan simpel kepada anda, akhwat fillah, soal tujuan dan cara pernikahan;

Bukankah pernikahan itu bertujuan menyatukan dua pribadi yang berbeda sehingga tercipta keharmonisan?
Bukankah salah satu cara – dan harus sering kita gunakan – agar tercipta keharmonisan adalah bisa menerima kekurangan pasangan kita? Bukan sekedar mengharapkan kelebihan dan kesalehannya?
Bukankah kita pun harus belajar mengalah untuk tercipta keharmonisan? Karena pernikahan yang harmonis bukanlah pernikahan yang berarti suami dan istri selalu senada dan seirama. Bukan keseragaman warna yang membuat pelangi itu menjadi indah, tapi keberagamanlah yang membuat pelangi menjadikannya indah.
Saya tidak menafikan bahwa kadangkala suami bertingkah menyebalkan. Tapi bukankah itu bagian dari kehidupan yang harus kita jalani? Siapa sih yang dalam hidupnya tidak pernah bertingkah menyebalkan, seorang wanita pun bisa dipandang menyebalkan oleh suaminya.

Berikutnya yang saya dapat dari data Kementerian Agama, banyak gugat cerai dilayangkan oleh para istri yang bekerja dan punya penghasilan mapan. Artinya, ada faktor (maaf) ego yang tumbuh dalam pribadi para wanita manakala mereka merasa punya keamanan finansial tanpa topangan suami.

Karenanya ketika para wanita ini merasa suami bertingkah menyebalkan – dan penilaian ini bisa amat subyektif – lalu para istri merasa pernikahan tidak lagi harmonis, mereka pun ambil keputusan gugat cerai. Toh, saya – pikir istri – bisa hidup tanpa bertumpu pada suami. Saya punya pekerjaan, saya punya penghasilan, saya bisa hidup mandiri.

Saya tidak menafikan bahwa ada suami yang bertindak keterlaluan, seperti berselingkuh, atau bertindak kasar pada istri dan anak-anak. Untuk alasan itu maka gugat cerai bisa dibenarkan dalam pandangan syariat Islam.

Tapi bila semata karena ‘tidak harmonis’, karena masing-masing mempertahankan ego untuk sesuatu yang sebenarnya bisa ditawar dan dinegosiasikan, apakah harus akhwat fillah mengajukan gugat cerai?

Bukankah ada rules dalam pernikahan yang harus disepakati bersama? Dimana aturan itu datang dari Allah SWT.? Dan Allah adalah Zat yang Maha Bijaksana (al-Hakim).

Pernahkan ukhti fillah membaca hadits shahih yang menegur para wanita yang berani menggugat cerai suami mereka tanpa alasan yang haq?

 أيُّما امرأةٍ سأَلتْ زوجَها طلاقَها مِن غيرِ بأسٍ فحرامٌ عليها رائحةُ الجنَّةِ


 Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan syariat, maka haram baginya wangi surga. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan lainnya. shahih). 


Penulis Nayl al-Awthar Imam asy-Syawkani memberikan komentar: Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa permintaan talak (gugat cerai) seorang istri kepada suaminya adalah diharamkan dengan pengharaman yang keras. Sudikah ukhti diharamkan mencium wanginya surga karena mengajukan gugat cerai pada suami?

Rasulullah SAW. juga mengingatkan para wanita yang mengajukan khulu’ (gugat cerai dengan kompensasi pengembalian mahar), dengan peringatan yang keras. Sabdanya:

الْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ


 “Para istri yang minta khulu’ adalah wanita-wanita munafik.” [Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi (no. 1186) dan Abu Dawud (no. 9094), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Lihat Silsilah Ash-Shahiihah (no. 632) dan Shahih Jaami’ush Shaghiir (no. 6681)].
 

Camkanlah dua hadits di atas. Maukah kita menukarkan jannah Allah hanya untuk membela ego kita, tak mau merendahkan hati dan taat di hadapan suami? Sementara Rasulullah SAW. begitu keras memberikan peringatan kepada para wanita yang mengajukan gugat cerai yang tanpa dilandasi alasan yang haq.

Allah memang menghalalkan perceraian. Tapi bila ukhti menggugat cerai suami karena alasan ‘tidak harmonis’ seperti suami tidak romantis, kurang pengertian pada istri, apalagi ketika suami ditimpa musibah kesulitan nafkah keluarga, lalu istri mengajukan gugat cerai. Hanya sebatas itukah daya tahan ukhti menjalani pernikahan? Karena sampai ke ujung dunia sekalipun tak akan ada suami yang sempurna. Selalu ada plus minus dalam diri seorang pria.

