Tampilkan postingan dengan label Hadist Shahih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hadist Shahih. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 September 2018

Tarbiyatul Aulad dari Luqman Al hakim

image search by google


Pendidikan Ibadah dan Adab untuk Anak Islami

Allah SWT telah memberikan hikmah kepada Luqman Al Hakim. Hikmah itu adalah benarnya ilmu dan amal. Beliau adalah sosok pendidik yang sukses dalam mendidik anak-anaknya dalam menanamkan tauhid.

Ditengah maraknya ilmu-ilmu Parenting yang berkembang saat ini. Seharusnya kita tidak lupa belajar bagaimana parenting (pola asuh) Luqman dalam mendidik anak-anaknya. Metode Luqman ini merupakan pola asuh terbaik sehingga Allah SWT abadikan dalam Al Qur’an surat Luqman.

Surat Luqman identik dengan tarbiyatul aulad, dimana ayat-ayatnya memuat uslub yang mangagumkan dalam pendidikan anak yang didasarkan kepada manhaj Allah SWT. Ia merupakan tarbiyah yang komprehensif yang dibutuhkan anak-anak baik di dunia maupun akhirat. Tarbiyah itu mencakup pokok-pokok bahasan sebagai berikut.

Pertama, Penanaman Tauhid dan Larangan berbuat syirik kepada Allah SWT.

Pokok bahasan itu terdapat kita lihat dengan jelas dalam surat ini semuanya. Karena yang pertama kali wajib kita tumbuhkan pada anak-anak kita dalah tentang tauhidullah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.

Lalu bagaimana caranya kita menanamkan makna itu pada jiwa anak-anak kita? Hendaknya kita perlihatkan kepada mereka kerajaan (kekuasaan) Allah yang ada di alam semesta ini.
Kita ajak mereka berjalan-jalan untuk melihat berbagai pemandangan alam. Ini agar mereka mengetahui kekuasaan Allah dalam segala ciptaaan-Nya, dan mereka mengenal keagungan sang khaliq, Allah Swt atas semua makhluknya.

Perhatikan bagaimana cara Luqman mendidik puteranya. Allah Swt berfirman :

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar.” (Qs. Luqman : 13)

Ia memulai dengan pelajaran teori tentang larangan keras mengenai syirik, setelah itu mulai dengan pelajaran aplikasi amal. 

Allah Swt berfirman :
“(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Luqman : 16).

Ayat agung ini memberikan perumpamaan yang bisa dipahami anak-anak. Ia juga mengandung makna yang amat besar dan sejalan dengan orang tua, yang menjadikan mereka bisa merasakan kekuasaan, pengawasan dan ilmu Allah SWT.

Kedua, Berbuat baik kepada kedua orang tua (birrul walidain)

Ia mengenalkan kepada anak-anak tentang keutamaan orang tua atas mereka. Dengan demikian, mereka mengenal makna syukur baik kepada Allah maupun kepada kedua orang tua. Allah Swt berfirman.

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadakulah kembalimu.” (Luqman : 14)

Ayat ini memerintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua dan untuk tidak berbuat syirik. Al Qur’an mengajarkan kepada kita, bahwa kedua perkara itu tidak semestinya bertentangan satu sama lain. 

Allah Swt berfirman :
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (Qs. Luqman : 15)

Berikutnya disebutkan kaidah yang penting tentang keseimbangan diantara berbuat baik kepada orang tua (birrul walidain) dengan meninggalkan syirik. Allah Swt berfirman :

“Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutlah jalan orang yang kembali kepadaku, kemudian hanya kepadakulah kembalimu, maka kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan: (Luqman : 15).

Surat Luqman telah memberikan arahan-arahan dalam mendidik anak. Luqman merupakan sosok pendidik yang tenang, cakap memberikan nasehat-nasehatnya. Ia mengatakan “Ya Bunaiya” Wahai Anakku!.

Surat ini memberikan arahan kepada orang tua temanilah anak-anakmu dan perilakukanlah mereka dengan penuh rasa cinta sebelum kalian memberikan mereka nasehat. Bicaralah dengan mereka dari hati, pengalaman, dan kesalahan-kesalahan dalam hidup.

Perlakukanlah mereka dengan penuh keakraban dalam menasehati mereka, sebelum menggunakan kata perintah dan larangan dengan keras. Surat ini benar-benar merupakan manhaj tarbiyah yang paling utama yang terdapat dalam Al Qur’an. Baca makalah sebelumnya (Belajar Tauhid dan Aplikasinya dari Luqman Al Hakim)

Pokok-pokok pola asuh yang diajarkan luqman adalah sebagai berikut.

Ketiga, Urgensi (Ahammiyyah) ibadah dan berbuat kebajikan dalam hidup

Allah Swt berfirman :

“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar” (Qs. Luqman : 17)

Tarbiyah itu tidak berarti kita cukup memberikan kepada anak-anak kita persedian makanan, minuman, tempat tinggal, pakaian dan obat-obatan semata, mengingat itu semua termasuk perlengkapan rumah. Namun, Tarbiyah adalah bagaimana menumbuhkembangkan anak-anak kita menjadi hamba Allah SWT
Dan tarbiyah tidak hanya terbatas pada pendidikan shalat pada anak-anak seperti diyakini oleh mayoritas orang tua. Kita juga berkewajiban untuk menanamkan pada jiwa-jiwa mereka kebajikan terhadap masyarakat dan saudara-saudara mereka.

Dengan demikian, mereka akan selalu menyuruh berbuat kebaikan (Amar makruf) dan melarang dari perbuatan munkar (nahi munkar), serta menjadikan orang-orang yang mendapat hidayah Allah Swt.

Keempat, Mengenalkan hakekat dunia

Ada beberapa orang tua yang (sengaja) mendidik anak-anak mereka dengan hidup mewah (hura-hura), foya-foya, dan selalu bergantung kepada kekayaan orang tua. Sebagian orang tua mengira bahwa mereka dapat menjamin kebutuhan hidup anak-anak mereka selama di dunia.

Padahal seharusnya dilakukan oleh mereka adalah mengenalkan kepada anak-anak mereka tentang hakekat dunia berikut teka-tekinya yang berubah-ubah. Sesungguhnya dunia ini tidak akan selamanya bersama orang tua mereka. Seharunya mereka menyandarkan diri kepada diri sendiri, bukan kepada orang tua.

Berkenaan dengan hal itu, luqman pernah berpesan kepada anaknya, sebagaiman disebutkan pada ayat 17.

“Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesunggunya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (Qs. Luqman : 17)

Lebih khusus lagi, apabila sang anak dibesarkan dalam lingkungan yang baik seperti yang disinggung dalam ayat awal ayat 17.

“Suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar.” (Qs. Luqman : 17)

Anak-anak harus banyak mendapatkan arahan berupa kesabaran karena sesungguhnya jalan yang ditempuh dalam berbuat kebajikan dan dakwah di jalan Allah tidak akan terlepas dari masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan.

