maksud perintah mengenakan jilbab adalah perintah untuk menutup perhiasan wanita. Dengan demikian, tidaklah masuk akal bila jilbab yang berfungsi untuk menutup perhiasan wanita itu malah menjadi pakaian untuk berhias, sebagaimana sering kita temukan
ilustrasi gambar by google |
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ
“Janganlah mereka menampakan perhiasan mereka.”
Secara umum ayat ini mengandung larangan menghiasi pakaian yang
dipakainya sehingga menarik perhatian laki-laki. Ayat ini juga dikuatkan oleh
firman Allah yang tersebut di dalam surat Al-Ahzab ayat 33:
وَقَرْنَ فِي
بُيُوتِكُنَّ
وَلَا
تَبَرَّجْنَ
تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ
الْأُولَىٰ
“Dan hendaklah kalian tetap tinggal di rumah! Juga, janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dulu!”
Juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ثلاثة لا تسأل
عنهم
: رجل
فارق
الجماعة
وعصى
إمامه
ومات
عاصيا
وأمة
أو
عبد
أبق
فمات
وامرأة
غاب
عنها
زوجها
قد
كفاها
مؤنة
الدنيا
فتبرجت
بعده
فلا
تسأل
عنهم
“Ada tiga golongan
manusia yang tidak ditanya, (karena mereka sudah pasti termasuk orang-orang
yang celaka): pertama, seorang
laki-laki yang meninggalkan jama’ah dan mendurhakai imamnya serta meninggal
dalam kedurhakaan itu; kedua,
seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri meninggalkan
pemiliknya, lalu dia mati; ketiga, wanita yang ditinggal pergi oleh suaminya,
dimana suaminya itu telah mencukupi kebutuhan duniawinya, namun (ketika
suaminya tidak ada itu) dia bertabarruj. Ketiga
orang itu tidak akan ditanya.”
Tabarruj adalah perbuatan wanita menampakkan perhiasan dan
kecantikannya, serta segala sesuatu yang seharusnya ditutup dan disembunyikan
karena bisa membangkitkan syahwat laki-laki.
Jadi, maksud perintah mengenakan jilbab adalah perintah untuk menutup
perhiasan wanita. Dengan demikian, tidaklah masuk akal bila jilbab yang
berfungsi untuk menutup perhiasan wanita itu malah menjadi pakaian untuk
berhias, sebagaimana sering kita temukan.
Berkaitan dengan hal ini, Imam Adz-Dzahabi di dalam kitab Al-Kabair hlm. 131 berkata: “Di antara
perbuatan yang menyebabkan wanita akan mendapatkan laknat adalah: menampakkan
perhiasan emas dan mutiara yang berada dibalik niqab (tutup kepalanya)nya,
memakai berbagai wangi-wangian, seperti misik, anbar dan thib ketika keluar
rumah, memakai berbagai kain yang dicelup, memakai pakaian sutera,
memanjangkan baju dan melebarkan serta memanjangkan lengannya. Semua itu
termasuk bentuk tabarruj yang dibenci
Allah, yang pelakunya akan mendapatkan murka Allah di dunia dan di akhirat.
Karena perbuatan-perbuatan tersebut banyak dilakukan oleh kaum wanita, maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda tentang mereka:
اطَّلَعْتُ فِى
الْجَنَّةِ
فَرَأَيْتُ
أَكْثَرَ
أَهْلِهَا
الْفُقَرَاءَ
وَاطَّلَعْتُ
فِى
النَّارِ
فَرَأَيْتُ
أَكْثَرَ
أَهْلِهَا
النِّسَاء
“Saya pernah menengok ke neraka, dan ternyata kebanyakan penghuninya
adalah kaum wanita.”
Hadits ini adalah hadits shahih, yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhari, Muslim dan lainnya dari Imran bin Hushain dan lainnya.
Ahmad dan lainnya dari Ibnu Amru secara marfu’ menambahkan:”….
Dan orang-orang kaya.” Namun tambahan di atas munkar (tertolak), sebagaimana
telah saya tahqiq di dalam kitab Silsilah
Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (hadits no.2800) jilid VI.
Saya katakan: Begitu kerasnya Islam melarang perbuatan tabarruj
sehingga disetarakan dengan perbuatan syirik, zina, mencuri dan
perbuatan-perbuatan haram lainnya. Hal itu karena ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at
para wanita beliau menegaskan agar mereka tidak melakukan perbuatan-perbuatan
tersebut.
Abdullah bin Amru pernah mengisahkan: “Umaimah bintu
Ruqaiqah pernah datang berbai’at kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Saya membai’at kamu untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun,
tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anakmu, tidak membuat-buat
kedustaan yang dibuat dengan kedua tangan dan kedua kakimu, tidak meratap, dan
tidak ber-tabarruj seperti dilakukan wanita-wanita jahiliyah dulu.”
