Kamis, 06 September 2018

Menimbang Dan Memaknai #2019GantiPresiden

image search by google
Entah sudah berapa ribu kaos dengan tulisan #2019 Ganti Presiden terjual. Media sosial ramai dengan foto-foto pemakainya dengan beragam pose. Ada gelora perlawanan di wajah para pemakainya. Mereka sudah tak sabar menginginkan perubahan.
Bagaimana tidak. Data hutang luar negeri kian mengkhawatirkan. Harga-harga makin melambung. Rupiah keok di hadapan Dolar AS. Iklim usaha terpuruk. Pengangguran bertambah. Tapi pekerja asing berkeliaran di dalam negeri.

Banyak aparat yang sepertinya tidak kompeten dengan jabatannya. Dan seluruh kekecewaan publik itu hanya terpuaskan jika #2019 Ganti Presiden. Kalimat yang memantik gelora dan gairah. Dan harga mati.

Kalangan muslim yang selama ini kontra terhadap rezim Kerja cenderung merapat kepada tagar tersebut. Bukan lagi mayoritas, tapi seluruhnya. Sambil menyisipkan harapan semoga presiden pengganti lebih berpihak kepada Islam. Sebuah harapan mulia yang sudah sepatutnya tersimpan di dada setiap muslim yang cinta agamanya.

Mazhab #2019 Ganti Presiden

Penganut #2019 Ganti Presiden sangat beragam. Multi aliran. Mulai dari latar belakang masalah yang sangat sederhana hingga faktor ideologi yang paling puritan (menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai dosa). Semuanya mendapat saluran dengan tagar sama. Sekurangnya, dengan ganti presiden ada secercah harapan yang lebih baik. Meski masih menyimpan tanda tanya juga.
Latar belakang masalah sederhana misalnya masyarakat yang merasakan kesempitan ekonomi gara-gara harga makin melambung. Atau kesulitan mendapat pekerjaan. Atau merasakan iklim bisnis yang tidak kondusif.

Mereka semua mendukung #2019 Ganti Presiden semata karena kecewa masalah ekonomi, sesuatu yang bisa dianggap sederhana karena tidak terkait dengan kebencian ideologis kepada sang presiden. Hanya masalah perut.

Latar belakang yang lebih serius adalah mereka yang benci dengan ideologi sang presiden. Bagi kalangan ini, presiden yang berasal dari PDIP mengindikasikan ideologi merah. Pro komunis. Apalagi dikaitkan dengan isu banjir pekerja China yang menyerobot pekerjaan kasar yang seharusnya bisa dilakukan oleh pekerja lokal.

Isu makin liar dengan dikaitkan asumsi invasi China yang terbukti sangat agresif di beberapa negera lain. Maka #2019 Ganti Presiden adalah solusi harga mati. Pokoknya bukan merah.

Latar belakang lebih serius lagi adalah mereka yang benci dengan ideologi sang presiden, dan keinginannya diganti dengan yang pro Islam. Kalangan ini lebih ideologis. Bukan sekedar ganti presiden, tapi sudah pasang harga penggantinya harus lebih pro kepada Islam. Bahkan kalau bisa sang pengganti dari kalangan aktivis Islam. Karenanya, selain mengusung #2019 Ganti Presiden, mereka juga aktif mengampanyekan sosok baru seperti Ahmad Heryawan, gubernur Jabar dua periode dan Tuan Guru Bajang (TGB), gubernur NTB.

Mazhab #Ganti Sistem

Mazhab ini diusung oleh para pendukung eks HTI dan para Islamis anti sekuler lain seperti. Mereka dipersatukan oleh penolakan terhadap sistem Demokrasi. Bagi mereka, ganti presiden masih merupakan solusi setengah hati.

Sebab akar masalahnya adalah sistem sekuler, yang menegaskan peran agama dalam percaturan politik dan hukum. Ketika sistemnya rusak, maka akan melahirkan para pemimpin yang rusak. Mengganti presiden dengan demikian hanya mengganti orang rusak dengan orang lain yang juga rusak. Atau setidaknya, beda-beda tipis.

Salah seorang tokoh pengusung mazhab ini, Felix Siauw, menulis: Tidak hanya orang yang salah, sistem pun bisa salah. Hanya saja kesalahan orang itu pribadi, sedangkan kesalahan sistem memproduksi orang salah secara masal. #Ganti Sistemnya Dengan Islam.

