Minggu, 09 September 2018

Tarbiyatul Aulad dari Luqman Al hakim

image search by google


Pendidikan Ibadah dan Adab untuk Anak Islami

Allah SWT telah memberikan hikmah kepada Luqman Al Hakim. Hikmah itu adalah benarnya ilmu dan amal. Beliau adalah sosok pendidik yang sukses dalam mendidik anak-anaknya dalam menanamkan tauhid.

Ditengah maraknya ilmu-ilmu Parenting yang berkembang saat ini. Seharusnya kita tidak lupa belajar bagaimana parenting (pola asuh) Luqman dalam mendidik anak-anaknya. Metode Luqman ini merupakan pola asuh terbaik sehingga Allah SWT abadikan dalam Al Qur’an surat Luqman.

Surat Luqman identik dengan tarbiyatul aulad, dimana ayat-ayatnya memuat uslub yang mangagumkan dalam pendidikan anak yang didasarkan kepada manhaj Allah SWT. Ia merupakan tarbiyah yang komprehensif yang dibutuhkan anak-anak baik di dunia maupun akhirat. Tarbiyah itu mencakup pokok-pokok bahasan sebagai berikut.

Pertama, Penanaman Tauhid dan Larangan berbuat syirik kepada Allah SWT.

Pokok bahasan itu terdapat kita lihat dengan jelas dalam surat ini semuanya. Karena yang pertama kali wajib kita tumbuhkan pada anak-anak kita dalah tentang tauhidullah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.

Lalu bagaimana caranya kita menanamkan makna itu pada jiwa anak-anak kita? Hendaknya kita perlihatkan kepada mereka kerajaan (kekuasaan) Allah yang ada di alam semesta ini.
Kita ajak mereka berjalan-jalan untuk melihat berbagai pemandangan alam. Ini agar mereka mengetahui kekuasaan Allah dalam segala ciptaaan-Nya, dan mereka mengenal keagungan sang khaliq, Allah Swt atas semua makhluknya.

Perhatikan bagaimana cara Luqman mendidik puteranya. Allah Swt berfirman :

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar.” (Qs. Luqman : 13)

Ia memulai dengan pelajaran teori tentang larangan keras mengenai syirik, setelah itu mulai dengan pelajaran aplikasi amal. 

Allah Swt berfirman :
“(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Luqman : 16).

Ayat agung ini memberikan perumpamaan yang bisa dipahami anak-anak. Ia juga mengandung makna yang amat besar dan sejalan dengan orang tua, yang menjadikan mereka bisa merasakan kekuasaan, pengawasan dan ilmu Allah SWT.

Kedua, Berbuat baik kepada kedua orang tua (birrul walidain)

Ia mengenalkan kepada anak-anak tentang keutamaan orang tua atas mereka. Dengan demikian, mereka mengenal makna syukur baik kepada Allah maupun kepada kedua orang tua. Allah Swt berfirman.

“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadakulah kembalimu.” (Luqman : 14)

Ayat ini memerintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua dan untuk tidak berbuat syirik. Al Qur’an mengajarkan kepada kita, bahwa kedua perkara itu tidak semestinya bertentangan satu sama lain. 

Allah Swt berfirman :
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (Qs. Luqman : 15)

Berikutnya disebutkan kaidah yang penting tentang keseimbangan diantara berbuat baik kepada orang tua (birrul walidain) dengan meninggalkan syirik. Allah Swt berfirman :

“Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutlah jalan orang yang kembali kepadaku, kemudian hanya kepadakulah kembalimu, maka kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan: (Luqman : 15).

Surat Luqman telah memberikan arahan-arahan dalam mendidik anak. Luqman merupakan sosok pendidik yang tenang, cakap memberikan nasehat-nasehatnya. Ia mengatakan “Ya Bunaiya” Wahai Anakku!.

Surat ini memberikan arahan kepada orang tua temanilah anak-anakmu dan perilakukanlah mereka dengan penuh rasa cinta sebelum kalian memberikan mereka nasehat. Bicaralah dengan mereka dari hati, pengalaman, dan kesalahan-kesalahan dalam hidup.

Perlakukanlah mereka dengan penuh keakraban dalam menasehati mereka, sebelum menggunakan kata perintah dan larangan dengan keras. Surat ini benar-benar merupakan manhaj tarbiyah yang paling utama yang terdapat dalam Al Qur’an. Baca makalah sebelumnya (Belajar Tauhid dan Aplikasinya dari Luqman Al Hakim)

Pokok-pokok pola asuh yang diajarkan luqman adalah sebagai berikut.

Ketiga, Urgensi (Ahammiyyah) ibadah dan berbuat kebajikan dalam hidup

Allah Swt berfirman :

“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar” (Qs. Luqman : 17)

Tarbiyah itu tidak berarti kita cukup memberikan kepada anak-anak kita persedian makanan, minuman, tempat tinggal, pakaian dan obat-obatan semata, mengingat itu semua termasuk perlengkapan rumah. Namun, Tarbiyah adalah bagaimana menumbuhkembangkan anak-anak kita menjadi hamba Allah SWT
Dan tarbiyah tidak hanya terbatas pada pendidikan shalat pada anak-anak seperti diyakini oleh mayoritas orang tua. Kita juga berkewajiban untuk menanamkan pada jiwa-jiwa mereka kebajikan terhadap masyarakat dan saudara-saudara mereka.

Dengan demikian, mereka akan selalu menyuruh berbuat kebaikan (Amar makruf) dan melarang dari perbuatan munkar (nahi munkar), serta menjadikan orang-orang yang mendapat hidayah Allah Swt.

Keempat, Mengenalkan hakekat dunia

Ada beberapa orang tua yang (sengaja) mendidik anak-anak mereka dengan hidup mewah (hura-hura), foya-foya, dan selalu bergantung kepada kekayaan orang tua. Sebagian orang tua mengira bahwa mereka dapat menjamin kebutuhan hidup anak-anak mereka selama di dunia.

Padahal seharusnya dilakukan oleh mereka adalah mengenalkan kepada anak-anak mereka tentang hakekat dunia berikut teka-tekinya yang berubah-ubah. Sesungguhnya dunia ini tidak akan selamanya bersama orang tua mereka. Seharunya mereka menyandarkan diri kepada diri sendiri, bukan kepada orang tua.

Berkenaan dengan hal itu, luqman pernah berpesan kepada anaknya, sebagaiman disebutkan pada ayat 17.

“Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesunggunya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (Qs. Luqman : 17)

Lebih khusus lagi, apabila sang anak dibesarkan dalam lingkungan yang baik seperti yang disinggung dalam ayat awal ayat 17.

“Suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar.” (Qs. Luqman : 17)

Anak-anak harus banyak mendapatkan arahan berupa kesabaran karena sesungguhnya jalan yang ditempuh dalam berbuat kebajikan dan dakwah di jalan Allah tidak akan terlepas dari masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan.

Kelima, Menanamkan etika (Adab) dan perasaan

Allah Swt berfirman :

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Qs. Luqman : 18 – 19)

Ayat diatas berisi arahan agar bergaul dengan manusia dengan penuh etika (adab) dan perasaan (kelembutan). Bahkan lebih spesifik dalam soal berjalan dan berbicara. Janganlah seseorang mengangkat (memalingkan) mukanya dari manusia karena sombong. Janganlah ia berjalan dengan penuh rasa angkuh, namun hendaknya ia berlaku sederhana dalam hal itu. “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan”. Dan janganlah ia meninggikan suaranya di hadapan orang yang mendengar lawan bicaranya.