Kelima, Menanamkan etika (Adab) dan perasaan

Allah Swt berfirman :

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Qs. Luqman : 18 – 19)

Ayat diatas berisi arahan agar bergaul dengan manusia dengan penuh etika (adab) dan perasaan (kelembutan). Bahkan lebih spesifik dalam soal berjalan dan berbicara. Janganlah seseorang mengangkat (memalingkan) mukanya dari manusia karena sombong. Janganlah ia berjalan dengan penuh rasa angkuh, namun hendaknya ia berlaku sederhana dalam hal itu. “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan”. Dan janganlah ia meninggikan suaranya di hadapan orang yang mendengar lawan bicaranya.

Keenam, Membatasi tujuan hidup dan merencanakan masa depan

Diantara keagungan surat ini adalah  bahwa ia juga mencakup makna pendidikan untuk menentukan tujuan hidup dan masa depan. “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan”. Ayat ini bisa jadi merupakan pelengkap bagi rangkaian perasaan dan akhlak (budi pekerti) yang menjadi pembicaraan surat ini.

Maknanya berarti, hendaknya anda berjalan di muka bumi dengan penuh kesederhanaan, tidak angkuh, atau tidak sombong. Makna lainnya adalah hendaknya anda membuat maksud dan tujuan setiap langkah yang anda lakukan. Janganlah anda hidup di dunia secara berlebihan, tanpa memiliki tujuan yang jelas.



Refernsi:
 - Katsir, Ibnu. al-Bidayah wan Nihayah
- "Menyelami Nasihat Lukman Al-Hakim", Hidayah, volume 8, edisi 87, November 2008,
 hlm. 162-165.

Kamis, 31 Agustus 2017

Syarat Talak


Para ulama membagi syarat sahnya talak menjadi tiga macam: (1) berkaitan dengan suami yang mentalak, (2) berkaitan dengan istri yang ditalak, dan (3) berkaitan dengan shighoh talak. Kesemua syarat ini tidak dibahas dalam satu tulisan. Kami akan berusaha secara perlahan sesuai dengan kelonggaran waktu kami. Untuk saat ini kita akan melihat manakah saja syarat yang berkaitan dengan suami yang akan mentalak.

Syarat Berkaitan dengan Orang yang akan Mentalak

Pertama: Yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah.

Syarat ini maksudnya adalah antara pasangan tersebut memiliki hubungan perkawinan yang sah. Seandainya tidak ada nikah, lalu dikatakan, “Saya mentalakmu”, seperti ini termasuk talak yang tidak sah. Atau belum menikah lalu mengatakan, “Jika menikahi si fulanah, saya akan mentalaknya”. Padahal ketika itu belum nikah, seperti ini adalah talak yang tidak sah.

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ نَذْرَ لاِبْنِ آدَمَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ عِتْقَ لَهُ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ طَلاَقَ لَهُ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ

“Tidak ada nadzar bagi anak Adam pada sesuatu yang bukan miliknya. Tidak ada membebaskan budak pada budak yang bukan miliknya. Tidak ada talak pada sesuatu yang bukan miliknya.”[1]

Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka ....” (QS. Al Ahzab: 49). Dalam ayat ini disebut kata talak setelah sebelumnya disebutkan nikah. Ini menunjukkan bahwa yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah melalui jalan pernikahan. Seandainya ada yang kumpul kebo (sebutan untuk sepasang pria wanita yang hidup bersama tanpa melalui jalur nikah), lalu si pria mengajukan cerai, seperti ini tidak jatuh talak sama sekali.

Kedua: Yang mengucapkan talak telah baligh.

Ini bisa saja terjadi pada pasangan yang menikah pada usia belum baligh.

Mayoritas ulama berpandangan bahwa jika anak kecil yang telah mumayyiz (bisa membedakan bahaya dan manfaat, baik dan jelek) atau belum mumayyiz menjatuhkan talak, talaknya dinilai tidak sah. Karena dalam talak sebenarnya murni bahaya, anak kecil tidaklah memiliki beban taklif (beban kewajiban syari’at).

Dalam hadits ‘Aisyah, Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَكْبَرَ

“Pena diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, orang yang hilang ingatan sampai kembali ingatannya dan anak kecil sampai ia dewasa.”[2]

Ulama Hambali berpandangan bahwa talak bagi anak kecil tetap sah. Mereka berdalil dengan hadits,

كُلُّ طَلاَقٍ جَائِزٌ إِلاَّ طَلاَقَ الْمَعْتُوهِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ

“Setiap talak itu boleh kecuali talak yang dilakukan oleh orang yang kurang akalnya.”[3] Namun hadits ini mauquf (hanya perkataan sahabat).

Pendapat mayoritas ulama (jumhur), itu yang lebih tepat. Wallahu a’lam.

Ketiga: Yang melakukan talak adalah berakal.

Dari sini, tidak sah talak yang dilakukan oleh orang gila atau orang yang kurang akal. Yang menjadi dalil adalah hadits ‘Aisyah yang disebutkan di atas. Talak yang tidak sah yang dimaksudkan di sini adalah yang dilakukan oleh orang yang gila atau orang yang kurang akal yang sifatnya permanen. Jika satu waktu hilang akal, waktu lain sadar. Jika ia mentalaknya dalam keadaan sadar, maka jatuh talak. Jika dalam keadaan tidak sadar, tidak jatuh talak.

Dalam pembahasan ini, para ulama biasa menyinggung bagaimanakah ucapan talak yang diucapkan oleh orang mabuk, orang dalam keadaan tidur, dan yang hilang kesadaran semacam itu. Insya Allah pembahasan tersebut akan kami kaji dalam serial berikutnya.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimuush sholihaat.





Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah, hal. 235-237.

[1] HR. Tirmidzi no. 1181 dan Ahmad 2/190. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits hasan shahih.

[2] HR. Abu Daud no. 4398, At Tirmidzi no. 1423, Ibnu Majah no. 2041. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[3] HR. Tirmidzi no. 1191. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if, namun shahih jika mauquf (perkataan sahabat).


Keempat: Memaksudkan untuk mengucapkan talak atas pilihan sendiri.

Yang dimaksudkan di sini adalah orang yang mengucapkan talak atas kehendak sendiri mengucapkannya tanpa ada paksaan, meskipun tidak ia niatkan.

Jika ada seorang guru mengucapkan talak dalam rangka mengajarkan murid-muridnya mengenai hukum talak, maka tidak jatuh talak. Karena guru tersebut tidak memaksudkan untuk mentalak istrinya, namun dalam rangka mengajar. Begitu pula jika ada seseorang mengucapkan lafazh talak dengan bahasa yang tidak ia pahami, maka sama halnya tidak jatuh talak. Ini disepakati oleh para ulama.

Ada beberapa masalah yang perlu kita tinjau dari orang yang mengucapkan talak berikut ini, apakah telah jatuh talak ataukah tidak.