Namun perlu diketahui, bahwa sama sekali bukanlah termasuk
kategori perhiasan jika pakaian yang dipakai oleh seorang wanita itu tidak
berwarna putih dan hitam. Ini perlu saya tegaskan, karena hal ini terkadang
disalahpahami oleh sebagian kaum wanita yang ingin berkomitmen (dengan
agamanya). Alasannya adalah:
Pertama, adanya
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
طِيبُ النِّسَاءِ مَا
ظَهَرَ
لَوْنُهُ
وَخَفِيَ
رِيحُهُ
“Parfum wanita adalah yang tampak warnanya namun tersembunyi baunya”
(Hadits ini tersebut di dalam kitab Mukhtashar Asy-Syamail, hadits no. 188)
Kedua, adanya
praktek para wanita sahabat yang memakai pakaian yang berwarna selain hitam dan
putih. Berikut ini saya kemukakan beberapa riwayat yang menunjukkan hal itu
yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab Al-Mushannaf
(VIII: 371-372):
·
Dari Ibrahim, yaitu Ibrahim An-Nakha’i, bahwa
pernah dia bersama Al-Qamah dan Al-Aswad mengunjungi para istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia melihat mereka mengenakan pakaian-pakaian
panjang berwarna merah.
·
Dari Ibnu Abi Mulaikah, dia berkata, “Saya
pernah melihat Ummu Salamah mengenakan baju dan pakaian panjang berwarna kuning.”
·
Dari Al-Qasim, yaitu Ibnu Muhammad bin Abu Bakar
Ash-Shiddiq, bahwa Aisyah pernah mengenakan pakaian yang berwarna kuning, padahal dia sedang melakukan
ihram.
·
Dari Hisyam, dari Fathimah bintu Al-Mundzir,
bahwa Asma’ pernah memakai pakaian yang berwarna kuning padahal dia sedang ihram.
·
Dari Sa’id bin Jubair bahwa dia pernah melihat
sebagian dari istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam thawaf
mengelilingi ka’bah dengan mengenakan pakaian berwarna kuning.
Refrensi:
“Jilbab
Wanita Muslimah” (edisi terjemah), Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
AlMarfu’ menurut bahasa
merupakan isim maf’ul dari kata
rafa’a (mengangkat), dan ia
sendiri berarti “yang diangkat”. Dinamakan marfu’ karena disandarkannya ia
kepada yang memiliki kedudukan tinggi, yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam.
Hadits Marfu’ menurut
istilah adalah “sabda, atau perbuatan, atau taqrir (penetapan), atau sifat yang
disandarkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik yang bersifat jelas
ataupun secara hukum (disebut marfu’ = marfu’ hukman), baik yang
menyandarkannya itu shahabat atau bukan, baik sanadnya muttashil (bersambung)
atau munqathi’ (terputus).
Dari definisi di atas,
jelaslah bahwa hadits marfu’ ada 8 macam, yaitu : berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, dan sifat. Masing-masing dari yang empat macam ini mempunyai bagian
lagi, yaitu : marfu’ secara tashrih (tegas dan jelas), dan marfu’ secara hukum.
Marfu’ secara hukum
maksudnya adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan marfu’, namun
dihukumkan marfu’ karena bersandar pada beberapa indikasi.
Tahqiq berbeda dengan Takhrij. Takhrij adalah menunjukkan
atau menisbatkan hadits kepada sumber-sumbernya yang asli, yang mengeluarkannya
dengan sanadnya. Sedangkan Tahqiq adalah semakna dengan Tadqiq (pemeriksaan
secara seksama dan detil) di mana sebagian ulama menghampiri sebuah Makhthuth
(Manu script) dari kitab-kitab karangan ulama ingin mencetaknya, akan tetapi
cetakan ini perlu adanya naskah dengan tulisan yang baik, maka sang Muhaqqiq
(orang yang melakukan Tahqiq) mengajukannya untuk dicetak, lalu mengevaluasi
cetakan itu dan meneliti harakat naskahnya. Bila terdapat kata-kata yang perlu
untuk dijelaskan, maka ia harus menjelaskannya dan bila terdapat kata-kata yang
salah tulis oleh nasikh (pemindah tulisan asli), maka ia harus membetulkannya,
lalu menyiratkan kepada upaya yang dilakukannya dalam tahqiq dan pembetulan
ini.
Mengeluarkan nash secara benar dan tanpa cacat dengan Tadqiq
dan pembetulan ini dinamakan Tahqiq. Mudah-mudahan dengan ini perbedaan antara
takhrij dan tahqiq menjadi jelas.
0 komentar:
Posting Komentar