Lalu bila karena alasan seperti itu, dimanakah yang namanya cinta? Bukankah cinta itu berarti menuntut meletakkan kebahagiaan orang lain (suami dan anak-anak) di atas kebahagiaan kita?

Mengapa tidak belajar untuk mencintai karena Allah, tulus dan murni, dan malah justru belajar menggugat cerai suami? Duh.


(Buku : Bukan Pernikahan Cinderella : Ustadz Iwan Januar)

Kamis, 23 Juni 2016

[review] I Love I Hate I Miss My Sister - Amelie Sarn



Judul: I Love I Hate I Miss My Sister
Pengarang: Amelie Sarn
Penerbit: Delacorta Press
Tahun Terbit: Agustus 2014
Halaman: 152
Rating: 4 of 5

“Carefree.” What a strange word.
Sepertinya menjadi kalimat yang sering diulang di awal buku ini. Memang karena di sana letak perbedaan yang mencolok antara dua kakak beradik, Sohane dan Djelila, keluarga Muslim Algeria yang tinggal di Prancis. Djelila, adik perempuan Sohane digambarkan sebagai sosok dengan karakter lebih ceria dan lebih cantik juga. Sohane digambarkan lebih cerdas namun cenderung tertutup.

Beberapa konflik mulai muncul ketika Sohane memutuskan untuk menggunakan head scarf, not veil, fyi. I don’t want to be ashamed of being Muslim and of practicing my religion, gitu sih kata Sohane. Di sisi lain, Djelila malah tampil dengan lebih fashionable, rambut diwanarnai, bahkan mengakui kalau dia suka minum. Back to topic, sayangnya, peraturan sekolah melarang keras murid mengenakan hal-hal yang ada hubungannya dengan atribut keagamaan. Yaa…Prancis lah namanya. Sensitif untuk urusan beginian. Sohane sontak menjadi the most-popular student, mengalahkan popularitas adeknya. Haks.  Tapi hebatnya, ketika teman-teman lain memandang aneh pada Sohane, Djelila justru tampil sebagai guardian angel.

Puncak konflik ketika Sohane yang telah memutuskan untuk mengambil kelas belajar di rumah, meminta izin kepada Ibunya untuk berjalan-jalan keluar rumah. Ketika itu ia seperti mendengar suara anjing melolong kesakitan. In fact, itu adalah suara Djelila yang sedang terbakar, -dibakar, tepatnya oleh Majid, teman sekolah Djelila- 

I don’t want to live in fear. I don’t want my choice to be dictated by fear. I don’t want to be what others have decided I should be. I want to be myself. – pg.131 
Singkat dan tragis.

Buku ini tergolong tipis dan untungnya berbahasa Inggris yang cukup mudah dimengerti tanpa harus membuka translator. Makanya aku bisa namatin bacanya selama perjalanan udara CGK-PDG. Menohok, karena ceritanya nggak berbelit-belit. Klimaks dan penyelesaian langsung diceritakan di bagian akhir. Berhasil bikin perasaan jadi campur aduk deh. Mungkin karena substansi ceritanya juga keren.

Menurutku jalan ceritanya cukup seimbang. Menggunakan sudut pandang orang pertama dari sisi Sohane, menggiring pembaca menjadikan Sohane sebagai tokoh utama. Namun, kejadian Djelila sebagai puncak konflik juga menguras fokus. Bikin shock, sesak nafas, kaget sumpah. Makanya jadi balance. *ketauan anak akuntansi*

Oya, menjelang akhir cerita, there’s one thing that impress me.

Setelah kejadian dibakarnya Djelila hidup-hidup, diadakan semacam diskusi tentang kematiannya. Sohane yang tidak sengaja membaca pengumuman itu dari sebuah poster memutuskan untuk datang dan melihat. Ketika Sohane datang terlambat dan duduk, semua peserta diskusi mendadak diam dan memandang ke Djelila. Ia sempat ge-er dan beranggapan orang-orang pada tau siapa dirinya. Eh, taunya, dia malah disuruh keluar ruangan.

You don’t belong here. Our group fights for the liberty of women, for the defense of their free will. You disavow these values by accepting to wear the veil – pg. 140

Jleb. Banget. Kan.

Sebenarnya sih aku heran. Ya kalau menjunjung tinggi kebebasan, mestinya disana boleh-boleh aja donk kalau mau pakai veil. Gitu.


Oya, cerita ini based on true story, lho.