Keenam, Membatasi tujuan hidup dan merencanakan masa depan

Diantara keagungan surat ini adalah  bahwa ia juga mencakup makna pendidikan untuk menentukan tujuan hidup dan masa depan. “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan”. Ayat ini bisa jadi merupakan pelengkap bagi rangkaian perasaan dan akhlak (budi pekerti) yang menjadi pembicaraan surat ini.

Maknanya berarti, hendaknya anda berjalan di muka bumi dengan penuh kesederhanaan, tidak angkuh, atau tidak sombong. Makna lainnya adalah hendaknya anda membuat maksud dan tujuan setiap langkah yang anda lakukan. Janganlah anda hidup di dunia secara berlebihan, tanpa memiliki tujuan yang jelas.



Refernsi:
 - Katsir, Ibnu. al-Bidayah wan Nihayah
- "Menyelami Nasihat Lukman Al-Hakim", Hidayah, volume 8, edisi 87, November 2008,
 hlm. 162-165.

Kamis, 06 September 2018

Menimbang Dan Memaknai #2019GantiPresiden

image search by google
Entah sudah berapa ribu kaos dengan tulisan #2019 Ganti Presiden terjual. Media sosial ramai dengan foto-foto pemakainya dengan beragam pose. Ada gelora perlawanan di wajah para pemakainya. Mereka sudah tak sabar menginginkan perubahan.
Bagaimana tidak. Data hutang luar negeri kian mengkhawatirkan. Harga-harga makin melambung. Rupiah keok di hadapan Dolar AS. Iklim usaha terpuruk. Pengangguran bertambah. Tapi pekerja asing berkeliaran di dalam negeri.

Banyak aparat yang sepertinya tidak kompeten dengan jabatannya. Dan seluruh kekecewaan publik itu hanya terpuaskan jika #2019 Ganti Presiden. Kalimat yang memantik gelora dan gairah. Dan harga mati.

Kalangan muslim yang selama ini kontra terhadap rezim Kerja cenderung merapat kepada tagar tersebut. Bukan lagi mayoritas, tapi seluruhnya. Sambil menyisipkan harapan semoga presiden pengganti lebih berpihak kepada Islam. Sebuah harapan mulia yang sudah sepatutnya tersimpan di dada setiap muslim yang cinta agamanya.

Mazhab #2019 Ganti Presiden

Penganut #2019 Ganti Presiden sangat beragam. Multi aliran. Mulai dari latar belakang masalah yang sangat sederhana hingga faktor ideologi yang paling puritan (menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai dosa). Semuanya mendapat saluran dengan tagar sama. Sekurangnya, dengan ganti presiden ada secercah harapan yang lebih baik. Meski masih menyimpan tanda tanya juga.
Latar belakang masalah sederhana misalnya masyarakat yang merasakan kesempitan ekonomi gara-gara harga makin melambung. Atau kesulitan mendapat pekerjaan. Atau merasakan iklim bisnis yang tidak kondusif.

Mereka semua mendukung #2019 Ganti Presiden semata karena kecewa masalah ekonomi, sesuatu yang bisa dianggap sederhana karena tidak terkait dengan kebencian ideologis kepada sang presiden. Hanya masalah perut.

Latar belakang yang lebih serius adalah mereka yang benci dengan ideologi sang presiden. Bagi kalangan ini, presiden yang berasal dari PDIP mengindikasikan ideologi merah. Pro komunis. Apalagi dikaitkan dengan isu banjir pekerja China yang menyerobot pekerjaan kasar yang seharusnya bisa dilakukan oleh pekerja lokal.

Isu makin liar dengan dikaitkan asumsi invasi China yang terbukti sangat agresif di beberapa negera lain. Maka #2019 Ganti Presiden adalah solusi harga mati. Pokoknya bukan merah.

Latar belakang lebih serius lagi adalah mereka yang benci dengan ideologi sang presiden, dan keinginannya diganti dengan yang pro Islam. Kalangan ini lebih ideologis. Bukan sekedar ganti presiden, tapi sudah pasang harga penggantinya harus lebih pro kepada Islam. Bahkan kalau bisa sang pengganti dari kalangan aktivis Islam. Karenanya, selain mengusung #2019 Ganti Presiden, mereka juga aktif mengampanyekan sosok baru seperti Ahmad Heryawan, gubernur Jabar dua periode dan Tuan Guru Bajang (TGB), gubernur NTB.

Mazhab #Ganti Sistem

Mazhab ini diusung oleh para pendukung eks HTI dan para Islamis anti sekuler lain seperti. Mereka dipersatukan oleh penolakan terhadap sistem Demokrasi. Bagi mereka, ganti presiden masih merupakan solusi setengah hati.

Sebab akar masalahnya adalah sistem sekuler, yang menegaskan peran agama dalam percaturan politik dan hukum. Ketika sistemnya rusak, maka akan melahirkan para pemimpin yang rusak. Mengganti presiden dengan demikian hanya mengganti orang rusak dengan orang lain yang juga rusak. Atau setidaknya, beda-beda tipis.

Salah seorang tokoh pengusung mazhab ini, Felix Siauw, menulis: Tidak hanya orang yang salah, sistem pun bisa salah. Hanya saja kesalahan orang itu pribadi, sedangkan kesalahan sistem memproduksi orang salah secara masal. #Ganti Sistemnya Dengan Islam.

Momentum pilpres selalu menjadi kesempatan terbaik untuk menjajakan pandangan ini. Ketika awarenes masyarakat tentang fungsi presiden dan segala perangkatnya sedang naik. Saat itu edukasi tentang pentingnya sistem Islam menggantikan sistem sekuler mendapat kesempatan. Dan para aktifis eks HTI serius menggunakan momentum ini dengan baik.

image search by google

Menimbang Mazhab Pertama dan Kedua

Jika ditimbang dengan kacamata sunnatullah, maka kedua mazhab tersebut masih mengandung masalah. Mazhab pertama menghadapi masalah siapa sosok calon pengganti presiden. Apakah bakal lebih baik dibanding sebelumnya? Siapa yang bisa memberi garansi bahwa presiden baru akan lebih baik ?

Kelemahan utama mazhab pertama, masalah yang begitu kompleks diberi solusi hanya bertumpu pada sosok manusianya. Padahal manusia makhluk lemah, ia akan mudah terbawa oleh situasi dan kondisi. Berhadapan dengan taipan (konglomerat), ia dengan mudah kalah. Berhadapan dengan kekuatan senjata, ia gampang menyerah. Bahkan kekuatan loby tanpa uang dan senjata juga bisa menjebaknya. Misalnya honey trap, dijebak dengan wanita cantik. Semua idealisme tiba-tiba bisa rontok jika sudah terjebak dengan honey trap.

Maka secara realistis, mazhab ini adalah solusi jangka pendek, dan belum tentu benar-benar solusi. Masih gambling. Bisa ya, bisa tidak. Sangat tergantung sosok baru sebagai pengganti.
Sementara mazhab kedua sudah lebih baik. Ingin mengganti orang dan sistemnya sekaligus. Harapannya, dengan sistemnya ganti maka siapa pun sang pengganti akan terkawal oleh sistem. Ia dipaksa oleh sistem untuk lebih baik. Dan sistem pengganti yang dimaksud adalah sistem Islam. 

