Diantara Muslimah ada yang mengatakan: “Demi Allah, saya belum mantap berhijab"
Hal ini lebih tepat digolongkan kepada syahwat dan menuruti
hawa nafsu daripada disebut syubhat. Jika salah seorang muslimah yang belum
menaati perintah berhijab ditanya, mengapa ia tidak mengenakan hijab? Di
antaranya ada yang menjawab: “Demi Allah, saya belum mantap berhijab. Jika saya
telah merasa mantap dengannya, saya akan berhijab, insya Allah”.
Duhai saudariku muslimah yang berdalih dengan syubhat ini
hendaknya bisa membedakan antara dua hal, yakni antara perintah Allah Jalla
Jalaaluhu dengan perintah manusia.
Jika perintah itu datangnya dari manusia, maka manusia bisa
salah dan bisa benar. Imam Malik berkata: “Dan setiap orang bisa diterima
ucapannya dan juga bisa ditolak, kecuali (perkataan) orang yang ada di dalam
kuburan ini.” Yang dimaksudkan adalah Rasulullah Shallallaahu’alaihi wa Sallam.
Selagi masih dalam bingkai perkataan manusia, maka seseorang
tidak bisa dipaksa untuk menerima. Karenanya, dalam hal ini, setiap orang bisa
berucap “belum mantap”, dan ia tidak bisa dihukum karenanya.
Adapun jika perintah itu merupakan salah satu dari
perintah-perintah Allah Jalla Jalaaluhu , dengan kata lain Allah yang
memerintahkan di dalam kitab-Nya, atau memerintahkan hal tersebut melalui
nabi-Nya agar disampaikan kepada umatnya, maka tidak ada tempat bagi manusia
untuk mengatakan “saya belum mantap”.
Bila ia masih mengatakan hal itu dengan penuh keyakinan
padahal ia sendiri tahu bahwa perintah tersebut ada di dalam kitab Allah
Ta’ala, maka hal tersebut berpotensi untuk menyeretnya pada bahaya yang sangat
besar, yakni keluar dari agama Allah, sementara dia tidak menyadarinya. Sebab
dengan begitu, berarti ia tidak percaya dan meragukan kebenaran perintah
tersebut. Maka, itu adalah ungkapan yang sangat berbahaya.
Seandainya ia berkata “Aku wanita kotor”, “Jiwaku rapuh”,
“Hasratku untuk itu sangat lemah”, tentu ungkapan-ungkapan ini dan yang
sejenisnya, tidak bisa disejajarkan dengan ucapan “Aku belum mantap”.
Sebab ungkapan-ungkapan tersebut merupakan pengakuan atas
kelemahan, kesalahan dan kemaksiatan dirinya. Ia tidak menghukumi dengan salah
atau benar terhadap perintah Allah secara semaunya. Juga tidak termasuk yang
mengambil sebagian perintah Allah dan mencampakkan yang lain.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ
وَلَا
مُؤْمِنَةٍ
إِذَا
قَضَى
اللهُ
وَرَسُولُهُ
أَمْرًا
أَن
يَكُونَ
لَهُمُ
الْخِيَرَةُ
مِنْ
أَمْرِهِمْ
وَمَن
يَعْصِ
اللهَ
وَرَسُولَهُ
فَقَدْ
ضَلَّ
ضَلَالًا
مُّبِينً
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan
Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat,
sesat yang nyata” (Al-Ahzab: 36).
Sikap yang Dituntut
Ketika seorang hamba mengaku beriman kepada Allah, percaya
bahwa Allah lebih bijaksana dan lebih mengetahui dalam penetapan hukum daripada
dirinya –sementara dia adalah sangat miskin dan sangat lemah– maka jika telah
datang perintah Allah, tidak ada pilihan lain baginya kecuali menaati perintah
tersebut. Ketika mendengar perintah Allah, sebagai seorang mukmin atau
mukminah, mereka wajib mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang
yang beriman.
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا
أُنزِلَ
إِلَيْهِ
مِن
رَّبِّهِ
وَالْمُؤْمِنُونَ
كُلٌّ
آمَنَ
بِاللهِ
وَمَلَائِكَتِهِ
وَكُتُبِهِ
وَرُسُلِهِ
لَا
نُفَرِّقُ
بَيْنَ
أَحَدٍ
مِّن
رُّسُلِهِ
وَقَالُوا
سَمِعْنَا
وَأَطَعْنَا
غُفْرَانَكَ
رَبَّنَا
وَإِلَيْكَ
الْمَصِيرُ
“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari
Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka
mengatakan): ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain)
dari rasul-rasul-Nya’, dan mereka mengatakan: ‘Kami dengar dan Kami
taat.’mereka berdoa): ‘Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada Engkaulah tempat
kembali’” (Al-Baqarah: 285).
Ketika Allah memerintahkan kita dengan suatu perintah, Dia
Maha Mengetahui bahwa perintah itu untuk kebaikan kita dan salah satu sebab
bagi tercapainya kebahagiaan kita. Demikian pula halnya dengan ketika
memerintah wanita, Dia Maha Mengetahui bahwa itu adalah sebab bagi tercapainya
kebahagiaan, kemuliaan, dan keagungan wanita.
Allah Ta’ala Maha Mengetahui, ilmu-Nya meliputi segala
sesuatu, mengetahui sejak sebelum manusia diciptakan, juga mengetahui apa yang
akan terjadi di masa mendatang dengan tanpa batas, mengetahui apa yang tidak
akan terjadi dari berbagai peristiwa, juga Dia mengetahui andaikata peristiwa
tersebut terjadi, apa yang bakal terjadi selanjutnya.
Dengan kepercayaan seperti ini,
yang merupakan keyakinan kita umat Islam, apakah patut dan masuk akal kita
menolak perintah Allah Yang Mahaluas Ilmu-Nya, selanjutnya kita menerima
perkataan manusia yang memiliki banyak kekurangan, dan ilmunya sangat terbatas?
Diketik ulang tanpa mengubah makna dari buku : “Saudariku, Apa yang Menghalangimu Berhijab?”
karya Abdul Hamid Al-Bilaly
0 komentar:
Posting Komentar