1. Orang yang keliru

Orang yang keliru di sini bukanlah orang yang sedang bermain-main atau bergurau. Namun lisannya salah mengucap, sudah terlancur mengucapkan talak tanpa ia maksudkan. Seperti niatannya ingin berkata, “Anti thohir (kamu itu suci)”. Eh malah keliru ucap menjadi, “Anti tholiq (kamu ditalak)”. Menurut jumhur, seperti ini tidaklah jatuh talak. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah memaafkan dosa dari umatku ketika ia keliru, lupa dan dipaksa”.[1]

2. Orang yang dipaksa

Begitu pula orang yang dipaksa tidak jatuh talak. Demikian menurut pendapat mayoritas ulama. Dalilnya di antara adalah hadits yang telah disebutkan di atas. Dan juga hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَلاَقَ وَلاَ عَتَاقَ فِى غَلاَقٍ

“Tidak jatuh talak dan tidak pula dianggap merdeka dalam suatu pemaksaan”.[2]

Kapan seseorang disebut dipaksa? Kata Ibnu Qudamah, disebut dipaksa jika memenuhi tiga syarat:

a. Orang yang memaksa punya kekuatan atau bisa mengalahkan seperti pencuri dan semacamnya.

b. Yakin akan terkena ancaman jika melawan

c. Akan menimbalkan dhoror (bahaya) besar jika melawan seperti dibunuh, dipukul dengan pukulan yang keras, digantung, dipenjara dalam waktu lama. Adapun jika hanya dicela, maka itu bukan namanya dipaksa. Begitu pula jika hanya diambil harta yang jumlahnya sedikit, bukan pula disebut dipaksa.[3]

3. Orang yang sedang marah

Keadaan marah ada beberapa bentuk:

a. Marah dalam keadaan sadar, akal dan pikiran tidaklah berubah, masih normal. Ketika itu, masih dalam keadaan mengetahui maksud talak yang diutarakan. Marah seperti ini tidak diragukan lagi telah jatuh talak. Dan bentuk talak seperti inilah yang umumnya terjadi.

b. Marah sampai dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa atau hilang kesadaran dan tidak paham apa yang diucapkan atau yang dimaksudkan. Seperti ini tidak jatuh talak dan tidak ada perselisihan pendapat di dalamnya.

4. Orang yang safiih (idiot atau kurang akal)

Yang dimaksud adalah orang yang tidak bisa membelanjakan hartanya dengan benar. Menurut mayoritas ulama, talak dari orang yang safiih itu jatuh karena ia masih mukallaf (dibebani syari’at) dan punya kemampuan untuk mentalak.

5. Orang yang sakit menjelang kematian

Hal ini dilakukan suami di antaranya agar istri tidak mendapatkan waris. Menurut pendapat yang kuat, talaknya jatuh karena dilakukan atas kehendak dan pilihan suami. Dan jika talaknya jatuh, berarti istri tidak mendapatkan hak waris.

Namun jika ketika akan meninggal dunia, talak yang dilakukan masih talak rujuk (bukan talak ba-in), lalu istri atau suami yang meninggal dunia, maka masih mewarisi berdasarkan kesepakatan para ulama.


Referensi:

Al Mughni, ‘Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi, terbitan Darul Fikr, cetakan pertama, 1405 H.

Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Saalim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.

[1] HR. Ibnu Majah no. 2045. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[2] HR. Abu Daud no. 2193. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan

[3] Lihat Al Mughni, 8: 260.

Teruntuk Wahai Kau Wanitaku..(Wanita Adalah Aurat)


image search by google


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ ، وَإِنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ، وَإِنَّهَا لاَتَكُوْنُ أَقْرَبَ إِلَى اللهِ مِنْهَا فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا

Wanita itu aurat, jika ia keluar dari rumahnya maka setan mengikutinya. Dan tidaklah ia lebih dekat kepada Allâh (ketika shalat) melainkan di dalam rumahnya

TAKHRIJ HADITS:

Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh :
1. at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausâth, no. 2911 dari Shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma
2. at-Tirmidzi, no. 1173
3. Ibnu Khuzaimah, no. 1685, 1686
4. Ibnu Hibbân, no. 5559, 5570-at-Ta’lîqâtul Hisân), dari Shahabat Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu
5. at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausâth, no. 8092
Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, ”Hadits ini hasan shahîh gharib.” Dishahihkanoleh Imam al-Mundziri, beliau mengatakan, “Hadits ini diriwayatkan oleh at-Thabrani t dalam al-Mu’jamul Ausâth dan rawi-rawinya yang shahih.” Lihat Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb (I/260, no. 344). Dishahihkan juga oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2688) dan Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb (no. 344, 346).

SYARAH HADITS:

(اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ)maksudnya ialah aurat manusia. Setiap ia merasa malu darinya (jika terlihat-pent) maka disandarkan padanya wajib menutupinya.

إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

Yakni asal dari al-isyrâf adalah meletakkan telapak tangan di atas alis saat mengangkat kepala agar bisa melihat. Maksudnya yaitu setan mengangkat pandangannya kearah wanita untuk menyesatkannya dan menyesatkan orang lain dengannya, sehingga salah satunya atau kedua-keduanya terjatuh dalam fitnah. Bisa jadi yang dimaksud dengan kata setan di atas adalah setan dari jenis manusia, yaitu orang fasik. Karena jika orang fasik tersebut melihat wanita keluar dan menampakkan diri, maka ia langsung memandangnya lekat-lekat. Jadilah setan menyesatkan keduanya. Apabila wanita tetap berada di dalam rumahnya, maka setan tidak akan mampu untuk menyesatkannya dan menyesatkan manusia dengan (perantara)nya. Tetapi apabila wanita keluar dari rumahnya, maka setan akan sangat berambisi (untuk menyesatkannya dan menyesatkan orang lain dengannya), karena ia termasuk dari buhul-buhul (jerat-jerat dan perangkap) setan. Dan ini adalah anjuran kepada wanita agar ia tetap berada dalam rumahnya.[1]

KEWAJIBAN MENUTUP AURAT

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allâh, mudah-mudahan mereka ingat.” [al-A’râf/7:26]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat tersebut, “Kata al-libâs dalam ayat tersebut berarti penutup aurat, sedangkan kata ar-rîsy atau ar-riyâsy berarti sesuatu yang digunakan untuk menghias diri. Jadi, pakaian merupakan sesuatu yang bersifat primer (pokok), sedangkan perhiasan hanya sebagai pelengkap dan tambahan.”[2]

Dalam ayat ini diperintahkan laki-laki dan wanita untuk berpakaian menutup aurat mereka. Laki-laki batasan auratnya dari perut/pusar sampai dengan lutut, sedangkan wanita seluruh tubuhnya adalah aurat.