Ketika seluruh elemen masyarakat sepakat mengganti sistem, maka dengan sendirinya akan menjadi penyaring untuk menghasilkan sosok pemimpin yang diharapkan. Jika saringannya longgar, output yang dihasilkan juga kualitas rendah. Tapi bila saringannya ketat, dan itu hanya ada dalam Islam, maka akan menghasilkan sosok ideal.

Perlu Mazhab Ketiga

Ada mazhab ketiga yang menarik dibincangkan. Sayangnya belum ada yang mengusung mazhab ini. Yaitu mazhab, yang lumpuhkan biang kekafiran untuk mendirikan sistem Islam. Mazhab yang berangkat dari sunnatullah kemenangan Islam.

Ketika seluruh masyarakat sepakat mengganti sistem Demokrasi dan memproklamasikan sistem Islam, secara sunnatullah sistem itu tidak otomatis akan berdiri. Sebab akan diuji oleh kekuatan kafir yang mengelilinginya. Mereka tak akan tinggal diam menyaksikan proklamasi itu.

Mereka akan segera merespon dengan mengerahkan segenap kekuatan tempur dan embargo ekonomi dalam rangka memaksa masyarakat Indonesia untuk kembali ke pangkuan sistem Demokrasi. Memaksa agar mencabut kembali proklamasinya.

Maknanya, ganti sistem itu di atas kertas adalah solusi ideal. Tapi solusi tersebut hanya melihat masalah dengan kacamata lokal, belum mempertimbangkan aspek global. Dunia hari ini adalah dunia yang sempit dengan penguasa tunggal yaitu AS dan seluruh jaringan bonekanya. Secara sunnatullah tak mungkin sistem berubah hanya dengan proklamasi internal.

Namun, sistem hanya berubah jika setelah proklamasi mampu menghadapi lawan eksternal dan bisa menjinakkannya. Barulah sesudah itu, proklamasi punya pijakan kuat di muka bumi, karena sudah tidak ada angin yang akan menggoyahkannya.

Mazhab ketiga merupakan mazhab yang paling sesuai dengan sunnatullah kemenangan Islam. Rasulullah Saw baru bisa menegakkan sistem Islam di Madinah setelah berhasil melumpuhkan kekuatan kafir Quraisy yang berpusat di Mekah dan koalisinya di seluruh jazirah Arab.
Sebuah mazhab terjal yang hanya dipercaya oleh orang-orang yang mengerti sunnatullah dan yakin dengan pertolongan Allah Ta’ala. Mazhab yang rasanya mustahil diwujudkan, tapi petunjuk arahnya jelas karena banyak diterangkan dalam Al-Qur’an dan sejarah Nabi Saw.

Problemnya hanya perlu kemauan, keberanian dan keyakinan untuk mewujudkannya, dengan izin Allah Ta’ala. Sementara mazhab pertama tampak mudah tapi tak jelas arah. Dan mazhab kedua, sudah cukub bagus hanya belum berpijak pada rel sunnatullah dan aspek global.
 Wallahu Ta’ala ‘Alam.

Kamis, 08 Maret 2018

Untuk Kamu...


image by google

Apakah makna dari jarak yang membentang, jika dua hati yang sering bersama namun tak saling menggenggam -tidak saling cinta tepatnya.
 
Aku sedang menulis ini sambil sesekali melempar pandanganku memperhatikan suasana kafe yang biasa menjadi tempatku menulis. Suasananya cukup ramai karena saat itu adalah malam Minggu. Beberapa muda-mudi yang datang kebanyakan bersama pasangannya.


Di depanku kini ada sepasang kekasih yang sedang berfoto, namun tidak lama kemudian mereka sibuk dengan gadget masing-masing. Sebuah pemandangan yang sudah tidak asing. Menurutku yang menjauhkan dua hati bukanlah jarak yang terhitung pada satuan kilometer saja, tetapi ketika bersama, namun perhatian tersita di hadapan layar kaca. Bagiku, itulah jarak yang sebenarnya paling jauh memisahkan sepasang kekasih. Jarak itulah yang tanpa disadari akan pelan-pelan memudarkan cinta yang dulu terawat dengan baik di hati mereka.

Baiklah, kurasa kita mulai dari sini. Aku tidak sedang membahas tiga paragraf pertama, melainkan tentang banyak pertanyaan tentang kita.

Hai, apa kabarmu sekarang? Semoga kamu baik-baik saja di sana. Jika kamu bertanya perihal ‘kamu’ yang kumaksud itu siapa, anggap saja ‘kamu’ itu adalah seseorang yang ada namun tidak jelas siapa. Semoga kau mengerti untuk tidak menanyakan ulang.

Hai, mungkin malam ini kamu sedang pergi bersama kekasihmu atau orang yang sedang dekat denganmu, atau keluargamu, atau temanmu, atau entahlah siapapun yang sedang bersamamu. Aku tidak tau dan tidak peduli dengan itu. Yang jelas semoga orang itu menjagamu dari dinginnya angin malam dan orang jahat yang bisa mencelakakanmu kapan saja ketika kamu lengah.

Bagaimana hari-harimu kemarin? Apakah menyenangkan seperti yang pernah kau ceritakan dulu saat kita masih sering chatting dan bertemu untuk menikmati kopi sambil menertawakan lucunya kehidupan? Atau kau sedang bersedih karena seseorang yang menyakiti hatimu dengan pergi meninggalkanmu demi orang lain? Ah, semoga saja tidak. Karena jika itu terjadi dan aku mengetahui siapa orangnya, tolong jangan cegah aku untuk membuat orang itu menyesali perbuatannya, atau minimal membuat hidungnya patah.

Jujur saja, aku masih menunggu kabarmu, menunggu kau membalas pesan terakhir yang kirim dulu, namun sampai sekarang pesan itu belum terjawab, bahkan sepertinya tidak pernah kau lihat.
 
Jika kau bertanya sekarang aku bersama siapa, aku akan tersenyum menjawab. “Tidak ada.” Karena aku masih belum berniat membuka hatiku untuk siapapun…, selain kamu. Meskipun aku tau kau tidak tau, atau memang tidak pernah menyadari itu. Dan kamu akan menyadarinya setelah membaca tulisan-tulisan di bawah ini.

Hidup ini rumit untuk orang yang memendam perasaannya, entah dengan alasan apapun. Alasanku untuk memendam perasaan ini adalah agar kau tidak merasa punya kewajiban atau lebih tepatnya beban untuk membalasnya, untuk itulah aku tidak mengungkapkannya dan bersikap biasa saja. Jika ada orang yang memprotes alasanku berdasarkan logika ‘egois’ karena menikmati cinta sendirian, itu sangat salah. Bagi sebagian orang yang mengetahui cintanya tidak akan terbalas, mereka akan terlalu sadar diri dan memilih untuk tidak pernah mengutarakannya karena jika itu dilakukan hanya akan menghancurkan keadaan. 
Orang yang memendam perasaannya bukanlah pengecut atau pecundang yang tidak mempunyai nyali. Melainkan mereka adalah pemberani yang siap untuk menyakiti hatinya sendiri dengan membunuh harapan-harapan yang tidak terbalaskan. Mereka rela melihat dan membuat orang yang dicintainya tersenyum sepanjang hari, meskipun senyum itu tertuju untuk orang lain, orang yang beruntung mendapatkannya.

image by google


Aku tidak membela diri dengan ucapan-ucapan bijak layaknya seorang motivator terkenal yang tahu betul tentang seluk-beluk asam garam kehidupan. Tetapi aku hanya belajar bijak untuk mengontrol diri dan perasaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh diriku sendiri. Ada yang bilang, “Cinta tak harus bersama.” Dan ada orang yang bilang bahwa yang orang mengatakan itu adalah pecundang yang kalah sebelum sempat berjuang. Namun bagaimana jika orang itu sudah memperjuangkannya namun tetap dengan hasil; kekecewaan yang terpaksa ditelan bulat-bulat karena tidak terbalas.