Momentum pilpres selalu menjadi kesempatan terbaik untuk menjajakan pandangan ini. Ketika awarenes masyarakat tentang fungsi presiden dan segala perangkatnya sedang naik. Saat itu edukasi tentang pentingnya sistem Islam menggantikan sistem sekuler mendapat kesempatan. Dan para aktifis eks HTI serius menggunakan momentum ini dengan baik.

image search by google

Menimbang Mazhab Pertama dan Kedua

Jika ditimbang dengan kacamata sunnatullah, maka kedua mazhab tersebut masih mengandung masalah. Mazhab pertama menghadapi masalah siapa sosok calon pengganti presiden. Apakah bakal lebih baik dibanding sebelumnya? Siapa yang bisa memberi garansi bahwa presiden baru akan lebih baik ?

Kelemahan utama mazhab pertama, masalah yang begitu kompleks diberi solusi hanya bertumpu pada sosok manusianya. Padahal manusia makhluk lemah, ia akan mudah terbawa oleh situasi dan kondisi. Berhadapan dengan taipan (konglomerat), ia dengan mudah kalah. Berhadapan dengan kekuatan senjata, ia gampang menyerah. Bahkan kekuatan loby tanpa uang dan senjata juga bisa menjebaknya. Misalnya honey trap, dijebak dengan wanita cantik. Semua idealisme tiba-tiba bisa rontok jika sudah terjebak dengan honey trap.

Maka secara realistis, mazhab ini adalah solusi jangka pendek, dan belum tentu benar-benar solusi. Masih gambling. Bisa ya, bisa tidak. Sangat tergantung sosok baru sebagai pengganti.
Sementara mazhab kedua sudah lebih baik. Ingin mengganti orang dan sistemnya sekaligus. Harapannya, dengan sistemnya ganti maka siapa pun sang pengganti akan terkawal oleh sistem. Ia dipaksa oleh sistem untuk lebih baik. Dan sistem pengganti yang dimaksud adalah sistem Islam. 

Ketika seluruh elemen masyarakat sepakat mengganti sistem, maka dengan sendirinya akan menjadi penyaring untuk menghasilkan sosok pemimpin yang diharapkan. Jika saringannya longgar, output yang dihasilkan juga kualitas rendah. Tapi bila saringannya ketat, dan itu hanya ada dalam Islam, maka akan menghasilkan sosok ideal.

Perlu Mazhab Ketiga

Ada mazhab ketiga yang menarik dibincangkan. Sayangnya belum ada yang mengusung mazhab ini. Yaitu mazhab, yang lumpuhkan biang kekafiran untuk mendirikan sistem Islam. Mazhab yang berangkat dari sunnatullah kemenangan Islam.

Ketika seluruh masyarakat sepakat mengganti sistem Demokrasi dan memproklamasikan sistem Islam, secara sunnatullah sistem itu tidak otomatis akan berdiri. Sebab akan diuji oleh kekuatan kafir yang mengelilinginya. Mereka tak akan tinggal diam menyaksikan proklamasi itu.

Mereka akan segera merespon dengan mengerahkan segenap kekuatan tempur dan embargo ekonomi dalam rangka memaksa masyarakat Indonesia untuk kembali ke pangkuan sistem Demokrasi. Memaksa agar mencabut kembali proklamasinya.

Maknanya, ganti sistem itu di atas kertas adalah solusi ideal. Tapi solusi tersebut hanya melihat masalah dengan kacamata lokal, belum mempertimbangkan aspek global. Dunia hari ini adalah dunia yang sempit dengan penguasa tunggal yaitu AS dan seluruh jaringan bonekanya. Secara sunnatullah tak mungkin sistem berubah hanya dengan proklamasi internal.

Namun, sistem hanya berubah jika setelah proklamasi mampu menghadapi lawan eksternal dan bisa menjinakkannya. Barulah sesudah itu, proklamasi punya pijakan kuat di muka bumi, karena sudah tidak ada angin yang akan menggoyahkannya.

Mazhab ketiga merupakan mazhab yang paling sesuai dengan sunnatullah kemenangan Islam. Rasulullah Saw baru bisa menegakkan sistem Islam di Madinah setelah berhasil melumpuhkan kekuatan kafir Quraisy yang berpusat di Mekah dan koalisinya di seluruh jazirah Arab.
Sebuah mazhab terjal yang hanya dipercaya oleh orang-orang yang mengerti sunnatullah dan yakin dengan pertolongan Allah Ta’ala. Mazhab yang rasanya mustahil diwujudkan, tapi petunjuk arahnya jelas karena banyak diterangkan dalam Al-Qur’an dan sejarah Nabi Saw.

Problemnya hanya perlu kemauan, keberanian dan keyakinan untuk mewujudkannya, dengan izin Allah Ta’ala. Sementara mazhab pertama tampak mudah tapi tak jelas arah. Dan mazhab kedua, sudah cukub bagus hanya belum berpijak pada rel sunnatullah dan aspek global.
 Wallahu Ta’ala ‘Alam.

0 komentar:

Posting Komentar