Dari Jarhad al-Aslami Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewatinya sedangkan dia dalam keadaan terbuka pahanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ

Sesungguhnya paha adalah aurat.[3]

Juga dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seseorang yang pahanya terlihat, maka beliau bersabda :

غَطِّ فَخِذَكَ، فَإِنَّ فَخِذَ الرَّجُلِ مِنَ عَوْرَتِهِ

Tutuplah pahamu, karena sesungguhnya paha laki-laki termasuk aurat.[4]

Diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلَا تَنْظُرُ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ

Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya, dan seorang wanita tidak boleh melihat aurat wanita lainnya[5]

Saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang aurat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

اِحْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجِكَ أَوْ مَامَلَكَتْ يَمِيْنُكَ، فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِذَا كَانَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ فِيْ بَعْضٍ؟ قَالَ: إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لاَ يَرَيَنَّهَا أَحَدٌ فَلاَ يَرَيَنَّهَا ، فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِذَا كَانَ أَحَدُنَا خَالِيًا؟ قَالَ: اَللهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنَ النَّاس

Jagalah auratmu kecuali dari isterimu atau budak wanita yang engkau miliki ! lalu beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika suatu kaum bercampur baur dengan yang lainnya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika engkau sanggup agar seseorang tidak melihatnya, maka janganlah ia melihatnya,” kemudian beliau ditanya, “Bagaimana jika seseorang telanjang dan tidak seorang pun melihatnya?” Beliau menjawab, “Allâh lebih berhak untuk engkau merasa malu dari-Nya daripada manusia.”[6]

Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ" (wanita adalah aurat), artinya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali anggota badan yang tidak diperkecualikan oleh syari’at. Wanita wajib menutup seluruh tubuhnya. Yang jadi masalah apakah muka wanita adalah aurat. Terjadi ikhtilaf di antara para ulama dalam masalah ini.

Sesungguhnya para Ulama telah bersepakat bahwa seorang wanita wajib menutupi seluruh tubuhnya, perbedaan yang mu’tabar (dianggap) hanya terjadi pada wajah dan kedua telapak tangan.

Sebagian Ulama berpendapat bahwa menutup wajah dan kedua telapak tangan hukumnya wajib. Mereka berhujjah dengan beberapa dalil, di antaranya adalah :

1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ

Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir! [al-Ahzâb/33:53]

Para Ulama yang berpendapat wajib menutup wajah berargumen, “Sesungguhnya dalil tersebut mencakup seluruh kaum wanita karena semuanya masuk ke dalam alasan diwajibkannya menggunakan penutup (hijab), yaitu kesucian hati.”

2. Firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allâh Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [al-Ahzâb/33:59]

Mereka menafsirkan kata yudnîna yang ada di dalam ayat dengan menutup seluruh wajah dan hanya menampakkan satu mata saja untuk melihat.

Sementara kelompok Ulama yang lain berpendapat boleh hukumnya membuka wajah dan telapak tangan bagi seorang wanita, dan sesungguhnya menutup keduanya hanya sekedar mustahab (sunnah). Mereka berhujjah dengan beberapa dalil, di antaranya :

1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

”...Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat...” [an-Nûr/24:31]

Mereka berkata “yang biasa nampak” maksudnya adalah wajah dan kedua telapak tangan.

2. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Asmâ’ binti Abu Bakar Radhiyallahu anhuma datang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memakai pakaian yang tipis, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya dengan bersabda:

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيْضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا، وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ.

Wahai Asma! Sesungguhnya jika seorang wanita telah mencapai haidh, maka tidak boleh dilihat darinya kecuali ini dan ini. Beliau mengisyaratkan wajah dan kedua telapak tangan.[7]

3. Hadits Jâbir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, tentang nasihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum wanita pada hari Raya. Di dalamnya diungkapkan, “ ... Lalu seorang wanita yang duduk di tengah-tengah (kaum wanita) yang kehitam-hitaman kedua pipinya berdiri dan berkata, ‘Kenapa Rasûlullâh?’[8]

Mereka berkata, ucapan Jabir “yang kehitam-hitaman di kedua pipinya” merupakan dalil bahwa ia membuka wajahnya sehingga terlihat kedua pipinya.

4.Hadits Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma tentang kisah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membonceng al-Fadhl bin ‘Abbâs ketika haji Wada’ dan seorang wanita yang meminta fatwa kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dalam kisaha itu disebutkan, “Lalu al-Fadhl bin Abbâs Radhiyallahu anhuma menatapnya, ia adalah seorang wanita yang cantik, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang dagu al-Fadhl Radhiyallahu anhu dan memalingkan wajahnya ke arah yang lain.”[9]

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Seandainya wajah itu adalah aurat maka wajib ditutupi, sementara beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkannya terbuka di hadapan orang-orang, dan niscaya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya agar mengulurkan kerudung dari atas kepala. Dan seandainya wajah si wanita itu tertutup, niscaya Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma tidak akan mengetahui apakah wanita itu cantik atau tidak.”[10]

5. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dahulu para wanita Mukminah hadir bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Fajar dengan pakaian wol yang menutupi semua badan mereka. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka ketika mereka selesai melaksanakan shalat, tidak ada seorang pun mengenali mereka karena gelapnya akhir malam.”[11]

Mereka berkata. “Yang terpahami dari hadits di atas adalah bahwa jika tidak ada kegelapan, niscaya mereka akan dikenal dan biasanya mereka bisa diketahui dari wajah yang terbuka.”[12]

Pendapat jumhur Ulama ini yang paling kuat bahwa wajah wanita bukan aurat. Apabila mereka memakai cadar itu lebih baik, tapi hukumnya adalah mustahabb (sunnah) bukan wajib. Dan hal ini sesuai dengan kemudahan syari’at Islam untuk seluruh wanita Islam di seluruh dunia.[13]

image search by google



MENGINGKARI WANITA YANG MENAMPAKKAN WAJAHNYA (TIDAK MENGENAKAN CADAR)

Imam Abu Abdillah bin Muflih al-Maqdisi yang terkenal dengan Ibnu Muflih rahimahullah (wafat th. 762 M), beliau berkata[14] , “Bolehkah mengingkari wanita yang menampakkan wajahnya di jalan-jalan ? Dengan dalih wajibkah bagi wanita menutup wajahnya, ataukah para laki-laki wajib menundukkan pandangan darinya ? Atau ada dua pendapat dalam masalah ini ?

عَنْ جَرِيْر بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفَجْأَةِ؟ فَقَالَ: اِصْرِفْ بَصَرَكَ

Dari Jarîr bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang melihat (wanita-pent) dengan tiba-tiba (tidak sengaja-pent), maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Palingkanlah pandangan-mu!’”[15]

al-Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullah berkata tentang hadits Jarîr Radhiyallahu anhu, para Ulama berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat hujjah bahwa tidak wajib bagi seorang wanita untuk menutupi wajahnya di jalan (ketika dia keluar rumah-pent), sesungguhnya itu hanyalah sunnah yang dianjurkan bagi wanita. Dan wajib bagi laki-laki untuk menundukkan pandangan darinya dalam berbagai keadaan, kecuali jika memiliki tujuan yang sah dan syar’i.”[16]

Imam asy-Syaukâni rahimahullah berkata, “Kesimpulannya, bahwa wanita boleh menampakkan tempat-tempat yang biasa dihias padanya jika memang diperlukan ketika menjalankan sesuatu, seperti jual beli dan persaksian. Maka itu menjadi pengecualian dari keumuman pelarangan tentang menampakkan anggota-anggota badan yang biasa dihiasi. Hal ini dikarenakan tidak adanya tafsir yang marfû’.”[17]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pembahasan hadits di atas :

...وَإِنَّهَا لاَتَكُوْنُ أَقْرَبَ إِلَى اللهِ مِنْهَا فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا.

