ilustrasi by google |
Bahagia itu selalu
ada dan banyak macamnya, kita hanya perlu bersyukur dan menyadari bahwa kita
selalu memilikinya–meski hanya dalam bentuk paling sederhana. Begitu kata
orang-orang bijak. Tapi bukankah itu juga berarti penyangkalan, bahwa
sebetulnya kita hanya diizinkan punya porsi terbatas untuk bahagia?
Kamu tahu?
Terkadang, cukup dengan melihatmu bahagia
dari jauh, kutemukan bahagiaku. Bahagia yang kucari, bukan sebab datang dengan
maunya sendiri. Semu, memang. Tapi setidaknya lebih baik daripada membencimu,
bukan?
Bahagia ini seperti
dipaksakan, aku tak lagi punya pilihan. dan menganggap kamu kisah lama yang aku
mesti lupa, aku belum pintar melakukannya.
Meski entah ini
memang bahagia yang sesungguhnya, atau imajinasiku terlalu terlatih untuk
mengada-ada? Entah dengan melihatmu tersenyum
aku juga merasakan yang sama, atau semuanya hanya karena aku tak lagi memiliki
pilihan? Terkadang lucu, jika memang benar ada wujud bahagia seperti itu.
Padahal kalau boleh jujur, aku ingin bahagiamu yang dibagi denganku.
Kupandang sebuah
pohon dengan tatapan penuh kagum. Sebab, bagaimana bisa ia tetap berdiri tegak,
sementara melihat dedaunan yang selama ini dipertahankannya, justru jatuh dan
kemudian meninggalkan? Atau,
ini hanya salah satu cara semesta untuk mengajarkanku menjadi lebih kuat?
Kuat itu aku, yang
telah lama jauh terjatuh padamu, tahu sakitnya luka, namun terus mengulanginya
saja.
Lemah itu kamu,
datang sebab terluka, lalu pergi sebab bosan dijaga. Barangkali jika ada
kekacauan di poros bumi dan semua hal jadi terbalik, aku baru paham caramu yang
mudah pergi. Pun, kamu kelak mengerti caraku yang keras kepala selalu menanti.
Lalu, aku harus ke
mana? Tepatnya, aku harus bagaimana?
Menerimamu yang
muncul tiba-tiba, dan merelakan begitu saja padahal ingin tak ada? Kamu ingin
(si)apa? Seseorang dengan perasaan
sekeras batu dan sikap sediam patung? Sebab, bagaimana mungkin aku mampu untuk
terus bertahan melihatmu semudah itu berpaling, namun harus menjadi yang sangat
siap ketika kamu tak menemukan siapa-siapa lagi untuk berbagi?
Barangkali sejak awal
kita tidak seharusnya bertemu. Agar tak ada rasa yang bertamu, agar inginku tak
melulu hanya kamu. Barangkali sejak dulu mestinya kamu yang mencintai aku. Biar
aku jadi yang pintar berlalu, biar aku jadi yang pura-pura lupa pernah sengaja
menyakitimu. Ah, tapi apa gunanya? Jika kamu ada di posisiku, apa benar kamu
tetap memilihku meski aku tak menoleh padamu?
Bahkan
mengkhayalkannya saja aku tak berani.
Tak
perlu kamu tahu sesakit apa aku, yang kuperlu hanya kamu bilang iya untuk
cintaku. Paling tidak, aku sudah pernah mencoba untuk terjatuh, meski bukan
kedua tanganmu yang menangkap hatiku secara utuh. Memang ada yang hancur dan
tidak secara baik tertata, namun paling tidak aku pernah tahu bagaimana rasanya
jatuh cinta. Meski yang kurasakan ialah tangis untuk keduanya, namun paling
tidak aku selangkah lagi menuju masa yang belum ada dan penuh bahagia.
Yang perlu kamu
tahu, tetap memilihmu bukanlah pilihan, itu keputusan.
Menyesal bukanlah
bagianmu, itu bagianku jika kelak kehilangan kamu. Sebab aku berani bertaruh, belum pernah kamu menemui hati lain yang
cukup gila terus menerus berkata bahwa menanti yang tak ada ialah bentuk lain
setia.
Ingatlah, jika ia
menyakitimu, jangan cari aku. Sebab nanti, aku yang lebih dulu menemukanmu.
Jika tak kamu
temukan aku, tetaplah jangan mencari. Sebab barangkali yang ingin kamu temukan
bukanlah aku, melainkan dirimu yang lain, yang sejak lama ada padaku.
Maka teruslah
jangan aku yang kamu cari, hanya sebab kamu tak mau merasa sendiri. Kuharap saat itu aku telah cukup jadi egois,
dengan menutup rasa dari apapun yang kutahu bisa membuatmu menangis.