Sebagian orang memilih untuk berhenti sebelum memulai, daripada memulai hanya untuk merusak yang sudah tertata dengan baik.

Hidup memang terkadang tidak adil untuk orang yang jatuh cinta sendirian. Seperti yang pernah dikutip oleh salah satu temanku yang berbunyi, “Orang yang jatuh cinta sendirian keinginannya sederhana, dia hanya ingin berdua.” Tapi bagaimana jika orang yang dicintai oleh orang yang jatuh cinta sendirian itu tidak pernah bisa mencintainya dengan cara apapun? Tolong, ada yang bisa menjawab pertanyaan ini? Dan apabila ada yang menjawab, “Ya tinggalin, terus cari yang lain.” Andai semudah itu, andai orang yang mengatakan itu tau bahwa itu bukanlah sebuah jawaban.

Ada hal yang memang tidak baik bila dipaksakan, salah satunya adalah perasaan, perasaan yang tidak bisa terbalaskan. Cinta ada karena terbiasa bersama. Memang betul untuk sebagian orang yang mengalaminya. Banyak orang yang diluar sana yang akhirnya memutuskan untuk bersama karena memang terbiasa bersama, tetapi bagaimana bila cinta tidak pernah ada meskipun sudah sering dan sangat lama bersama? Tolong, ada yang bisa menjawab pertanyaan ini dengan jawaban yang tepat?

Inilah yang kurasakan bersamamu selama ini. Aku tau aku cinta padamu, dan kamu dan aku tau kamu cinta pada orang lain. Kita bernasib sama, tetapi mengapa kita tak bersama saja karena kesamaan nasib? Karena bagiku itu adalah hal yang menyedihkan. Mengapa? Karena itu semua percuma. Mengapa itu semua percuma? Karena kau menikmati perasaan cintamu pada orang lain itu denganku, tanpa pernah benar-benar mencintaiku. Apakah itu tidak menyedihkan dan sebuah hal tega jika tetap dilakukan?

Tidakkah itu hanyalah kepalsuan yang terpaksa dibenarkan atas nama cinta? Memang, hati bisa mengubah arah yang akan ditujunya, tetapi kalau tidak? Kita akan hancur dalam hitungan mundur. Menghancurkan apa yang telah kita tata dengan baik. Menghancurkan kebersamaan yang kita buat selama ini.

Cinta itu tentang dua hati yang mencari untuk saling menemukan, bukan yang satunya sudah menemukan, namun yang satunya masih sibuk mencari meskipun sudah ditemukan.

Jika itu terjadi pada kita, aku mengartikannya bukan sebagai bahagia, melainkan petaka yang nantinya akan memisahkan kita. Itulah hal yang paling aku takutkan selama ini. Maka, biarlah aku tetap mencintaimu tanpa harus mengungkapkannya apalagi meminta kamu membalasnya. Aku akan selalu bersemangat mencintaimu tanpa pamrih meskipun dalam lubuk hatiku yang terdalam tetap berkeinginan kamu membalasnya.

Level tertinggi kebahagiaan adalah mencintai seseorang yang juga mencintai kita.

Dan aku tau, kita tidak akan pernah mencapai level tertinggi itu. Kita hanya akan tetap mendaki dan terus mendaki, hingga pada suatu titiki kita akan tersesat, dan masing-masing dari kita akan diselamatkan oleh orang yang mencintai kita.

Maafkan aku yang telah merusak semua ini. Maafkan aku yang tega membuatmu menangis karena pengakuanku dulu, yang membuatmu memilih pergi karena tak ingin menyakitiku lebih jauh karena tidak bisa membalasnya. Semoga ada kata maaf yang masih tersedia untukku meskipun itu tidak pernah diucapkan olehmu.
 Aku lupa rasanya menikmati kebersamaan, terakhir kali saat bersamamu, dan kini hanya ada aku dan secangkir kopi yang pahitnya selalu kunikmati setelah kamu pergi.

Aku hanyalah orang yang bukan siapa-siapamu yang lancang mendoakanmu agar kamu selalu bahagia dan baik-baik saja.

Jangan lupa untuk selalu berdoa dan tersenyum seberat apapun hari-harimu. Senyummu adalah pertanda bahwa kamu menikmati pahit dan manis kehidupan di mana pun kamu berada, dan doa adalah pengharapan yang takkan putus untuk bahagiamu di hari esok, hanya itu pesanku.

Minggu, 04 Maret 2018

Takjub

image search by google

Maka jangan lupa memohon pada Alloh SWT,hati yang selalu merasa cukup dengan rezeki yang halal.Sesederhana dan setidak keren apapun bentuknya,agar kita tak mudah takjub dan tergiur pada yang megah-megah,padahal sebenarnya ia syubhat,apalagi haram. Sebab yang meragukan itu melalaikan,yang haram itu menyengsarakan.
Biarlah yang halal itu remeh dimata orang lain,asal kita berbahagia menikmatinya. Biarlah yang halal itu tidak enak di lidah orang lain,asal menegakan punggung kita untuk ibadah. Biarlah yang halal itu tak istimewa dimata orang lain,asal memilikinya menjadi penentram jiwa. Biarlah yang halal itu membuat kita menjadi bukan siapa-siapa dimata manusia asal kita selalu ingat siapa diri kita di hadapan_Nya. Biarlah yang halal itu kecil dimata orang lain,asal besar berkahnya di sisi Rabb kita.
Semoga kita tidak termasuk barisan manusia yg mudah takjub dengan perbendaharaan dunia yang menyilaukan mata. Karena manusia seringkali terjebak dalam ukuran-ukuran kebahagiaan dan kekerenan yang rumit serta memusingkan.
Dunia ini ibarat ruang ujian,tentu banyak pahit getirnya,pasti ada letih dan jerihnya.Tapi semoga,lembaran-lembaran ujian kita dicukupkan di dunai saja,biar akhirat benar-benar menjadi tempat kita berisitirahat.

Minggu, 04 Februari 2018

Sepasang Sandal Jepit



image by google
Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh. betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop ini rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin nggak ketulungan.

"Ummi... Ummi, kapan kamu bisa memasak dengan benar...? Selalu saja, kalau ga keasinan... kemanisan, kalau ga keaseman... ya kepedesan!" Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.
 "Sabar bi... Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul...? "ucap isteriku kalem. "Iya... tapi abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini...! "Jawabku dengan nada tinggi. Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya sudah merebak.

Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan 'baiti jannati' di rumahku. Namun apa yang terjadi...? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal burak (pecah). Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta pora di dapur, dan cucian... ouw... berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada. "Ummi... ummi, bagaimana abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini...?" ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala.




"Ummi... isteri sholihat itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga
harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah...?" Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu. "Ah... wanita gampang sekali untuk menangis," batinku berkata dalam hati. "Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihat...? Isteri shalihat itu tidak cengeng," bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai dipipinya. "Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja untuk jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali," ucap isteriku diselingi isak tangis. "abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda..." Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.

