Bercerai? Siapa yang mau? Pastinya yang menikah tidak pernah
– dan tidak akan mau – bercerai. Karena begitu ijab kabul yang terucap, Anda
pastinya menginginkan pernikahan yang langgeng. Sakinah, mawadah wa rahmah.
Namun siapa sangka kalau angka perceraian di tanah air
belakangan justru semakin tinggi. Sepanjang 2014 kasus cerai gugat di seluruh
Pengadilan Agama ada 268.381 kasus. Yang mencemaskan perceraian hari ini banyak
diinisiasi kaum perempuan, alias banyak para istri yang mengajukan gugat cerai.
Prosentasinya mencapai hingga 75 persen.
“Sekarang ada kecenderungan perempuan lebih berani untuk
mengambil keputusan cerai,” kata Prof. DR. Nasarudin Umar, Imam Besar Mesjid
Istiqlal, kala menjabat Dirjen Bimas Kemenag saat itu.
Para istri yang menggugat cerai suaminya itu menurut laporan
pihak Kementerian Agama banyak dilatarbelakangi alasan tidak harmonis.
Pertanyaannya adalah apakah boleh semata alasan tidak
harmonis lalu kemudian kaum perempuan mengajukan gugat cerai? Semudah itukah?
Saya ingin mengajukan pertanyaan simpel kepada anda, akhwat
fillah, soal tujuan dan cara pernikahan;
Bukankah pernikahan itu bertujuan menyatukan dua pribadi
yang berbeda sehingga tercipta keharmonisan?
Bukankah salah satu cara – dan harus sering kita gunakan –
agar tercipta keharmonisan adalah bisa menerima kekurangan pasangan kita? Bukan
sekedar mengharapkan kelebihan dan kesalehannya?
Bukankah kita pun harus belajar mengalah untuk tercipta
keharmonisan? Karena pernikahan yang harmonis bukanlah pernikahan yang berarti
suami dan istri selalu senada dan seirama. Bukan keseragaman warna yang membuat
pelangi itu menjadi indah, tapi keberagamanlah yang membuat pelangi
menjadikannya indah.
Saya tidak menafikan bahwa kadangkala suami bertingkah
menyebalkan. Tapi bukankah itu bagian dari kehidupan yang harus kita jalani?
Siapa sih yang dalam hidupnya tidak pernah bertingkah menyebalkan, seorang
wanita pun bisa dipandang menyebalkan oleh suaminya.
Berikutnya yang saya dapat dari data Kementerian Agama,
banyak gugat cerai dilayangkan oleh para istri yang bekerja dan punya
penghasilan mapan. Artinya, ada faktor (maaf) ego yang tumbuh dalam pribadi
para wanita manakala mereka merasa punya keamanan finansial tanpa topangan
suami.
Karenanya ketika para wanita ini merasa suami bertingkah
menyebalkan – dan penilaian ini bisa amat subyektif – lalu para istri merasa
pernikahan tidak lagi harmonis, mereka pun ambil keputusan gugat cerai. Toh,
saya – pikir istri – bisa hidup tanpa bertumpu pada suami. Saya punya
pekerjaan, saya punya penghasilan, saya bisa hidup mandiri.
Saya tidak menafikan bahwa ada suami yang bertindak
keterlaluan, seperti berselingkuh, atau bertindak kasar pada istri dan
anak-anak. Untuk alasan itu maka gugat cerai bisa dibenarkan dalam pandangan
syariat Islam.
Tapi bila semata karena ‘tidak harmonis’, karena
masing-masing mempertahankan ego untuk sesuatu yang sebenarnya bisa ditawar dan
dinegosiasikan, apakah harus akhwat fillah mengajukan gugat cerai?
Bukankah ada rules dalam pernikahan yang harus disepakati
bersama? Dimana aturan itu datang dari Allah SWT.? Dan Allah adalah Zat yang
Maha Bijaksana (al-Hakim).
Pernahkan ukhti fillah membaca hadits shahih yang menegur
para wanita yang berani menggugat cerai suami mereka tanpa alasan yang haq?
أيُّما
امرأةٍ سأَلتْ زوجَها طلاقَها
مِن غيرِ بأسٍ فحرامٌ
عليها رائحةُ الجنَّةِ
Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa
alasan yang dibenarkan syariat, maka haram baginya wangi surga. (HR. Tirmidzi,
Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan lainnya. shahih).
Penulis Nayl al-Awthar Imam asy-Syawkani memberikan
komentar: Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa permintaan talak (gugat
cerai) seorang istri kepada suaminya adalah diharamkan dengan pengharaman yang
keras. Sudikah ukhti diharamkan mencium wanginya surga karena mengajukan gugat
cerai pada suami?
Rasulullah SAW. juga mengingatkan para wanita yang
mengajukan khulu’ (gugat cerai dengan kompensasi pengembalian mahar), dengan
peringatan yang keras. Sabdanya:
الْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
“Para istri yang minta khulu’ adalah wanita-wanita munafik.”
[Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi (no. 1186) dan Abu Dawud (no. 9094), dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Lihat Silsilah Ash-Shahiihah (no. 632) dan Shahih
Jaami’ush Shaghiir (no. 6681)].
Camkanlah dua hadits di atas. Maukah kita menukarkan jannah
Allah hanya untuk membela ego kita, tak mau merendahkan hati dan taat di
hadapan suami? Sementara Rasulullah SAW. begitu keras memberikan peringatan
kepada para wanita yang mengajukan gugat cerai yang tanpa dilandasi alasan yang
haq.
Allah memang menghalalkan perceraian. Tapi bila ukhti
menggugat cerai suami karena alasan ‘tidak harmonis’ seperti suami tidak
romantis, kurang pengertian pada istri, apalagi ketika suami ditimpa musibah
kesulitan nafkah keluarga, lalu istri mengajukan gugat cerai. Hanya sebatas
itukah daya tahan ukhti menjalani pernikahan? Karena sampai ke ujung dunia
sekalipun tak akan ada suami yang sempurna. Selalu ada plus minus dalam diri
seorang pria.
Lalu bila karena alasan seperti itu, dimanakah yang namanya
cinta? Bukankah cinta itu berarti menuntut meletakkan kebahagiaan orang lain
(suami dan anak-anak) di atas kebahagiaan kita?
Mengapa tidak belajar untuk mencintai karena Allah, tulus
dan murni, dan malah justru belajar menggugat cerai suami? Duh.
(Buku : Bukan Pernikahan Cinderella : Ustadz Iwan Januar)
0 komentar:
Posting Komentar