...Dan tidaklah ia lebih dekat kepada Allâh (ketika shalat) melainkan (ketika shalat) di dalam rumahnya.”

Maksudnya bahwa wanita shalat di dalam rumahnya lebih baik daripada shalat di masjid. Karena di dalam rumahnya dia lebih dekat kepada Allâh dan akan terhindar dari fitnah. Ada beberapa hadits yang menganjurkan wanita shalat didalam rumahnya, di antaranya;

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ، وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

Janganlah kalian melarang kaum wanita yang hendak mendatangi masjid, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.[18]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَا اللهِ، وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ.

Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allâh yang perempuan mendatangi masjid Allâh. Hanya saja, hendaklah mereka keluar dalam keadaan tidak mengenakan parfum.[19]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu juga, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُوْرًا، فَلاَ تَشْهَدَنَّ مَعَنَا الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ.

Siapa saja wanita yang memakai wewangian maka ia tidak boleh shalat ‘Isya` bersama kami.[20]

Yang terbaik bagi kaum wanita adalah shalat di rumah mereka. Dasarnya adalah hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma di atas :

...وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ.

... dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka

Dari Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :

صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِىْ بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِىْ حُجْرَتِهَا، وَصَلاَتُهَا فِى مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِىبَيْتِهَا.

Shalat seorang wanita di dalam kamarnya lebih utama dari pada shalatnya di ruang tamunya. Dan shalatnya di ruang pribadinya[21] lebih baik dari pada shalatnya di rumahnya[22].

FAWA-ID

1. Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali yang dikecualikan oleh syari’at.
2. Wanita wajib menutup auratnya dengan sempurna.
3. Wanita bila akan keluar rumah, wajib memakai jilbab yang sempurna dan sesuai tuntunan syar’i.
4. Haram bagi wanita memakai pakaian yang ketat, tipis, dan tembus pandang karena dapat menggambarkan aurat dan menampakkan bentuk tubuh.
5. Busana muslimah dengan mode-mode yang ketat, tipis, tembus pandang, adalah busana yang tidak syar’i.
6. Wanita adalah fitnah yang sangat berbahaya bagi laki-laki.
7. Perangkap setan untuk merusak manusia adalah wanita, sebab dengan terbukanya aurat wanita, maka wanita dan laki-laki akan menjadi rusak.
8. Wanita dianjurkan untuk tetap tinggal di rumahnya berdasarkan ayat dalam al-Qur-an Surat al-Ahzâb ayat ke-33.
9. Bila wanita keluar dari rumahnya, maka dia menjadi perangkap setan.
10. Setan menghiasi wanita, baik bagian depan maupun bagian belakangnya
11. Wanita lebih dekat kepada Allâh Azza wa Jalla bila berada di dalam rumahnya.
12. Shalat wanita di dalam rumahnya lebih baik daripada di masjid.
13. Bila wanita ingin ke masjid, maka dia tidak boleh memakai parfum, bersolek, dan lainnya, namun rumah mereka lebih baik bagi mereka.

MARAAJI’

1. al-Qur’ûnul Karîm.
2. Tafsîr Ibnu Katsîr, cet. Daar Thaybah.
3. Kutubussittah.
4. al-Mu’jamul Ausâth, Imam ath-Thabrani.
5. Shahîh Ibni Khuzaimah.
6. Shahîh Ibni Hibbân (at-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibbân).
7. Syarhus Sunnah, Imam al-Baghawi.
8. Fat-hul Bâri, cet. Daarul Fikr.
9. al-Âdâb Asy-Syar’iyyah, karya Ibnu Muflih. Tahqiq: Syu’aib al-Arna-uth dan Umar al-Qayyam, Mu-assasah ar-Risalah
10. at-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ish Shaghîr, karya Imam as-Shan’ani. Tahqiq: DR. Muhammad Ishaq Muhammad Ibrahim.
11. Nailul Authâr, Imam asy-Syaukani.
12. Irwâ-ul Ghalîl
13. Jilbâbul Mar-atil Muslimah
14. ar-Raddul Mufhim ‘ala Man Khâlafal ‘Ulamaa` wa Tasyaddada wa Ta’ashshaba wa Alzama al Mar-ata an Tastura Wajhaha wa Kaffaiha wa Aujaba wa lam Yaqna’ Biqaulihim Innahu Sunnatun, Syaikh al-Albani, cet. Maktabah al-Islamiyyah.
15. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
16. Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb.
17. Fiqhus Sunnah lin Nisâ’.

[.]
________
Footnote
[1]. at-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ish Shaghîr (X/474), karya Imam as-Shan’ani. Tahqiq: DR. Muhammad Ishaq Muhammad Ibrahim.
[2]. Tafsîr Ibnu Katsiir (III/399-400), cet. Daar Thaybah.
[3]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 2795, 2797), Abu Dâwud (no. 4014), dan al-Bukhâri secara ta’lîq dalam Fat-hul Bâri (I/478-479). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ-ul Ghalîl (I/297-298).
[4]. Shahih: HR. Ahmad (I/275), at-Tirmidzi (no. 2796),dan al-Bukhari secara ta’liq dalam Fat-hul Bâri (I/478-479), cet. Daarul Fikr. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ-ul Ghalîl (I/297-298).
[5]. Shahih: HR. Muslim (no.338 [74]) dan at-Tirmidzi (no. 2793).
[6]. Hasan: HR. Abu Dawud (no. 4017), at-Tirmidzi (no. 2769, 2794), Ibnu Majah (no. 1920), Ahmad (V/3-4), dan lainnya.
[7]. Hasan lighairihi: HR. Abu Dawud (no. 4104). Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dengan beberapa syawâhid (penguat)nya. Lihat kitab Jilbâbul Mar-atil Muslimah (hlm. 57-60).
[8]. Shahih: HR. Muslim (no. 885), an-Nasa-i (I/233), dan Ahmad (III/318).
[9]. Shahih:HR. al-Bukhâri (no. 6228) dan Muslim (no. 1218).
[10]. Al-Muhalla (III/218.
[11]. Shahih:HR. al-Bukhâri (no. 578) dan Muslim (no. 645).
[12]. Fiqhus Sunnah lin Nisâ’ (hlm. 382-385), karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim.
[13]. Lihat masalah ini dalam kitab Jilbâbul Mar-atil Muslimah, al-Maktabah al-Islamiyyah, dan kitab ar-Raddul Mufhim cet. Maktabah al-Islamiyyah. Kedua kitab ini karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah .
[14]. al-Âdâb Asy-Syar’iyyah (I/296), karya Ibnu Muflih. Tahqiq: Syu’aib al-Arna-uth dan Umar al-Qayyam, Mu-assasah ar-Risalah.
[15]. Shahih: HR. Muslim (no. 2159), Abu Dâwud (no. 2148), at-Tirmidzi (no. 2776), dan Ibnu Hibbân (no. 5571).
[16]. Disebutkan oleh Syaikh Muhyiddin an-Nawawi dan beliau tidak menambahkannya. Lihat Syarh Shahîh Muslim (XIV/139).
[17]. Nailul Authâr (XII/56), Imam asy-Syaukani, tahqiq Muhammad Subhi bin Hasan Hallaq.
[18]. Shahih:HR. Abu Dawud (no. 567), Ahmad (II/76-77), Ibnu Khuzaimah (no. 1684), al-Baihaqi (III/131), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 864).
[19]. Shahih:HR. Abu Dawud (no. 565), Ahmad (II/438), al-Humaidi (no. 978), Ibnu Khuzaimah (no. 1679), dan lainnya. Lafazh ini milik Abu Dâwud. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ-ul Ghalîl (no. 515).
[20]. Shahih: HR. Muslim (no. 444), Abu Dâwud (no. 4175), dan an-Nasa-i (VIII/154).
[21]. Kata اَلْمَخْدَعُ (al-Makhda’) artinya ruang khusus yang terletak di bagian paling ujung (tersembunyi) di dalam rumahnya. (Faidhul Qadîr, VI/293, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah)
[22]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 570) dan Ibnu Khuzaimah (no. 1690).