Bi... siang nanti antar Ummi ngaji ya...?" pinta isteriku. "Aduh, Mi... abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?" ucapku. "Ya sudah, kalau abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan," jawab isteriku. "Lho, kok bilang gitu...?" selaku. "Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam bus dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa," ucap isteriku lagi. "Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja," jawabku ringan.

Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. "Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu," aku membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi luruh.

"Oh... bukankah ini sandal jepit isteriku?" tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus. "Maafkan aku Maryam," pinta hatiku. "Krek..." suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaya gelap dan berjilbab hitam melintas.

"Ini dia mujahidahku!" pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri. Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: "Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya." Sedang aku...? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku...? terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terdzalim!!! "Maryam...!" panggilku, ketika tubuh berbaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. "Abi...!" bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang ini. "Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?" sesal hatiku.

Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. "Alhamdulillah, jazakallahu..." ucapnya dengan suara tulus. Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud dan 'iffah' sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku...? Semoga berguna bagi kita semua...amin ya rabbal alamien...


Buat para mujahid dakwah... renungkanlah kisah sandal jepit ini, dan tanyalah hati kita sejauh mana perhatian kita (bukan hanya soal sandal dll) terhadap sosok makhluk bernama istri di tengah2 kesibukan kita...

Kamis, 31 Agustus 2017

Syarat Talak


Para ulama membagi syarat sahnya talak menjadi tiga macam: (1) berkaitan dengan suami yang mentalak, (2) berkaitan dengan istri yang ditalak, dan (3) berkaitan dengan shighoh talak. Kesemua syarat ini tidak dibahas dalam satu tulisan. Kami akan berusaha secara perlahan sesuai dengan kelonggaran waktu kami. Untuk saat ini kita akan melihat manakah saja syarat yang berkaitan dengan suami yang akan mentalak.

Syarat Berkaitan dengan Orang yang akan Mentalak

Pertama: Yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah.

Syarat ini maksudnya adalah antara pasangan tersebut memiliki hubungan perkawinan yang sah. Seandainya tidak ada nikah, lalu dikatakan, “Saya mentalakmu”, seperti ini termasuk talak yang tidak sah. Atau belum menikah lalu mengatakan, “Jika menikahi si fulanah, saya akan mentalaknya”. Padahal ketika itu belum nikah, seperti ini adalah talak yang tidak sah.

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ نَذْرَ لاِبْنِ آدَمَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ عِتْقَ لَهُ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ وَلاَ طَلاَقَ لَهُ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ

“Tidak ada nadzar bagi anak Adam pada sesuatu yang bukan miliknya. Tidak ada membebaskan budak pada budak yang bukan miliknya. Tidak ada talak pada sesuatu yang bukan miliknya.”[1]

Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka ....” (QS. Al Ahzab: 49). Dalam ayat ini disebut kata talak setelah sebelumnya disebutkan nikah. Ini menunjukkan bahwa yang mentalak adalah benar-benar suami yang sah melalui jalan pernikahan. Seandainya ada yang kumpul kebo (sebutan untuk sepasang pria wanita yang hidup bersama tanpa melalui jalur nikah), lalu si pria mengajukan cerai, seperti ini tidak jatuh talak sama sekali.

Kedua: Yang mengucapkan talak telah baligh.

Ini bisa saja terjadi pada pasangan yang menikah pada usia belum baligh.

Mayoritas ulama berpandangan bahwa jika anak kecil yang telah mumayyiz (bisa membedakan bahaya dan manfaat, baik dan jelek) atau belum mumayyiz menjatuhkan talak, talaknya dinilai tidak sah. Karena dalam talak sebenarnya murni bahaya, anak kecil tidaklah memiliki beban taklif (beban kewajiban syari’at).

Dalam hadits ‘Aisyah, Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَكْبَرَ

“Pena diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, orang yang hilang ingatan sampai kembali ingatannya dan anak kecil sampai ia dewasa.”[2]

Ulama Hambali berpandangan bahwa talak bagi anak kecil tetap sah. Mereka berdalil dengan hadits,

كُلُّ طَلاَقٍ جَائِزٌ إِلاَّ طَلاَقَ الْمَعْتُوهِ الْمَغْلُوبِ عَلَى عَقْلِهِ

“Setiap talak itu boleh kecuali talak yang dilakukan oleh orang yang kurang akalnya.”[3] Namun hadits ini mauquf (hanya perkataan sahabat).

Pendapat mayoritas ulama (jumhur), itu yang lebih tepat. Wallahu a’lam.

Ketiga: Yang melakukan talak adalah berakal.

Dari sini, tidak sah talak yang dilakukan oleh orang gila atau orang yang kurang akal. Yang menjadi dalil adalah hadits ‘Aisyah yang disebutkan di atas. Talak yang tidak sah yang dimaksudkan di sini adalah yang dilakukan oleh orang yang gila atau orang yang kurang akal yang sifatnya permanen. Jika satu waktu hilang akal, waktu lain sadar. Jika ia mentalaknya dalam keadaan sadar, maka jatuh talak. Jika dalam keadaan tidak sadar, tidak jatuh talak.

Dalam pembahasan ini, para ulama biasa menyinggung bagaimanakah ucapan talak yang diucapkan oleh orang mabuk, orang dalam keadaan tidur, dan yang hilang kesadaran semacam itu. Insya Allah pembahasan tersebut akan kami kaji dalam serial berikutnya.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimuush sholihaat.





Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah, hal. 235-237.

[1] HR. Tirmidzi no. 1181 dan Ahmad 2/190. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits hasan shahih.

[2] HR. Abu Daud no. 4398, At Tirmidzi no. 1423, Ibnu Majah no. 2041. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[3] HR. Tirmidzi no. 1191. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if, namun shahih jika mauquf (perkataan sahabat).


Keempat: Memaksudkan untuk mengucapkan talak atas pilihan sendiri.

Yang dimaksudkan di sini adalah orang yang mengucapkan talak atas kehendak sendiri mengucapkannya tanpa ada paksaan, meskipun tidak ia niatkan.

Jika ada seorang guru mengucapkan talak dalam rangka mengajarkan murid-muridnya mengenai hukum talak, maka tidak jatuh talak. Karena guru tersebut tidak memaksudkan untuk mentalak istrinya, namun dalam rangka mengajar. Begitu pula jika ada seseorang mengucapkan lafazh talak dengan bahasa yang tidak ia pahami, maka sama halnya tidak jatuh talak. Ini disepakati oleh para ulama.

Ada beberapa masalah yang perlu kita tinjau dari orang yang mengucapkan talak berikut ini, apakah telah jatuh talak ataukah tidak.

