Para ulama dari empat mazhab dan ulama lainnya sepakat bahwa menutup wajah bagi wanita muda merdeka ketika takut terjadinya fitnah hukumnya wajib
Allah telah menetapkan aturan dalam ibadah dan hukum fikih. Allah telah menetapkan berbagai aturan dengan alasan dan ukuran yang berbeda-beda, bahkan dalam satu jenis ibadah saja seperti misalnya shalat, zakat, dan haji. Ketiganya memiliki hal yang wajib dan sunnah untuk dikerjakan. Di antara hal yang dikerjakan tersebut ada yang disepakati oleh para ulama dan ada yang diperselisihkan.
Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai hijab dan
kewajiban wanita menutup aurat dengan pakaiannya, kami akan menjelaskan hal-hal
yang disepakati oleh para ulama dalam hukum hijab dan pakaian wanita. Sehingga
tidak seorang pun masuk ranah khilaf tanpa menghormati ijma’. Kami mendahulukan
perkara qath’i (pasti) ketimbang perkara yang zhanni (dugaan). Oleh karena itu,
kami mengajak pembaca untuk mengetahui letak perselisihan dalam masalah pakaian
wanita dan hijabnya di hadapan lelaki yang bukan mahram. Kami katakan:
Para ulama sepakat bahwa hijab wanita dalam pengertian umum
merupakan syariat dan pedoman yang sifatnya baku, qath’i, dan mutawatir dalam
Al Qur’an dan As-Sunnah. Barangsiapa yang mengingkari aturan syariat dalam
pakaian dan hijab wanita serta berkata, “Sungguh aturan berpakaian hanyalah
budaya sehingga wanita bisa membuka dan menutup badan semaunya,” dia telah mengingkari
perkara qath’i yang wajib diketahui oleh setiap muslim, seperti shalat, zakat
dan haji.
Para ulama dari empat mazhab dan ulama lainnya sepakat bahwa
menutup wajah bagi wanita muda merdeka ketika takut terjadinya fitnah hukumnya
wajib. Khususnya di hadapan orang-orang yang berpotensi melepaskan pandangan
liar kepada mereka. Hal ini tidak bisa dicegah kecuali dengan menutup wajahnya.
Sekelompok ulama bersepakat akan hal ini, seperti Ibnu Raslan, Juwaini, [1] dan
lainnya. Ibnu Raslan Asy-Syafi’i berkata, “Argumen mengenai perlunya kebolehan
memandang itu dibatasi hanya dalam kondisi membutuhkan bahwa kaum muslimin
bersepakat untuk melarang wanita keluar rumah dengan wajah terbuka. Khususnya
ketika banyak orang fasik di sekitar mereka.”[2]
Para ulama dari empat mazhab dan ulama lainnya sepakat bahwa
menutup wajah bagi wanita muda merdeka merupakan murni syariat rabani. Yang
mereka perselisihkan adalah apa hukum orang yang tidak melaksankannya –dalam
kondisi tidak ada potensi fitnah– apakah ia dianggap telah meninggalkan hal
yang wajib sehingga berdosa, atau hanya seperti orang yang meninggalkan perkara
sunnah?
Para ulama juga sepakat bahwa wanita tua boleh membuka
wajahnya dengan syarat tidak memakai perhiasan di wajah. Namun menutup wajah
bagi wanita tua lebih baik daripada membukanya, sesuai firman Allah:
و أن يستعففن
خير لهن . . .
“…berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka (wanita tua)…” (QS.
An-Nur: 60)
Para ulama sepakat bahwa aurat budak wanita tidak seperti
aurat wanita merdeka. Aurat yang wajib ditutup oleh wanita merdeka tidak
semuanya menjadi aurat wajib bagi budak wanita. Ijma’ ini dinyatakan oleh
beberapa ulama, salah satunya Ibnu Abdilbar.[3]
Para ulama sepakat membedakan antara aurat satr (yang pada
dasarnya wajib ditutup) dan aurat nazhar (pandangan), meskipun mereke berbeda
pendapat dalam batasan aurat masing-masing. Aurat satr adalah anggota badan
yang pada hakikatnya merupakan aurat dan harus ditutup. Sedangkan aurat nazhar
adalah aurat yang ditutup demi menjaga pandangan orang lain meski pada
hakikatnya bukanlah aurat.
Barangsiapa yang tidak membedakan antara aurat budak dan
aurat wanita merdeka, juga antara aurat satr dan aurat nazhar, maka asas
hukumnya dalam perkara ini akan rancu. Ia juga akan mengalami kerancuan dalam
memahami cabang-cabang hukumnya dan tidak memahami perkataan fuqaha sebagaimana
mestinya.
[1] Nihayatul Mathlab (XII/31)
[2] Ibnu Raslan menukilnya dari Azhim Abadi dalam ‘Aunul
Ma’bud (XI/162)
[3] Lihat Al-Istidzkar (XXVII/290)
0 komentar:
Posting Komentar