Selasa, 22 November 2016

Imam Syafi’i Sang Jenius Legendaris

Beliau lahir tahun 150 H, yaitu pada tahun meninggalnya Imam Abu Hanifah rahimahullah. Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Saib … 
ilustrasi gambar by google

Beliau lahir tahun 150 H, yaitu pada tahun meninggalnya Imam Abu Hanifah rahimahullah. Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Saib bin Ubaid bin Abdul Yazid bin Hasyim bin Al-Mutholib bi Abdi Manaf bin Qushai Al-Quraisy Al-Mathlabi Asy-Syafi’i Al-Hijazi Al-Maliki.

Beliau mengembara mencari ilmu agama, nahwu, adab dan juga fiqih, membaca Al-Muwatho’ dihadapan Imam Malik, bahkan menghafal lancar hingga Imam Malik kagum akan bacaannya. Kecerdasan yang luar biasa, akhlak yang mulia dan berpegang teguh dengan Sunnah. Selain itu beliau sering berdiskusi dengan Muhammad bin Al-Hasan di Irak, menyebarkan hadits, menanamkan kaidah-kaidah mahzhab dalam menetapkan hukum dan menyebarkan Sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dan Imamnya ahli hadits zaman itu, Abdurrahman bin Mahdi meminta beliau menulis sebuah buku tentang Ushul Fiqih.



Diantara Perkataan Mulia Beliau

Beliau seorang yang fakir, sebagaimana perkataannya : “ Aku tidak memiliki harta dan sejak kecil telah menuntut ilmu ( pada waktu berumur dibawah 13 tahun ) dan aku pergi belajar  dengan meminta punggung kulit buku ( kulit buku yang telah dipakai) dan aku menulis pelajarannya di sisa kertas tersebut”.

Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan :

“Kebaikan dunia dan akhirat terdapat dalam 5 hal :

·         Jiwa yang senantiasa merasa cukup.
·         Menolak gangguan
·         Usaha yang halal
·         Taqwa
·         Selalu yakin terhadap Allah ‘Azza wa Jalla apapun yang terjadi ”.
Harmalah berkata, “Aku mendengar Asy Syafi’i berkata, ‘ Aku mendambakan semua ilmu diamalkan oleh orang sehingga aku mendapatkan pahala, namun mereka tidak pernah memujiku‘”.



Bukti Kecerdasan Asy-Syafi’i

Ada sebagian ulama Iraq ingin menguji kecerdasan beliau dalam menjawab teka-teki yang rumit.  Khalifah  Harun  Al-Rasyid yang sangat mengagumi kepandaian beliau juga hadir dalam majelis tersebut. Diantara teka-teki yang diajukan kepada beliau adalah :


 ·         Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang menyembelih kambing dirumahnya kemudian dia keluar untuk suatu keperluan, lalu dia kembali lagi, lantas dia berkata kepada keluarganya, “ Makanlah kambing ini!, sungguh kambing ini haram bagiku!”, keluarganyapun berkata, “Demikian juga haram bagi kami”?.


Jawaban Imam Syafi’i rahimahullah  :

“ Sesungguhnya laki-laki tersebut merupakan orang musyrik. Dia menyembelih kambing atas nama berhala, lalu dia keluar dari rumahnya untuk suatu keperluan dan ternyata Allah memberi hidayah kepadanya. Untuk memeluk agama Islam lalu dia masuk Islam, maka kambing tersebut haram baginya. Ketika para keluarganya tahu bahwa lelaki tersebut masuk Islam, maka merekapun ikut masuk Islam, maka kambing tersebut juga diharamkan atas mereka”.



·         Ada dua muslim yang sama-sama berakal minum arak. Salah satunya dikenai hukuman sedangkan yang lainnya tidak dikenai hukuman ?


Beliau menjawab : “Sebab salah satunya baligh, sedangkan lainnya masih kecil (belum baligh)”.


 ·         Ada lima orang melakukan zina terhadap seorang perempuan maka orang pertama harus dibunuh, orang ke dua dirajam, orang ketiga dikenai hukuman zina (non rajam,pent.), orang ke empat dikenai separoh dari hukuman zina dan orang kelima tidak dikenai sanksi apapun.


Jawab beliau : “ Orang pertama menganggap zina merupakan perbuatan yang halal sehingga dia murtad dan dia harus di bunuh. Orang kedua adalah muhshon ( orang yang pernah menikah, orang ketiga adalah ghoiru muhshon ( belum pernah menikah ) orang ke empat adalah budak. Sedangkan orang kelima adalah orang gila”.


 ·         Ada dua laki-laki diatas loteng rumah, salah satunya terjatuh dan mati. Anehnya istri lelaki satunya yang masih hidup menjadi haram baginya.


Imam Syafi’i pun menjawab:

“ Sesungguhnya lelaki yang terjatuh sampai mati menikahkan anak perempuannya kepada budaknya yang menemaninya di atas loteng. Ketika laki-laki tersebut meninggal dunia maka anak perempuannya memiliki budak yang merupakan suaminya sendiri, maka perempuan tersebut haram baginya”.

 Begitulah Imam Asy-Syafi’i, sosok cerdas, banyak ide, tajam pemahaman dan bagus daya tangkapnya.




Referensi :
·         Hiburan Orang-Orang Sholih ( terjemahan.), Muhammad Amin Al-Jundi, Pustaka Arofah, Solo, Cetakan ke- I 2011
·         Perjalanan ‘Ulama Menuntut Ilmu ( terjemahan ) Abu Annas Majid Al-Bantani , Darul Fallah, Bekasi, cet ke 4 2012

Minggu, 20 November 2016

Bolehkah Wanita Berenang Di Kolam Renang?



