Kamis, 23 Juni 2016

[review] I Love I Hate I Miss My Sister - Amelie Sarn



Judul: I Love I Hate I Miss My Sister
Pengarang: Amelie Sarn
Penerbit: Delacorta Press
Tahun Terbit: Agustus 2014
Halaman: 152
Rating: 4 of 5

“Carefree.” What a strange word.
Sepertinya menjadi kalimat yang sering diulang di awal buku ini. Memang karena di sana letak perbedaan yang mencolok antara dua kakak beradik, Sohane dan Djelila, keluarga Muslim Algeria yang tinggal di Prancis. Djelila, adik perempuan Sohane digambarkan sebagai sosok dengan karakter lebih ceria dan lebih cantik juga. Sohane digambarkan lebih cerdas namun cenderung tertutup.

Beberapa konflik mulai muncul ketika Sohane memutuskan untuk menggunakan head scarf, not veil, fyi. I don’t want to be ashamed of being Muslim and of practicing my religion, gitu sih kata Sohane. Di sisi lain, Djelila malah tampil dengan lebih fashionable, rambut diwanarnai, bahkan mengakui kalau dia suka minum. Back to topic, sayangnya, peraturan sekolah melarang keras murid mengenakan hal-hal yang ada hubungannya dengan atribut keagamaan. Yaa…Prancis lah namanya. Sensitif untuk urusan beginian. Sohane sontak menjadi the most-popular student, mengalahkan popularitas adeknya. Haks.  Tapi hebatnya, ketika teman-teman lain memandang aneh pada Sohane, Djelila justru tampil sebagai guardian angel.

Puncak konflik ketika Sohane yang telah memutuskan untuk mengambil kelas belajar di rumah, meminta izin kepada Ibunya untuk berjalan-jalan keluar rumah. Ketika itu ia seperti mendengar suara anjing melolong kesakitan. In fact, itu adalah suara Djelila yang sedang terbakar, -dibakar, tepatnya oleh Majid, teman sekolah Djelila- 

I don’t want to live in fear. I don’t want my choice to be dictated by fear. I don’t want to be what others have decided I should be. I want to be myself. – pg.131 
Singkat dan tragis.

Buku ini tergolong tipis dan untungnya berbahasa Inggris yang cukup mudah dimengerti tanpa harus membuka translator. Makanya aku bisa namatin bacanya selama perjalanan udara CGK-PDG. Menohok, karena ceritanya nggak berbelit-belit. Klimaks dan penyelesaian langsung diceritakan di bagian akhir. Berhasil bikin perasaan jadi campur aduk deh. Mungkin karena substansi ceritanya juga keren.

Menurutku jalan ceritanya cukup seimbang. Menggunakan sudut pandang orang pertama dari sisi Sohane, menggiring pembaca menjadikan Sohane sebagai tokoh utama. Namun, kejadian Djelila sebagai puncak konflik juga menguras fokus. Bikin shock, sesak nafas, kaget sumpah. Makanya jadi balance. *ketauan anak akuntansi*

Oya, menjelang akhir cerita, there’s one thing that impress me.

Setelah kejadian dibakarnya Djelila hidup-hidup, diadakan semacam diskusi tentang kematiannya. Sohane yang tidak sengaja membaca pengumuman itu dari sebuah poster memutuskan untuk datang dan melihat. Ketika Sohane datang terlambat dan duduk, semua peserta diskusi mendadak diam dan memandang ke Djelila. Ia sempat ge-er dan beranggapan orang-orang pada tau siapa dirinya. Eh, taunya, dia malah disuruh keluar ruangan.

You don’t belong here. Our group fights for the liberty of women, for the defense of their free will. You disavow these values by accepting to wear the veil – pg. 140

Jleb. Banget. Kan.

Sebenarnya sih aku heran. Ya kalau menjunjung tinggi kebebasan, mestinya disana boleh-boleh aja donk kalau mau pakai veil. Gitu.


Oya, cerita ini based on true story, lho.

0 komentar:

Posting Komentar