1. Orang yang keliru

Orang yang keliru di sini bukanlah orang yang sedang bermain-main atau bergurau. Namun lisannya salah mengucap, sudah terlancur mengucapkan talak tanpa ia maksudkan. Seperti niatannya ingin berkata, “Anti thohir (kamu itu suci)”. Eh malah keliru ucap menjadi, “Anti tholiq (kamu ditalak)”. Menurut jumhur, seperti ini tidaklah jatuh talak. Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah memaafkan dosa dari umatku ketika ia keliru, lupa dan dipaksa”.[1]

2. Orang yang dipaksa

Begitu pula orang yang dipaksa tidak jatuh talak. Demikian menurut pendapat mayoritas ulama. Dalilnya di antara adalah hadits yang telah disebutkan di atas. Dan juga hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَلاَقَ وَلاَ عَتَاقَ فِى غَلاَقٍ

“Tidak jatuh talak dan tidak pula dianggap merdeka dalam suatu pemaksaan”.[2]

Kapan seseorang disebut dipaksa? Kata Ibnu Qudamah, disebut dipaksa jika memenuhi tiga syarat:

a. Orang yang memaksa punya kekuatan atau bisa mengalahkan seperti pencuri dan semacamnya.

b. Yakin akan terkena ancaman jika melawan

c. Akan menimbalkan dhoror (bahaya) besar jika melawan seperti dibunuh, dipukul dengan pukulan yang keras, digantung, dipenjara dalam waktu lama. Adapun jika hanya dicela, maka itu bukan namanya dipaksa. Begitu pula jika hanya diambil harta yang jumlahnya sedikit, bukan pula disebut dipaksa.[3]

3. Orang yang sedang marah

Keadaan marah ada beberapa bentuk:

a. Marah dalam keadaan sadar, akal dan pikiran tidaklah berubah, masih normal. Ketika itu, masih dalam keadaan mengetahui maksud talak yang diutarakan. Marah seperti ini tidak diragukan lagi telah jatuh talak. Dan bentuk talak seperti inilah yang umumnya terjadi.

b. Marah sampai dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa atau hilang kesadaran dan tidak paham apa yang diucapkan atau yang dimaksudkan. Seperti ini tidak jatuh talak dan tidak ada perselisihan pendapat di dalamnya.

4. Orang yang safiih (idiot atau kurang akal)

Yang dimaksud adalah orang yang tidak bisa membelanjakan hartanya dengan benar. Menurut mayoritas ulama, talak dari orang yang safiih itu jatuh karena ia masih mukallaf (dibebani syari’at) dan punya kemampuan untuk mentalak.

5. Orang yang sakit menjelang kematian

Hal ini dilakukan suami di antaranya agar istri tidak mendapatkan waris. Menurut pendapat yang kuat, talaknya jatuh karena dilakukan atas kehendak dan pilihan suami. Dan jika talaknya jatuh, berarti istri tidak mendapatkan hak waris.

Namun jika ketika akan meninggal dunia, talak yang dilakukan masih talak rujuk (bukan talak ba-in), lalu istri atau suami yang meninggal dunia, maka masih mewarisi berdasarkan kesepakatan para ulama.


Referensi:

Al Mughni, ‘Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi, terbitan Darul Fikr, cetakan pertama, 1405 H.

Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Saalim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.

[1] HR. Ibnu Majah no. 2045. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[2] HR. Abu Daud no. 2193. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan

[3] Lihat Al Mughni, 8: 260.

Teruntuk Wahai Kau Wanitaku..(Wanita Adalah Aurat)


image search by google


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ ، وَإِنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ، وَإِنَّهَا لاَتَكُوْنُ أَقْرَبَ إِلَى اللهِ مِنْهَا فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا

Wanita itu aurat, jika ia keluar dari rumahnya maka setan mengikutinya. Dan tidaklah ia lebih dekat kepada Allâh (ketika shalat) melainkan di dalam rumahnya

TAKHRIJ HADITS:

Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh :
1. at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausâth, no. 2911 dari Shahabat Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma
2. at-Tirmidzi, no. 1173
3. Ibnu Khuzaimah, no. 1685, 1686
4. Ibnu Hibbân, no. 5559, 5570-at-Ta’lîqâtul Hisân), dari Shahabat Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu
5. at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausâth, no. 8092
Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, ”Hadits ini hasan shahîh gharib.” Dishahihkanoleh Imam al-Mundziri, beliau mengatakan, “Hadits ini diriwayatkan oleh at-Thabrani t dalam al-Mu’jamul Ausâth dan rawi-rawinya yang shahih.” Lihat Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb (I/260, no. 344). Dishahihkan juga oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2688) dan Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb (no. 344, 346).

SYARAH HADITS:

(اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ)maksudnya ialah aurat manusia. Setiap ia merasa malu darinya (jika terlihat-pent) maka disandarkan padanya wajib menutupinya.

إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

Yakni asal dari al-isyrâf adalah meletakkan telapak tangan di atas alis saat mengangkat kepala agar bisa melihat. Maksudnya yaitu setan mengangkat pandangannya kearah wanita untuk menyesatkannya dan menyesatkan orang lain dengannya, sehingga salah satunya atau kedua-keduanya terjatuh dalam fitnah. Bisa jadi yang dimaksud dengan kata setan di atas adalah setan dari jenis manusia, yaitu orang fasik. Karena jika orang fasik tersebut melihat wanita keluar dan menampakkan diri, maka ia langsung memandangnya lekat-lekat. Jadilah setan menyesatkan keduanya. Apabila wanita tetap berada di dalam rumahnya, maka setan tidak akan mampu untuk menyesatkannya dan menyesatkan manusia dengan (perantara)nya. Tetapi apabila wanita keluar dari rumahnya, maka setan akan sangat berambisi (untuk menyesatkannya dan menyesatkan orang lain dengannya), karena ia termasuk dari buhul-buhul (jerat-jerat dan perangkap) setan. Dan ini adalah anjuran kepada wanita agar ia tetap berada dalam rumahnya.[1]

KEWAJIBAN MENUTUP AURAT

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allâh, mudah-mudahan mereka ingat.” [al-A’râf/7:26]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat tersebut, “Kata al-libâs dalam ayat tersebut berarti penutup aurat, sedangkan kata ar-rîsy atau ar-riyâsy berarti sesuatu yang digunakan untuk menghias diri. Jadi, pakaian merupakan sesuatu yang bersifat primer (pokok), sedangkan perhiasan hanya sebagai pelengkap dan tambahan.”[2]

Dalam ayat ini diperintahkan laki-laki dan wanita untuk berpakaian menutup aurat mereka. Laki-laki batasan auratnya dari perut/pusar sampai dengan lutut, sedangkan wanita seluruh tubuhnya adalah aurat.

Dari Jarhad al-Aslami Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewatinya sedangkan dia dalam keadaan terbuka pahanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ

Sesungguhnya paha adalah aurat.[3]

Juga dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seseorang yang pahanya terlihat, maka beliau bersabda :

غَطِّ فَخِذَكَ، فَإِنَّ فَخِذَ الرَّجُلِ مِنَ عَوْرَتِهِ

Tutuplah pahamu, karena sesungguhnya paha laki-laki termasuk aurat.[4]

Diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلَا تَنْظُرُ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ

Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lainnya, dan seorang wanita tidak boleh melihat aurat wanita lainnya[5]

Saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang aurat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :

اِحْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجِكَ أَوْ مَامَلَكَتْ يَمِيْنُكَ، فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِذَا كَانَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ فِيْ بَعْضٍ؟ قَالَ: إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لاَ يَرَيَنَّهَا أَحَدٌ فَلاَ يَرَيَنَّهَا ، فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِذَا كَانَ أَحَدُنَا خَالِيًا؟ قَالَ: اَللهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنَ النَّاس

Jagalah auratmu kecuali dari isterimu atau budak wanita yang engkau miliki ! lalu beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika suatu kaum bercampur baur dengan yang lainnya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika engkau sanggup agar seseorang tidak melihatnya, maka janganlah ia melihatnya,” kemudian beliau ditanya, “Bagaimana jika seseorang telanjang dan tidak seorang pun melihatnya?” Beliau menjawab, “Allâh lebih berhak untuk engkau merasa malu dari-Nya daripada manusia.”[6]

Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ" (wanita adalah aurat), artinya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali anggota badan yang tidak diperkecualikan oleh syari’at. Wanita wajib menutup seluruh tubuhnya. Yang jadi masalah apakah muka wanita adalah aurat. Terjadi ikhtilaf di antara para ulama dalam masalah ini.