Hukum asal bagi seorang wanita berenang sendirian di kolam renang tanpa dilihat oleh orang lain adalah boleh. Akan tetapi, jika dia ingin berenang di pemandian umum, dia harus memperhatikan hal-hal berikut agar tidak terjatuh kepada perbuatan dosa



ilustrasi gambar by google

Terkadang wanita juga membutuhkan sesuatu yang bisa menyegarkan kembali dirinya dari kejenuhannya menjalankan aktivitas sehari-harinya, tidak hanya laki-laki yang bisa dengan mudah mencari aktivitas untuk menghibur dirinya. Cara yang ditempuh wanita pun bermacam-macam, ada yang suka berbelanja, ada yang suka pergi ke gunung, ada yang suka berenang dan ada yang suka melakukan aktivitas lainnya.

Mungkin sebagian pembaca pernah bertanya, apakah boleh seorang wanita pergi ke kolam renang untuk berenang di sana? Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang wanita untuk mandi di hammaam (tempat pemandian umum di zaman Rasulullah)?

Ya, benar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang wanita untuk mandi di tempat pemandian umum. Beliau bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُدْخِلْ حَلِيلَتَهُ الْحَمَّامَ

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah dia memasukkan istrinya ke dalan hammaam (tempat pemandian umum).”[1]

Begitu pula sabda beliau shallallahu ‘alahi wa sallam:

مَا مِنْ امْرَأَةٍ تَضَعُ ثِيَابَهَا فِي غَيْرِ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلَّا هَتَكَتْ السِّتْرَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ رَبِّهَا

“Wanita mana yang melepaskan pakaiannya di selain rumah suaminya, maka dia telah merusak hubungan antara dirinya dengan Allah.”[2]

Di zaman Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam belum dikenal kamar mandi khusus di rumah masing-masing orang. Sehingga sebagian orang lebih mengutamakan mandi di hammaam, karena di sana berdekatan dengan sumur dan mudah untuk mengambil air darinya. Tempat pemandian umum (hammaam) di zaman Nabi, tidak bercampur baur antara laki-laki dan wanita. Akan tetapi, memang masih memungkinkan untuk terlihatnya aurat satu dengan yang lain, sehingga dapat menimbulkan fitnah. Wanita memungkinkan untuk melihat aurat wanita lain, demikian juga dengan laki-laki. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.

Bagaimana dengan kolam renang?
Hukum asal bagi seorang wanita berenang sendirian di kolam renang tanpa dilihat oleh orang lain adalah boleh. Akan tetapi, jika dia ingin berenang di pemandian umum, dia harus memperhatikan hal-hal berikut agar tidak terjatuh kepada perbuatan dosa:

·         Wanita yang ingin berenang harus menutup auratnya dan berpakaian tidak ketat.
·         Wanita-wanita yang hadir di kolam renang tersebut juga harus menutup auratnya dan berpakaian tidak ketat, sehingga tidak saling memungkinkan untuk saling melihat antara satu dengan yang lainnya.
Karena Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam melarang seorang wanita melihat aurat wanita yang lain, beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ

“Janganlah seorang laki-laki melihat kepada aurat laki-laki lain dan janganlah seorang wanita melihat aurat wanita lain.”[3]

·         Tidak ada campur-baur antara laki-laki dan wanita di tempat tersebut.
·         Tempat tersebut aman dari pandangan lelaki. Laki-laki tidak bisa melihat ke dalamnya.
·         Mendapatkan izin dari suami apabila sudah menikah dan dari wali apabila belum menikah.
Meskipun keempat syarat di atas terpenuhi tetapi suami atau wali tidak mengizinkan, maka tidak boleh seorang wanita memaksakan dirinya untuk pergi ke sana, karena mematuhi suami atau wali hukumnya adalah wajib pada permasalahan-permasalahan yang mubah (boleh).

Jika telah terpenuhi syarat-syarat di atas, maka tidak mengapa seorang wanita berenang. Jika tidak terpenuhi maka seorang wanita jangan memaksakan dirinya untuk pergi ke kolam renang.

Untuk saat ini sangat jarang ditemukan kolam renang yang memenuhi kriteria-kriteria di atas. Oleh karena itu, sebagai bentuk ke-wara’-an atau kehati-hatian maka sebaiknya seorang wanita tidak berenang di kolam renang, kecuali di kolam renang pribadi. Ini lebih baik baginya dan lebih menjaga kesucian dirinya.

Adapun hadits kedua yang disebutkan di atas, maka diterapkan pada kolam renang yang tidak memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan. Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi, maka tidak ada bedanya dengan hukum berkumpulnya wanita dengan wanita lainnya di suatu tempat. Allahu a’lam.

Dan saya juga menyarankan kepada orang-orang yang ingin membangun kolam renang dan disewakan kepada orang lain agar memperhatikan hal-hal berikut:

·         Kolam renang harus benar-benar tertutup sehingga tidak bisa terlihat dari luar.
·         Kolam renang laki-laki khusus untuk laki-laki dan kolam renang wanita khusus wanita.
·         Menyediakan pakaian khusus untuk berenang dan tidak membolehkan orang berenang kecuali dengan pakaian tersebut, jika pakaian yang dipakai oleh orang tersebut belum memenuhi syarat yang telah ditetapkan syariat.
·         Menyediakan ruang ganti baju yang tertutup.


Referensi :  Maraji’ dari berbagai sumber.

Catatan kaki
[1] HR At-Tirmidi no. 2801
[2] HR Abu Dawud no. 4012 dan At-Tirmidzi no. 2803
[3] HR Muslim no. 338.

Jilbab Wanita Muslimah, Bukan Untuk Berhias

maksud perintah mengenakan jilbab adalah perintah untuk menutup perhiasan wanita. Dengan demikian, tidaklah masuk akal bila jilbab yang berfungsi untuk menutup perhiasan wanita itu malah menjadi pakaian untuk berhias, sebagaimana sering kita temukan


ilustrasi gambar by google

 وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ

“Janganlah mereka menampakan perhiasan mereka.”

Secara umum ayat ini mengandung larangan menghiasi pakaian yang dipakainya sehingga menarik perhatian laki-laki. Ayat ini juga dikuatkan oleh firman Allah yang tersebut di dalam surat Al-Ahzab ayat 33:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ

“Dan hendaklah kalian tetap tinggal di rumah! Juga, janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dulu!”

Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ثلاثة لا تسأل عنهم : رجل فارق الجماعة وعصى إمامه ومات عاصيا وأمة أو عبد أبق فمات وامرأة غاب عنها زوجها قد كفاها مؤنة الدنيا فتبرجت بعده فلا تسأل عنهم

“Ada tiga golongan manusia yang tidak ditanya, (karena mereka sudah pasti termasuk orang-orang yang celaka): pertama, seorang laki-laki yang meninggalkan jama’ah dan mendurhakai imamnya serta meninggal dalam kedurhakaan itu; kedua, seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri meninggalkan pemiliknya, lalu dia mati; ketiga, wanita yang ditinggal pergi oleh suaminya, dimana suaminya itu telah mencukupi kebutuhan duniawinya, namun (ketika suaminya tidak ada itu) dia bertabarruj. Ketiga orang itu tidak akan ditanya.”

