image search by google |
Aku bosan terus-terusan terjerumus dalam rasa kehilangan. Apalagi jika
kamulah penggerak di balik setiap alasan. Aku pun bosan harus memakan kata-kata
manismu, hasil pelarian dari pahit yang mampir dalam hidupmu.
Jika ada dia, aku harus sukarela menyingkir. Jika tidak ada dia, aku
diharuskan hadir. Pelampiasan atau sebuah permainan? Atau aku yang terlalu
bodoh tak bisa melihat batas harapan dan kenyataan?
Kakiku berlari menjauhi titik-titik pencipta luka. Tapi saat aku nyaris
mantap untuk pergi dari arenamu, ada saja tarikan-tarikan penggoda untuk tetap
disana.
Pada langkah yang hampir terhenti, kamu ada. Pada harap yang perlahan
memudar, kamu hadir. Tersisalah aku dengan sebuah keadaan, di mana arah yang
semestinya kutuju masih samar. Entah harus terus berjuang atau memang tak perlu
keluar sebagai pemenang. Kebahagiaanku masih terombang-ambing, aku terpaksa
mengikuti ke manapun ia ditempatkan.
Pada kepulanganmu yang berulang, ada kata selamat tinggal yang siap-siap kembali kujelang. Kata selamat tinggal yang kuharap tak pernah lagi kudengar. Aku ingin kamu tetap di sini, mencipta bahagia dari dua sisi—bukan mencari bahagia kita sendiri-sendiri.
Akankah semua inginku hanya sanggup menjadi angan? Tak bisakah
segalanya jadi kenyataan? Sebab rasa ini nyata, namun kedekatan kita hanya
sebatas ini saja.
Setelah berperang dengan dirimu yang dirasuki perubahan, akhirnya
kamupun pulang. Satu sapa pun bisa merapikan keretakan yang sempat tercipta.
Satu senyum yang tulus darimu pun meluluhkan kaki yang nyaris melangkah dengan
tekad serius. Angan terus berlanjut, tanpa ada kepastian yang bergelayut.
Seandainya tidak ada dia, apakah kamu akan memperjuangkan
kita? Ketidakpastian semakin terlihat jelas, terutama saat percakapanmu
dengannya belum berhenti. Aku takut jika nanti tumbuh cinta yang lebih besar
lagi. Lalu kapan waktuku untuk menyediakan cinta? Lalu kapan seutuhnya kamu ada
buatku?
Mengapa kamu pulang hanya untuk singgah, kemudian justru pergi lagi?
Mengapa kamu ke sini, namun sangat terlihat jelas bahwa dengannya kamu
masih jatuh hati?
Sepasang mata ini mengharap temu, kedua tangan ini mendambamu. Sebab
kebahagiaan terasa utuh dan sederhana kala kita bersama. Sebab senyuman tak
sanggup terkata di saat kita berjumpa. Tidak bisa kamu di sisi untuk selamanya?
Lalu tetapkan pilihanmu sehingga tak perlu ada angan yang merasa dimainkan.
Titik akhirnya, memang aku yang harus selalu rela. Datang dan pergimu hanya repitisi percuma yang entah mengapa tetap saja mampu membuat bahagia. Sederhananya, bahagiaku tertitip di kamu. Jika kamu menuju arah yang bukan aku, begitupun bahagiaku menjauh. Entah hingga kapan harus terikat padamu. Sebab jatuh hati ini telah terlanjur, tak mungkin aku bisa mundur.
Izinkan aku membuktikan bahwa hati ini pun berhak disuguhi
kesempatan.Dengan ramuan rasa sederhana, aku akan membangunkanmu dari hibernasi
lelahnya kepercayaan hati. Aku akan melahapmu separuh, biar kamu tahu ke mana
ruang itu kau berikan dengan utuh. Aku menunggu sampai kamu mengandalkanku
bukan hanya saat butuh, tapi karena akulah prioritas bahagiamu terisi penuh.
Itu bukan keinginan yang muluk-muluk, kan?
Kebahagiaanku kini masih bertumpu pada ketidakpastian. Entah kapan,
tapi pasti kita akan bahagia dengan pelengkap pilihan Tuhan. Tapi untuk
sekarang, do’aku masih menyelipkan namamu sebagai penghantar kebahagiaan.