Sesungguhnya para Ulama telah bersepakat bahwa seorang wanita wajib menutupi seluruh tubuhnya, perbedaan yang mu’tabar (dianggap) hanya terjadi pada wajah dan kedua telapak tangan.

Sebagian Ulama berpendapat bahwa menutup wajah dan kedua telapak tangan hukumnya wajib. Mereka berhujjah dengan beberapa dalil, di antaranya adalah :

1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ

Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir! [al-Ahzâb/33:53]

Para Ulama yang berpendapat wajib menutup wajah berargumen, “Sesungguhnya dalil tersebut mencakup seluruh kaum wanita karena semuanya masuk ke dalam alasan diwajibkannya menggunakan penutup (hijab), yaitu kesucian hati.”

2. Firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allâh Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [al-Ahzâb/33:59]

Mereka menafsirkan kata yudnîna yang ada di dalam ayat dengan menutup seluruh wajah dan hanya menampakkan satu mata saja untuk melihat.

Sementara kelompok Ulama yang lain berpendapat boleh hukumnya membuka wajah dan telapak tangan bagi seorang wanita, dan sesungguhnya menutup keduanya hanya sekedar mustahab (sunnah). Mereka berhujjah dengan beberapa dalil, di antaranya :

1. Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

”...Dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat...” [an-Nûr/24:31]

Mereka berkata “yang biasa nampak” maksudnya adalah wajah dan kedua telapak tangan.

2. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Asmâ’ binti Abu Bakar Radhiyallahu anhuma datang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memakai pakaian yang tipis, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya dengan bersabda:

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيْضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا، وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ.

Wahai Asma! Sesungguhnya jika seorang wanita telah mencapai haidh, maka tidak boleh dilihat darinya kecuali ini dan ini. Beliau mengisyaratkan wajah dan kedua telapak tangan.[7]

3. Hadits Jâbir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, tentang nasihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum wanita pada hari Raya. Di dalamnya diungkapkan, “ ... Lalu seorang wanita yang duduk di tengah-tengah (kaum wanita) yang kehitam-hitaman kedua pipinya berdiri dan berkata, ‘Kenapa Rasûlullâh?’[8]

Mereka berkata, ucapan Jabir “yang kehitam-hitaman di kedua pipinya” merupakan dalil bahwa ia membuka wajahnya sehingga terlihat kedua pipinya.

4.Hadits Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma tentang kisah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membonceng al-Fadhl bin ‘Abbâs ketika haji Wada’ dan seorang wanita yang meminta fatwa kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dalam kisaha itu disebutkan, “Lalu al-Fadhl bin Abbâs Radhiyallahu anhuma menatapnya, ia adalah seorang wanita yang cantik, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang dagu al-Fadhl Radhiyallahu anhu dan memalingkan wajahnya ke arah yang lain.”[9]

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Seandainya wajah itu adalah aurat maka wajib ditutupi, sementara beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membiarkannya terbuka di hadapan orang-orang, dan niscaya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya agar mengulurkan kerudung dari atas kepala. Dan seandainya wajah si wanita itu tertutup, niscaya Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma tidak akan mengetahui apakah wanita itu cantik atau tidak.”[10]

5. Hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dahulu para wanita Mukminah hadir bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat Fajar dengan pakaian wol yang menutupi semua badan mereka. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka ketika mereka selesai melaksanakan shalat, tidak ada seorang pun mengenali mereka karena gelapnya akhir malam.”[11]

Mereka berkata. “Yang terpahami dari hadits di atas adalah bahwa jika tidak ada kegelapan, niscaya mereka akan dikenal dan biasanya mereka bisa diketahui dari wajah yang terbuka.”[12]

Pendapat jumhur Ulama ini yang paling kuat bahwa wajah wanita bukan aurat. Apabila mereka memakai cadar itu lebih baik, tapi hukumnya adalah mustahabb (sunnah) bukan wajib. Dan hal ini sesuai dengan kemudahan syari’at Islam untuk seluruh wanita Islam di seluruh dunia.[13]

image search by google



MENGINGKARI WANITA YANG MENAMPAKKAN WAJAHNYA (TIDAK MENGENAKAN CADAR)

Imam Abu Abdillah bin Muflih al-Maqdisi yang terkenal dengan Ibnu Muflih rahimahullah (wafat th. 762 M), beliau berkata[14] , “Bolehkah mengingkari wanita yang menampakkan wajahnya di jalan-jalan ? Dengan dalih wajibkah bagi wanita menutup wajahnya, ataukah para laki-laki wajib menundukkan pandangan darinya ? Atau ada dua pendapat dalam masalah ini ?

عَنْ جَرِيْر بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظَرِ الْفَجْأَةِ؟ فَقَالَ: اِصْرِفْ بَصَرَكَ

Dari Jarîr bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang melihat (wanita-pent) dengan tiba-tiba (tidak sengaja-pent), maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Palingkanlah pandangan-mu!’”[15]

al-Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullah berkata tentang hadits Jarîr Radhiyallahu anhu, para Ulama berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat hujjah bahwa tidak wajib bagi seorang wanita untuk menutupi wajahnya di jalan (ketika dia keluar rumah-pent), sesungguhnya itu hanyalah sunnah yang dianjurkan bagi wanita. Dan wajib bagi laki-laki untuk menundukkan pandangan darinya dalam berbagai keadaan, kecuali jika memiliki tujuan yang sah dan syar’i.”[16]

Imam asy-Syaukâni rahimahullah berkata, “Kesimpulannya, bahwa wanita boleh menampakkan tempat-tempat yang biasa dihias padanya jika memang diperlukan ketika menjalankan sesuatu, seperti jual beli dan persaksian. Maka itu menjadi pengecualian dari keumuman pelarangan tentang menampakkan anggota-anggota badan yang biasa dihiasi. Hal ini dikarenakan tidak adanya tafsir yang marfû’.”[17]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pembahasan hadits di atas :

...وَإِنَّهَا لاَتَكُوْنُ أَقْرَبَ إِلَى اللهِ مِنْهَا فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا.

...Dan tidaklah ia lebih dekat kepada Allâh (ketika shalat) melainkan (ketika shalat) di dalam rumahnya.”

Maksudnya bahwa wanita shalat di dalam rumahnya lebih baik daripada shalat di masjid. Karena di dalam rumahnya dia lebih dekat kepada Allâh dan akan terhindar dari fitnah. Ada beberapa hadits yang menganjurkan wanita shalat didalam rumahnya, di antaranya;

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ، وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

Janganlah kalian melarang kaum wanita yang hendak mendatangi masjid, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.[18]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَا اللهِ، وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ.

Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allâh yang perempuan mendatangi masjid Allâh. Hanya saja, hendaklah mereka keluar dalam keadaan tidak mengenakan parfum.[19]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu juga, bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُوْرًا، فَلاَ تَشْهَدَنَّ مَعَنَا الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ.