Tabarruj adalah perbuatan wanita menampakkan perhiasan dan kecantikannya, serta segala sesuatu yang seharusnya ditutup dan disembunyikan karena bisa membangkitkan syahwat laki-laki.

Jadi, maksud perintah mengenakan jilbab adalah perintah untuk menutup perhiasan wanita. Dengan demikian, tidaklah masuk akal bila jilbab yang berfungsi untuk menutup perhiasan wanita itu malah menjadi pakaian untuk berhias, sebagaimana sering kita temukan.

Berkaitan dengan hal ini, Imam Adz-Dzahabi di dalam kitab Al-Kabair hlm. 131 berkata: “Di antara perbuatan yang menyebabkan wanita akan mendapatkan laknat adalah: menampakkan perhiasan emas dan mutiara yang berada dibalik niqab (tutup kepalanya)nya, memakai berbagai wangi-wangian, seperti misik, anbar dan thib ketika keluar  rumah, memakai berbagai kain yang dicelup, memakai pakaian sutera, memanjangkan baju dan melebarkan serta memanjangkan lengannya. Semua itu termasuk bentuk tabarruj yang dibenci Allah, yang pelakunya akan mendapatkan murka Allah di dunia dan di akhirat. Karena perbuatan-perbuatan tersebut banyak dilakukan oleh kaum wanita, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mereka:

اطَّلَعْتُ فِى الْجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الْفُقَرَاءَ وَاطَّلَعْتُ فِى النَّارِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاء

“Saya pernah menengok ke neraka, dan ternyata kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita.”

Hadits ini adalah hadits shahih, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim dan lainnya dari Imran bin Hushain dan lainnya.

Ahmad dan lainnya dari Ibnu Amru secara marfu’ menambahkan:”…. Dan orang-orang kaya.” Namun tambahan di atas munkar (tertolak), sebagaimana telah saya tahqiq di dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (hadits no.2800) jilid VI.

Saya katakan: Begitu kerasnya Islam melarang perbuatan tabarruj sehingga disetarakan dengan perbuatan syirik, zina, mencuri dan perbuatan-perbuatan haram lainnya. Hal itu karena ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at para wanita beliau menegaskan agar mereka tidak melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.

Abdullah bin Amru pernah mengisahkan: “Umaimah bintu Ruqaiqah pernah datang berbai’at kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Saya membai’at kamu untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anakmu, tidak membuat-buat kedustaan yang dibuat dengan kedua tangan dan kedua kakimu, tidak meratap, dan tidak ber-tabarruj seperti dilakukan wanita-wanita jahiliyah dulu.”

Namun perlu diketahui, bahwa sama sekali bukanlah termasuk kategori perhiasan jika pakaian yang dipakai oleh seorang wanita itu tidak berwarna putih dan hitam. Ini perlu saya tegaskan, karena hal ini terkadang disalahpahami oleh sebagian kaum wanita yang ingin berkomitmen (dengan agamanya). Alasannya adalah:

Pertama, adanya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

طِيبُ النِّسَاءِ مَا ظَهَرَ لَوْنُهُ وَخَفِيَ رِيحُهُ

“Parfum wanita adalah yang tampak warnanya namun tersembunyi baunya” (Hadits ini tersebut di dalam kitab Mukhtashar Asy-Syamail, hadits no. 188)

Kedua, adanya praktek para wanita sahabat yang memakai pakaian yang berwarna selain hitam dan putih. Berikut ini saya kemukakan beberapa riwayat yang menunjukkan hal itu yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab Al-Mushannaf (VIII: 371-372):

·         Dari Ibrahim, yaitu Ibrahim An-Nakha’i, bahwa pernah dia bersama Al-Qamah dan Al-Aswad mengunjungi para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia melihat mereka mengenakan pakaian-pakaian panjang berwarna merah.
·         Dari Ibnu Abi Mulaikah, dia berkata, “Saya pernah melihat Ummu Salamah mengenakan baju dan pakaian panjang berwarna kuning.”
·         Dari Al-Qasim, yaitu Ibnu Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shiddiq, bahwa Aisyah pernah mengenakan pakaian yang berwarna kuning, padahal dia sedang melakukan ihram.
·         Dari Hisyam, dari Fathimah bintu Al-Mundzir, bahwa Asma’ pernah memakai pakaian yang berwarna kuning padahal dia sedang ihram.
·         Dari Sa’id bin Jubair bahwa dia pernah melihat sebagian dari istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam thawaf mengelilingi ka’bah dengan mengenakan pakaian berwarna kuning.

Refrensi:
“Jilbab Wanita Muslimah” (edisi terjemah), Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

AlMarfu’ menurut bahasa merupakan  isim maf’ul  dari kata  rafa’a  (mengangkat), dan ia sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia kepada yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Hadits Marfu’ menurut istilah adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum (disebut marfu’ = marfu’ hukman), baik yang menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus).
Dari definisi di atas, jelaslah bahwa hadits marfu’ ada 8 macam, yaitu : berupa perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat. Masing-masing dari yang empat macam ini mempunyai bagian lagi, yaitu : marfu’ secara tashrih (tegas dan jelas), dan marfu’ secara hukum.
Marfu’ secara hukum maksudnya adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan marfu’, namun dihukumkan marfu’ karena bersandar pada beberapa indikasi.

Tahqiq berbeda dengan Takhrij. Takhrij adalah menunjukkan atau menisbatkan hadits kepada sumber-sumbernya yang asli, yang mengeluarkannya dengan sanadnya. Sedangkan Tahqiq adalah semakna dengan Tadqiq (pemeriksaan secara seksama dan detil) di mana sebagian ulama menghampiri sebuah Makhthuth (Manu script) dari kitab-kitab karangan ulama ingin mencetaknya, akan tetapi cetakan ini perlu adanya naskah dengan tulisan yang baik, maka sang Muhaqqiq (orang yang melakukan Tahqiq) mengajukannya untuk dicetak, lalu mengevaluasi cetakan itu dan meneliti harakat naskahnya. Bila terdapat kata-kata yang perlu untuk dijelaskan, maka ia harus menjelaskannya dan bila terdapat kata-kata yang salah tulis oleh nasikh (pemindah tulisan asli), maka ia harus membetulkannya, lalu menyiratkan kepada upaya yang dilakukannya dalam tahqiq dan pembetulan ini.
Mengeluarkan nash secara benar dan tanpa cacat dengan Tadqiq dan pembetulan ini dinamakan Tahqiq. Mudah-mudahan dengan ini perbedaan antara takhrij dan tahqiq menjadi jelas.