ilustrasi gambar by google |
Ada yang seharusnya punah sebelum hati menjadi patah.
Mungkin namanya asa. Ada yang seharusnya diberikan, tapi masih disimpan Tuhan.
Mungkin namanya kesempatan. Ada yang seharusnya dihentikan, sebelum luka jadi
lintasan perjalanan. Mungkin namanya perasaan.
Barangkali hati terlalu cepat jatuh pada waktu yang tak tepat. Bukan objeknya yang salah, tapi mungkin kali ini aku harus mengalah. Kesempatan yang tadinya terlihat begitu jelas, kini hilang semudah melayangnya kertas.
Bukan salahmu yang mungkin seperti tak menghargai perasaan.
Salahku, yang berharap hanya pada kebetulan. Bukan salahmu yang tak juga sadari
keberadaan. Salahku, terlalu lama di dalam tempat persembunyian. Hingga pada
akhirnya semua kata kunci membawaku pada sebuah kenyataan yang harus dijalani.
Bahwa meski belum dimiliki, namun ada yang telah kauberikan kepadanya dengan
sepenuh hati.
Entah kesempatan yang memang belum ada, atau aku mungkin
sudah pernah melewatkannya.
Maaf atas keterlambatanku untuk menyadari sepenting itu adamu. Jeda sinyal yang terlambat keluar, mungkin telah berbekal sesal. Hingga akhirnya aku tahu, kesempatan belum ada karena seseorang lain telah masuk dan membuat hatimu mulai kesempitan. Penuh, mungkin sepenuhnya menurutmu utuh. Sedangkan aku, hilang separuh dan sisanya lumpuh.Jika benar putaran kesempatan pernah kulewatkan, mungkin itulah definisi dari sebuah kesalahan yang mendewasakan. Aku berhenti mengetuk. Bukan karena sudah hati remuk, tapi tak ingin kulihat penghunimu mengamuk.
Barangkali akan ada kesempatan, namun tak tahu harus
menunggu sampai berapa lama. Barangkali akan ada sepenggal cerita yang sedikit
diubah, namun kepastiannya masih entah. Barangkali aku memang akan hidup di
antara rangkaian barangkali, hanya karena belum siap untuk menghadapi. Bila
nanti kesempatan memang ada, kamu tahu, akan kugunakan itu tanpa sia-sia.
Sekarang, mungkin sudah cukup dengan melihatmu teramat bahagia, meski harus
dengannya.
Aneh. Meski namamu masih seratus persen mengisi hati, tapi
mengapa kekosongan ini tak berhenti kucicipi? Bukankah kita lahir pada
kebetulan? Tapi kebetulan pulalah yang akhirnya mematikan. Bukankah kita
sama-sama tahu karena sebuah pengetahuan yang disediakan? Tapi mengapa ujungnya
aku merasa asing karena terlempar oleh serombongan ketidaktahuanku akanmu?
Dunia barumu yang sama sekali tak menyertakan aku. Dunia
baru yang terlihat ramai saat namanya tak usai kau sebut-sebut.
Entah kebetulan memang sebenarnya ada, atau hanya aku yang
sepertinya mengada-ada. Entah kisah tentang kita memang sedang dituliskan,
ataukah semuanya hanya semata-mata harapan. Mungkin memang harus memberi waktu
lebih bagi semesta, dengan rencananya yang selalu mengejutkan.Walau entah
kejutannya akan membahagiakan, atau justru berupa tamparan pelan-pelan yang menyadarkan.
Mari tutup segala mungkin atau tidaknya. Sebab masih ada beberapa hal sederhana yang perlu disyukuri keberadaannya; kedekatan kita, misalnya.
Tidak apa-apa. Aku akan menyiapkan diri, bagi yang nanti
berpatenkan nama sebagai penghuni hati. Janjiku yang nomor satu, untuk berhenti
cinta mungkin aku belum bisa. Karena tak semudah itu menghilangkan rasa, hanya
sembuhkan hati yang sedang kucoba-coba. Selamat istirahat pelukis merah merona
pada pipi, selamat bekerja dua kali lipat dari biasanya plester hati.
****
0 komentar:
Posting Komentar