Siapa saja wanita yang memakai wewangian maka ia tidak boleh shalat ‘Isya` bersama kami.[20]

Yang terbaik bagi kaum wanita adalah shalat di rumah mereka. Dasarnya adalah hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma di atas :

...وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ.

... dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka

Dari Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda :

صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِىْ بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِىْ حُجْرَتِهَا، وَصَلاَتُهَا فِى مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِىبَيْتِهَا.

Shalat seorang wanita di dalam kamarnya lebih utama dari pada shalatnya di ruang tamunya. Dan shalatnya di ruang pribadinya[21] lebih baik dari pada shalatnya di rumahnya[22].

FAWA-ID

1. Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali yang dikecualikan oleh syari’at.
2. Wanita wajib menutup auratnya dengan sempurna.
3. Wanita bila akan keluar rumah, wajib memakai jilbab yang sempurna dan sesuai tuntunan syar’i.
4. Haram bagi wanita memakai pakaian yang ketat, tipis, dan tembus pandang karena dapat menggambarkan aurat dan menampakkan bentuk tubuh.
5. Busana muslimah dengan mode-mode yang ketat, tipis, tembus pandang, adalah busana yang tidak syar’i.
6. Wanita adalah fitnah yang sangat berbahaya bagi laki-laki.
7. Perangkap setan untuk merusak manusia adalah wanita, sebab dengan terbukanya aurat wanita, maka wanita dan laki-laki akan menjadi rusak.
8. Wanita dianjurkan untuk tetap tinggal di rumahnya berdasarkan ayat dalam al-Qur-an Surat al-Ahzâb ayat ke-33.
9. Bila wanita keluar dari rumahnya, maka dia menjadi perangkap setan.
10. Setan menghiasi wanita, baik bagian depan maupun bagian belakangnya
11. Wanita lebih dekat kepada Allâh Azza wa Jalla bila berada di dalam rumahnya.
12. Shalat wanita di dalam rumahnya lebih baik daripada di masjid.
13. Bila wanita ingin ke masjid, maka dia tidak boleh memakai parfum, bersolek, dan lainnya, namun rumah mereka lebih baik bagi mereka.

MARAAJI’

1. al-Qur’ûnul Karîm.
2. Tafsîr Ibnu Katsîr, cet. Daar Thaybah.
3. Kutubussittah.
4. al-Mu’jamul Ausâth, Imam ath-Thabrani.
5. Shahîh Ibni Khuzaimah.
6. Shahîh Ibni Hibbân (at-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibbân).
7. Syarhus Sunnah, Imam al-Baghawi.
8. Fat-hul Bâri, cet. Daarul Fikr.
9. al-Âdâb Asy-Syar’iyyah, karya Ibnu Muflih. Tahqiq: Syu’aib al-Arna-uth dan Umar al-Qayyam, Mu-assasah ar-Risalah
10. at-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ish Shaghîr, karya Imam as-Shan’ani. Tahqiq: DR. Muhammad Ishaq Muhammad Ibrahim.
11. Nailul Authâr, Imam asy-Syaukani.
12. Irwâ-ul Ghalîl
13. Jilbâbul Mar-atil Muslimah
14. ar-Raddul Mufhim ‘ala Man Khâlafal ‘Ulamaa` wa Tasyaddada wa Ta’ashshaba wa Alzama al Mar-ata an Tastura Wajhaha wa Kaffaiha wa Aujaba wa lam Yaqna’ Biqaulihim Innahu Sunnatun, Syaikh al-Albani, cet. Maktabah al-Islamiyyah.
15. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
16. Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb.
17. Fiqhus Sunnah lin Nisâ’.

[.]
________
Footnote
[1]. at-Tanwîr Syarh al-Jâmi’ish Shaghîr (X/474), karya Imam as-Shan’ani. Tahqiq: DR. Muhammad Ishaq Muhammad Ibrahim.
[2]. Tafsîr Ibnu Katsiir (III/399-400), cet. Daar Thaybah.
[3]. Shahih: HR. at-Tirmidzi (no. 2795, 2797), Abu Dâwud (no. 4014), dan al-Bukhâri secara ta’lîq dalam Fat-hul Bâri (I/478-479). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ-ul Ghalîl (I/297-298).
[4]. Shahih: HR. Ahmad (I/275), at-Tirmidzi (no. 2796),dan al-Bukhari secara ta’liq dalam Fat-hul Bâri (I/478-479), cet. Daarul Fikr. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ-ul Ghalîl (I/297-298).
[5]. Shahih: HR. Muslim (no.338 [74]) dan at-Tirmidzi (no. 2793).
[6]. Hasan: HR. Abu Dawud (no. 4017), at-Tirmidzi (no. 2769, 2794), Ibnu Majah (no. 1920), Ahmad (V/3-4), dan lainnya.
[7]. Hasan lighairihi: HR. Abu Dawud (no. 4104). Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dengan beberapa syawâhid (penguat)nya. Lihat kitab Jilbâbul Mar-atil Muslimah (hlm. 57-60).
[8]. Shahih: HR. Muslim (no. 885), an-Nasa-i (I/233), dan Ahmad (III/318).
[9]. Shahih:HR. al-Bukhâri (no. 6228) dan Muslim (no. 1218).
[10]. Al-Muhalla (III/218.
[11]. Shahih:HR. al-Bukhâri (no. 578) dan Muslim (no. 645).
[12]. Fiqhus Sunnah lin Nisâ’ (hlm. 382-385), karya Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim.
[13]. Lihat masalah ini dalam kitab Jilbâbul Mar-atil Muslimah, al-Maktabah al-Islamiyyah, dan kitab ar-Raddul Mufhim cet. Maktabah al-Islamiyyah. Kedua kitab ini karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah .
[14]. al-Âdâb Asy-Syar’iyyah (I/296), karya Ibnu Muflih. Tahqiq: Syu’aib al-Arna-uth dan Umar al-Qayyam, Mu-assasah ar-Risalah.
[15]. Shahih: HR. Muslim (no. 2159), Abu Dâwud (no. 2148), at-Tirmidzi (no. 2776), dan Ibnu Hibbân (no. 5571).
[16]. Disebutkan oleh Syaikh Muhyiddin an-Nawawi dan beliau tidak menambahkannya. Lihat Syarh Shahîh Muslim (XIV/139).
[17]. Nailul Authâr (XII/56), Imam asy-Syaukani, tahqiq Muhammad Subhi bin Hasan Hallaq.
[18]. Shahih:HR. Abu Dawud (no. 567), Ahmad (II/76-77), Ibnu Khuzaimah (no. 1684), al-Baihaqi (III/131), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 864).
[19]. Shahih:HR. Abu Dawud (no. 565), Ahmad (II/438), al-Humaidi (no. 978), Ibnu Khuzaimah (no. 1679), dan lainnya. Lafazh ini milik Abu Dâwud. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Irwâ-ul Ghalîl (no. 515).
[20]. Shahih: HR. Muslim (no. 444), Abu Dâwud (no. 4175), dan an-Nasa-i (VIII/154).
[21]. Kata اَلْمَخْدَعُ (al-Makhda’) artinya ruang khusus yang terletak di bagian paling ujung (tersembunyi) di dalam rumahnya. (Faidhul Qadîr, VI/293, cet. Daarul Kutub al-‘Ilmiyyah)
[22]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 570) dan Ibnu Khuzaimah (no. 1690).