ilustrasi gambar by google |
Pada
pertukaran rasa yang tak seimbang, aku menaruh bimbang. Ketika meneruskan
hanyalah berarti menambah perih pada luka lainnya, dan berhenti juga tak
menyembuhkan apa-apa. Menaruh harap pada waktu yang akan menjawab, mungkin saja
percuma; sebab hatimu sudah ada pemiliknya. Sedangkan aku, hanya tamu yang diundang pada sedikit kesempatan saja.
Belum genap memiliki, tapi hati ini seperti dipaksa berhenti mencintai. Harapan sudah mencapai menara tertinggi, tapi terjatuh karena tahu kau sudah ada yang memiliki. Kornea seperti tercelik pada realita. Tadinya pinta bergegas menyapa pencipta agar lekas menyatukan kita. Tapi doa-doa itu menabrak dinding negri utopia, menyadarkanku bahwa seharusnya angan-angan berhenti disini saja agar tak menyakiti sesiapa. Andai pertemuan kita tak berbentur pada garis segitiga yang menyatukan aku, kamu, lalu dia pada sudut-sudutnya.
Pada
ketiba-tibaan datangnya sebuah rasa, aku memupuk asa. Seakan tidak peduli,
bahwa bagian kosong di hatimu sudah ada yang menduduki. Juga tak ingin ambil
pusing dengan kenyataan yang mengharuskan kita berada pada jalannya
masing-masing. Mungkin sebenarnya ada garis tak kasat mata yang menghalangi
agar aku tidak melangkah lebih jauh lagi. Namun aku memilih untuk berpura-pura
tidak menyadari keberadaanya.
**
0 komentar:
Posting Komentar