image by google |
"Ummi... Ummi, kapan kamu bisa memasak dengan benar...?
Selalu saja, kalau ga keasinan... kemanisan, kalau ga keaseman... ya
kepedesan!" Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.
"Sabar bi...
Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak
Rasul...? "ucap isteriku kalem. "Iya... tapi abi kan manusia biasa.
Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus
seperti ini...! "Jawabku dengan nada tinggi. Mendengar ucapanku yang
bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah
begitu, aku yakin pasti air matanya sudah merebak.
Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang
benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan 'baiti jannati' di
rumahku. Namun apa yang terjadi...? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa
yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling.
Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal burak (pecah).
Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring
kotor berpesta pora di dapur, dan cucian... ouw... berember-ember. Ditambah
lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan
detergen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa
beristigfar sambil mengurut dada. "Ummi... ummi, bagaimana abi tak selalu
kesal kalau keadaan terus menerus begini...?" ucapku sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Ummi... isteri sholihat itu tak hanya pandai ngisi
pengajian, tapi dia juga
harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah
tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah...?"
Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang
kelihatan begitu pilu. "Ah... wanita gampang sekali untuk menangis,"
batinku berkata dalam hati. "Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau
jadi isteri shalihat...? Isteri shalihat itu tidak cengeng," bujukku
hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai dipipinya. "Gimana
nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan
karena memang ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja untuk
jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga
sama sekali," ucap isteriku diselingi isak tangis. "abi nggak
ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda..." Ucap isteriku
lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.
Bi... siang nanti antar Ummi ngaji ya...?" pinta
isteriku. "Aduh, Mi... abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri
saja ya?" ucapku. "Ya sudah, kalau abi sibuk, Ummi naik bis umum
saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan," jawab isteriku. "Lho,
kok bilang gitu...?" selaku. "Iya, dalam kondisi muntah-muntah
seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi
ditambah berdesak-desakan dalam bus dengan suasana panas menyengat. Tapi
mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa," ucap isteriku lagi. "Ya
sudah, kalau begitu naik bajaj saja," jawabku ringan.
Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan
waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini
tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku
mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda
acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu
persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal.
"Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun
lucu-lucu," aku membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada
sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi
luruh.
"Oh... bukankah ini sandal jepit isteriku?" tanya
hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu.
Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru
sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai
kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya
bersepatu bagus. "Maafkan aku Maryam," pinta hatiku.
"Krek..." suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas
menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil
menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan
jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali
melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung
sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar.
Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaya gelap dan berjilbab hitam
melintas.
"Ini dia mujahidahku!" pekik hatiku. Ia beda
dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga
cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya.
Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang
memperhatikan isteri. Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah
membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan
kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak
kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan
Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku
tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: "Yang terbaik di antara
kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya." Sedang aku...? Ah,
kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya
dengan baik. Sedang aku...? terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan
sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami
terdzalim!!! "Maryam...!" panggilku, ketika tubuh berbaya gelap itu
melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan
ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat
perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. "Abi...!"
bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang ini.
"Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?" sesal
hatiku.
Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika
tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya.
"Alhamdulillah, jazakallahu..." ucapnya dengan suara tulus. Ah,
Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu
hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud dan
'iffah' sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan
matamu yang berbinar-binar karena perhatianku...? Semoga berguna bagi kita
semua...amin ya rabbal alamien...
Buat para mujahid dakwah... renungkanlah kisah sandal jepit
ini, dan tanyalah hati kita sejauh mana perhatian kita (bukan hanya soal sandal
dll) terhadap sosok makhluk bernama istri di tengah2 kesibukan kita...