Minggu, 20 November 2016

Syubhat Penghalang Berhijab: “Saya Belum Mantap Berhijab”

Diantara Muslimah ada yang mengatakan: “Demi Allah, saya belum mantap berhijab"



Hal ini lebih tepat digolongkan kepada syahwat dan menuruti hawa nafsu daripada disebut syubhat. Jika salah seorang muslimah yang belum menaati perintah berhijab ditanya, mengapa ia tidak mengenakan hijab? Di antaranya ada yang menjawab: “Demi Allah, saya belum mantap berhijab. Jika saya telah merasa mantap dengannya, saya akan berhijab, insya Allah”.

Duhai saudariku muslimah yang berdalih dengan syubhat ini hendaknya bisa membedakan antara dua hal, yakni antara perintah Allah Jalla Jalaaluhu dengan perintah manusia.

Jika perintah itu datangnya dari manusia, maka manusia bisa salah dan bisa benar. Imam Malik berkata: “Dan setiap orang bisa diterima ucapannya dan juga bisa ditolak, kecuali (perkataan) orang yang ada di dalam kuburan ini.” Yang dimaksudkan adalah Rasulullah Shallallaahu’alaihi wa Sallam.

Selagi masih dalam bingkai perkataan manusia, maka seseorang tidak bisa dipaksa untuk menerima. Karenanya, dalam hal ini, setiap orang bisa berucap “belum mantap”, dan ia tidak bisa dihukum karenanya.

Adapun jika perintah itu merupakan salah satu dari perintah-perintah Allah Jalla Jalaaluhu , dengan kata lain Allah yang memerintahkan di dalam kitab-Nya, atau memerintahkan hal tersebut melalui nabi-Nya agar disampaikan kepada umatnya, maka tidak ada tempat bagi manusia untuk mengatakan “saya belum mantap”.

Bila ia masih mengatakan hal itu dengan penuh keyakinan padahal ia sendiri tahu bahwa perintah tersebut ada di dalam kitab Allah Ta’ala, maka hal tersebut berpotensi untuk menyeretnya pada bahaya yang sangat besar, yakni keluar dari agama Allah, sementara dia tidak menyadarinya. Sebab dengan begitu, berarti ia tidak percaya dan meragukan kebenaran perintah tersebut. Maka, itu adalah ungkapan yang sangat berbahaya.

Seandainya ia berkata “Aku wanita kotor”, “Jiwaku rapuh”, “Hasratku untuk itu sangat lemah”, tentu ungkapan-ungkapan ini dan yang sejenisnya, tidak bisa disejajarkan dengan ucapan “Aku belum mantap”.

Sebab ungkapan-ungkapan tersebut merupakan pengakuan atas kelemahan, kesalahan dan kemaksiatan dirinya. Ia tidak menghukumi dengan salah atau benar terhadap perintah Allah secara semaunya. Juga tidak termasuk yang mengambil sebagian perintah Allah dan mencampakkan yang lain.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينً

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata” (Al-Ahzab: 36).

Sikap yang Dituntut
Ketika seorang hamba mengaku beriman kepada Allah, percaya bahwa Allah lebih bijaksana dan lebih mengetahui dalam penetapan hukum daripada dirinya –sementara dia adalah sangat miskin dan sangat lemah– maka jika telah datang perintah Allah, tidak ada pilihan lain baginya kecuali menaati perintah tersebut. Ketika mendengar perintah Allah, sebagai seorang mukmin atau mukminah, mereka wajib mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang yang beriman.

آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya’, dan mereka mengatakan: ‘Kami dengar dan Kami taat.’mereka berdoa): ‘Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada Engkaulah tempat kembali’” (Al-Baqarah: 285).

Ketika Allah memerintahkan kita dengan suatu perintah, Dia Maha Mengetahui bahwa perintah itu untuk kebaikan kita dan salah satu sebab bagi tercapainya kebahagiaan kita. Demikian pula halnya dengan ketika memerintah wanita, Dia Maha Mengetahui bahwa itu adalah sebab bagi tercapainya kebahagiaan, kemuliaan, dan keagungan wanita.

Allah Ta’ala Maha Mengetahui, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, mengetahui sejak sebelum manusia diciptakan, juga mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang dengan tanpa batas, mengetahui apa yang tidak akan terjadi dari berbagai peristiwa, juga Dia mengetahui andaikata peristiwa tersebut terjadi, apa yang bakal terjadi selanjutnya.

Dengan kepercayaan seperti ini, yang merupakan keyakinan kita umat Islam, apakah patut dan masuk akal kita menolak perintah Allah Yang Mahaluas Ilmu-Nya, selanjutnya kita menerima perkataan manusia yang memiliki banyak kekurangan, dan ilmunya sangat terbatas?


Diketik ulang  tanpa mengubah makna dari buku :  “Saudariku, Apa yang Menghalangimu Berhijab?” karya Abdul Hamid Al-Bilaly

0 komentar:

Posting Komentar