Minggu, 02 Oktober 2016

Ukhti,Mengapa Gugat Cerai?

Bercerai? Siapa yang mau? Pastinya yang menikah tidak pernah – dan tidak akan mau – bercerai. Karena begitu ijab kabul yang terucap, Anda pastinya menginginkan pernikahan yang langgeng. Sakinah, mawadah wa rahmah.

Namun siapa sangka kalau angka perceraian di tanah air belakangan justru semakin tinggi. Sepanjang 2014 kasus cerai gugat di seluruh Pengadilan Agama ada 268.381 kasus. Yang mencemaskan perceraian hari ini banyak diinisiasi kaum perempuan, alias banyak para istri yang mengajukan gugat cerai. Prosentasinya mencapai hingga 75 persen.

“Sekarang ada kecenderungan perempuan lebih berani untuk mengambil keputusan cerai,” kata Prof. DR. Nasarudin Umar, Imam Besar Mesjid Istiqlal, kala menjabat Dirjen Bimas Kemenag saat itu.

Para istri yang menggugat cerai suaminya itu menurut laporan pihak Kementerian Agama banyak dilatarbelakangi alasan tidak harmonis.

Pertanyaannya adalah apakah boleh semata alasan tidak harmonis lalu kemudian kaum perempuan mengajukan gugat cerai? Semudah itukah?

Saya ingin mengajukan pertanyaan simpel kepada anda, akhwat fillah, soal tujuan dan cara pernikahan;

Bukankah pernikahan itu bertujuan menyatukan dua pribadi yang berbeda sehingga tercipta keharmonisan?
Bukankah salah satu cara – dan harus sering kita gunakan – agar tercipta keharmonisan adalah bisa menerima kekurangan pasangan kita? Bukan sekedar mengharapkan kelebihan dan kesalehannya?
Bukankah kita pun harus belajar mengalah untuk tercipta keharmonisan? Karena pernikahan yang harmonis bukanlah pernikahan yang berarti suami dan istri selalu senada dan seirama. Bukan keseragaman warna yang membuat pelangi itu menjadi indah, tapi keberagamanlah yang membuat pelangi menjadikannya indah.
Saya tidak menafikan bahwa kadangkala suami bertingkah menyebalkan. Tapi bukankah itu bagian dari kehidupan yang harus kita jalani? Siapa sih yang dalam hidupnya tidak pernah bertingkah menyebalkan, seorang wanita pun bisa dipandang menyebalkan oleh suaminya.

Berikutnya yang saya dapat dari data Kementerian Agama, banyak gugat cerai dilayangkan oleh para istri yang bekerja dan punya penghasilan mapan. Artinya, ada faktor (maaf) ego yang tumbuh dalam pribadi para wanita manakala mereka merasa punya keamanan finansial tanpa topangan suami.

Karenanya ketika para wanita ini merasa suami bertingkah menyebalkan – dan penilaian ini bisa amat subyektif – lalu para istri merasa pernikahan tidak lagi harmonis, mereka pun ambil keputusan gugat cerai. Toh, saya – pikir istri – bisa hidup tanpa bertumpu pada suami. Saya punya pekerjaan, saya punya penghasilan, saya bisa hidup mandiri.

Saya tidak menafikan bahwa ada suami yang bertindak keterlaluan, seperti berselingkuh, atau bertindak kasar pada istri dan anak-anak. Untuk alasan itu maka gugat cerai bisa dibenarkan dalam pandangan syariat Islam.

Tapi bila semata karena ‘tidak harmonis’, karena masing-masing mempertahankan ego untuk sesuatu yang sebenarnya bisa ditawar dan dinegosiasikan, apakah harus akhwat fillah mengajukan gugat cerai?

Bukankah ada rules dalam pernikahan yang harus disepakati bersama? Dimana aturan itu datang dari Allah SWT.? Dan Allah adalah Zat yang Maha Bijaksana (al-Hakim).

Pernahkan ukhti fillah membaca hadits shahih yang menegur para wanita yang berani menggugat cerai suami mereka tanpa alasan yang haq?

 أيُّما امرأةٍ سأَلتْ زوجَها طلاقَها مِن غيرِ بأسٍ فحرامٌ عليها رائحةُ الجنَّةِ


 Wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan syariat, maka haram baginya wangi surga. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan lainnya. shahih). 


Penulis Nayl al-Awthar Imam asy-Syawkani memberikan komentar: Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwa permintaan talak (gugat cerai) seorang istri kepada suaminya adalah diharamkan dengan pengharaman yang keras. Sudikah ukhti diharamkan mencium wanginya surga karena mengajukan gugat cerai pada suami?

Rasulullah SAW. juga mengingatkan para wanita yang mengajukan khulu’ (gugat cerai dengan kompensasi pengembalian mahar), dengan peringatan yang keras. Sabdanya:

الْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ


 “Para istri yang minta khulu’ adalah wanita-wanita munafik.” [Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi (no. 1186) dan Abu Dawud (no. 9094), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Lihat Silsilah Ash-Shahiihah (no. 632) dan Shahih Jaami’ush Shaghiir (no. 6681)].
 

Camkanlah dua hadits di atas. Maukah kita menukarkan jannah Allah hanya untuk membela ego kita, tak mau merendahkan hati dan taat di hadapan suami? Sementara Rasulullah SAW. begitu keras memberikan peringatan kepada para wanita yang mengajukan gugat cerai yang tanpa dilandasi alasan yang haq.

Allah memang menghalalkan perceraian. Tapi bila ukhti menggugat cerai suami karena alasan ‘tidak harmonis’ seperti suami tidak romantis, kurang pengertian pada istri, apalagi ketika suami ditimpa musibah kesulitan nafkah keluarga, lalu istri mengajukan gugat cerai. Hanya sebatas itukah daya tahan ukhti menjalani pernikahan? Karena sampai ke ujung dunia sekalipun tak akan ada suami yang sempurna. Selalu ada plus minus dalam diri seorang pria.

Lalu bila karena alasan seperti itu, dimanakah yang namanya cinta? Bukankah cinta itu berarti menuntut meletakkan kebahagiaan orang lain (suami dan anak-anak) di atas kebahagiaan kita?

Mengapa tidak belajar untuk mencintai karena Allah, tulus dan murni, dan malah justru belajar menggugat cerai suami? Duh.


(Buku : Bukan Pernikahan Cinderella : Ustadz Iwan Januar)

0 komentar:

Posting Komentar