image search by google |
Entah sudah berapa ribu kaos dengan tulisan #2019
Ganti Presiden terjual. Media sosial ramai dengan foto-foto pemakainya
dengan beragam pose. Ada gelora perlawanan di wajah para pemakainya. Mereka
sudah tak sabar menginginkan perubahan.
Bagaimana tidak. Data hutang luar negeri kian
mengkhawatirkan. Harga-harga makin melambung. Rupiah keok di hadapan Dolar AS.
Iklim usaha terpuruk. Pengangguran bertambah. Tapi pekerja asing berkeliaran di
dalam negeri.
Banyak aparat yang sepertinya tidak kompeten dengan jabatannya. Dan
seluruh kekecewaan publik itu hanya terpuaskan jika #2019 Ganti Presiden.
Kalimat yang memantik gelora dan gairah. Dan harga mati.
Kalangan muslim yang selama ini kontra terhadap rezim Kerja
cenderung merapat kepada tagar tersebut. Bukan lagi mayoritas, tapi seluruhnya.
Sambil menyisipkan harapan semoga presiden pengganti lebih berpihak kepada
Islam. Sebuah harapan mulia yang sudah sepatutnya tersimpan di dada setiap muslim
yang cinta agamanya.
Mazhab #2019 Ganti
Presiden
Penganut #2019 Ganti Presiden sangat beragam.
Multi aliran. Mulai dari latar belakang masalah yang sangat sederhana hingga
faktor ideologi yang paling puritan (menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai
dosa). Semuanya mendapat saluran dengan tagar sama. Sekurangnya, dengan ganti
presiden ada secercah harapan yang lebih baik. Meski masih menyimpan tanda
tanya juga.
Latar belakang masalah sederhana misalnya masyarakat yang
merasakan kesempitan ekonomi gara-gara harga makin melambung. Atau kesulitan
mendapat pekerjaan. Atau merasakan iklim bisnis yang tidak kondusif.
Mereka semua mendukung #2019 Ganti Presiden semata karena kecewa
masalah ekonomi, sesuatu yang bisa dianggap sederhana karena tidak terkait
dengan kebencian ideologis kepada sang presiden. Hanya masalah perut.
Latar belakang yang lebih serius adalah mereka yang benci
dengan ideologi sang presiden. Bagi kalangan ini, presiden yang berasal dari
PDIP mengindikasikan ideologi merah. Pro komunis. Apalagi
dikaitkan dengan isu banjir pekerja China yang menyerobot pekerjaan kasar yang
seharusnya bisa dilakukan oleh pekerja lokal.
Isu makin liar dengan dikaitkan asumsi invasi China yang terbukti
sangat agresif di beberapa negera lain. Maka #2019 Ganti Presiden adalah solusi
harga mati. Pokoknya bukan merah.
Latar belakang lebih serius lagi adalah mereka yang benci
dengan ideologi sang presiden, dan keinginannya diganti dengan yang pro Islam.
Kalangan ini lebih ideologis. Bukan sekedar ganti presiden, tapi sudah pasang
harga penggantinya harus lebih pro kepada Islam. Bahkan kalau bisa sang
pengganti dari kalangan aktivis Islam. Karenanya, selain mengusung #2019
Ganti Presiden, mereka juga aktif mengampanyekan sosok baru seperti
Ahmad Heryawan, gubernur Jabar dua periode dan Tuan Guru Bajang (TGB), gubernur
NTB.
Mazhab #Ganti Sistem
Mazhab ini diusung oleh para pendukung eks HTI dan para
Islamis anti sekuler lain seperti. Mereka dipersatukan oleh penolakan terhadap
sistem Demokrasi. Bagi mereka, ganti presiden masih merupakan solusi setengah
hati.
Sebab akar masalahnya adalah sistem sekuler, yang menegaskan
peran agama dalam percaturan politik dan hukum. Ketika sistemnya rusak, maka
akan melahirkan para pemimpin yang rusak. Mengganti presiden dengan demikian
hanya mengganti orang rusak dengan orang lain yang juga rusak. Atau setidaknya,
beda-beda tipis.
Salah seorang tokoh
pengusung mazhab ini, Felix Siauw, menulis: Tidak hanya orang yang salah,
sistem pun bisa salah. Hanya saja kesalahan orang itu pribadi, sedangkan
kesalahan sistem memproduksi orang salah secara masal. #Ganti Sistemnya Dengan
Islam.
Momentum pilpres selalu menjadi kesempatan terbaik untuk
menjajakan pandangan ini. Ketika awarenes masyarakat tentang fungsi presiden
dan segala perangkatnya sedang naik. Saat itu edukasi tentang pentingnya sistem
Islam menggantikan sistem sekuler mendapat kesempatan. Dan para aktifis eks HTI
serius menggunakan momentum ini dengan baik.
image search by google |
Menimbang Mazhab
Pertama dan Kedua
Jika ditimbang dengan kacamata sunnatullah, maka kedua
mazhab tersebut masih mengandung masalah. Mazhab pertama menghadapi masalah
siapa sosok calon pengganti presiden. Apakah bakal lebih baik dibanding
sebelumnya? Siapa yang bisa memberi garansi bahwa presiden baru akan lebih baik
?
Kelemahan utama mazhab pertama, masalah yang begitu kompleks diberi
solusi hanya bertumpu pada sosok manusianya. Padahal manusia makhluk lemah, ia
akan mudah terbawa oleh situasi dan kondisi. Berhadapan dengan taipan
(konglomerat), ia dengan mudah kalah. Berhadapan dengan kekuatan senjata, ia
gampang menyerah. Bahkan kekuatan loby tanpa uang dan senjata juga bisa menjebaknya.
Misalnya honey trap, dijebak dengan wanita cantik. Semua idealisme tiba-tiba
bisa rontok jika sudah terjebak dengan honey trap.
Maka secara realistis, mazhab ini adalah solusi jangka
pendek, dan belum tentu benar-benar solusi. Masih gambling. Bisa ya, bisa
tidak. Sangat tergantung sosok baru sebagai pengganti.
Sementara mazhab kedua
sudah lebih baik. Ingin mengganti orang dan sistemnya sekaligus.
Harapannya, dengan sistemnya ganti maka siapa pun sang pengganti akan terkawal
oleh sistem. Ia dipaksa oleh sistem untuk lebih baik. Dan sistem pengganti yang
dimaksud adalah sistem Islam.
Ketika seluruh elemen masyarakat sepakat
mengganti sistem, maka dengan sendirinya akan menjadi penyaring untuk
menghasilkan sosok pemimpin yang diharapkan. Jika saringannya longgar, output
yang dihasilkan juga kualitas rendah. Tapi bila saringannya ketat, dan itu
hanya ada dalam Islam, maka akan menghasilkan sosok ideal.
Perlu Mazhab Ketiga
Ada mazhab ketiga yang menarik dibincangkan. Sayangnya belum
ada yang mengusung mazhab ini. Yaitu mazhab, yang lumpuhkan biang kekafiran
untuk mendirikan sistem Islam. Mazhab yang berangkat dari sunnatullah
kemenangan Islam.
Ketika seluruh masyarakat sepakat mengganti sistem Demokrasi
dan memproklamasikan sistem Islam, secara sunnatullah sistem itu tidak otomatis
akan berdiri. Sebab akan diuji oleh kekuatan kafir yang mengelilinginya. Mereka
tak akan tinggal diam menyaksikan proklamasi itu.
Mereka akan segera merespon dengan mengerahkan segenap
kekuatan tempur dan embargo ekonomi dalam rangka memaksa masyarakat Indonesia
untuk kembali ke pangkuan sistem Demokrasi. Memaksa agar mencabut kembali
proklamasinya.
Maknanya, ganti sistem itu di atas kertas adalah solusi ideal. Tapi
solusi tersebut hanya melihat masalah dengan kacamata lokal, belum
mempertimbangkan aspek global. Dunia hari ini adalah dunia yang sempit dengan
penguasa tunggal yaitu AS dan seluruh jaringan bonekanya. Secara sunnatullah
tak mungkin sistem berubah hanya dengan proklamasi internal.
Namun, sistem hanya berubah jika setelah proklamasi mampu
menghadapi lawan eksternal dan bisa menjinakkannya. Barulah sesudah itu,
proklamasi punya pijakan kuat di muka bumi, karena sudah tidak ada angin yang
akan menggoyahkannya.
Mazhab ketiga merupakan mazhab yang paling sesuai dengan
sunnatullah kemenangan Islam. Rasulullah Saw baru bisa menegakkan sistem Islam
di Madinah setelah berhasil melumpuhkan kekuatan kafir Quraisy yang berpusat di
Mekah dan koalisinya di seluruh jazirah Arab.
Sebuah mazhab terjal yang hanya dipercaya oleh orang-orang
yang mengerti sunnatullah dan yakin dengan pertolongan Allah Ta’ala. Mazhab
yang rasanya mustahil diwujudkan, tapi petunjuk arahnya jelas karena banyak
diterangkan dalam Al-Qur’an dan sejarah Nabi Saw.
Problemnya hanya perlu kemauan, keberanian dan keyakinan
untuk mewujudkannya, dengan izin Allah Ta’ala. Sementara mazhab pertama tampak
mudah tapi tak jelas arah. Dan mazhab kedua, sudah cukub bagus hanya belum
berpijak pada rel sunnatullah dan aspek global.
Wallahu Ta’ala ‘Alam.
0 komentar:
Posting Komentar