Maka marilah kita kita membuka mata dan merenungkannya
dengan pikiran yang jernih mengapa perceraian dibenci oleh Allah. Tak lain
karena perceraian pada hakikatnya bukanlah solusi untuk mengatasi masalah,
melainkan cara untuk melarikan diri dari masalah. Padahal Allah lebih mencintai
orang-orang yang tekun dan sabar dalam perjuangannya sebagaimana firman-Nya:
…Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. [Q.S.
an-Nisaa' 4:19]
Kalaulah surga yang menjadi tujuan kita, seberat apa pun
perjuangan dan pengorbanan yang harus dilakukan, kita akan tetap berupaya
mempertahankan keutuhan pernikahan. Bahkan, pernikahan yang di dalamnya penuh
dengan onak dan duri, bila disikapi dengan positif, merupakan “jalan pintas”
yang disediakan Allah untuk memperoleh surga-Nya.
Tidak dapat
dipungkiri fakta berkata bahwa banyak sekali orang yang buta akan hukum
keluarga khususnya bila ada orang yang mengalami musibah masalah keluarga
seperti “perceraian”. Diperkirakan 80% problema hukum keluarga terbesar adalah
tentang hukum perceraian. Dan pada kenyataannya di Pengadilan Agama setiap hari
menerima setumpuk gugatan perceraian. Luar biasa! Padahal budaya Timur kita
seharusnya men-sakral-kan arti sebuah perkawinan, tapi fakta berkata lain.
Setiap tahun grafik perkara perceraian terus meningkat dan tentunya makin
banyak korban dari akibat perceraian itu sendiri, siapakah korban perceraian?
Tidak bukan adalah anak-anaknya mereka sendiri.
Namun, memang perceraian hadir ditengah-tengah kehidupan
tanpa diundang dan tidak diinginkan, sama halnya dengan hidup-mati, nasib dan
rezeki manusia. . . . . tiada orang yang tau, manusia hanya bisa berusaha tapi
Tuhan yang menentukan. Sama halnya dengan 'perceraian' itu sendiri.
Perceraian merupakan suatu proses dimana sebelumnya pasangan
tersebut sudah (pasti) berusaha untuk mempertahankannya namun mungkin jalan
terbaiknya adalah suatu "perceraian". Oleh sebab itu, situs ini juga
memberikan "konsultasi cuma-cuma" untuk mendiskusikan permasalahan
rumahtangga guna semata-mata untuk mendamaikan, meng-urungkan niatnya bercerai,
bahkan bila memungkinkan kami bersedia dijadikan mediator agar solusi masalah
keluarganya terselesaikan, namun keputusan tetap di tangan orang itu sendiri
karena dia-lah yang tau apa yang terbaik buat kehidupannya.
Mohon dimengerti bahwa terkadang perceraian harus terjadi
untuk meghindari KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), untuk perlindungan
anak-anaknya yang masih balita, untuk masa depan anak-anaknya, atau malah untuk
mendapatkan keturunan. Bila perceraian harus terjadi oleh alasan-alasan
tersebut, bukankah itu suatu keputusan yang "arif-bijaksana".
Oleh sebab itu, ternyata dalam berproses perceraian di
pengadilan itu banyak sekali orang-orang tersesa
Cerai yang dalam bahasa ‘Arab di sebut “Ath-tholaaq” itu
mengandung arti memutuskan atau meninggalkan. Menurut istilah, cerai adalah
melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.
Di dalam Islam, pada prinsipnya perceraian itu di larang,
kecuali, kalau ada alasan-alasan obyektif yang menuntut adanya sebuah
perceraian antara suami isteri.
Dari Ibn ‘Umar r.a., ia telah menyampaikan, Rasuulullaah SAW
telah bersabda : “Perbuatan halal yang paling di benci oleh Allah (Ta’alaa)
adalah perceraian”. (Hadits Riwayat Abu Daud).
Mengapa perceraian antara suami isteri itu halal namun di
benci oleh Allah SWT ?
Perceraian itu di benci oleh Allah SWT karena perbuatan
tersebut dapat di golongkan termasuk ke dalam sikap kufur (tidak bersyukur)
terhadap nikmat-nikmat yang telah di berikan oleh Allah SWT. Sebab, di dalam
pernikahan itu terdapat beberapa kenikmatan yang telah di berikan oleh Allah
SWT ciptakan melalui hukum alam kemanusiaan. Sedangkan, sikap kufur nikmat di
dalam Islam itu sangat di larang. Oleh sebab itu, perceraian itu tidak di
perbolehkan selain dalam keadaan darurat.
Keadaan darurat yang amat beragam itu mempengaruhi penerapan
hukum perceraian. Sehingga, ada kalanya wajib, haram, nadb, dan ada kalanya
pula mubah.
Jenis-jenis penerapan hukum perceraian dapat di lakukan
dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Wajib cerai
adalah perceraian yang harus di lakukan oleh seorang suami atas dasar keputusan
Hakim terhadap suami isteri yang di landa konflik kronis, sehingga, sukar untuk
di rukunkan lagi. Demikian pula, bagi seorang suami yang meng-ila isterinya,
dan, telah berlalu waktu tunggu selama 4 bulan, dengan tidak ada tanda-tanda
kebaikan.
b. Haram Cerai
adalah perceraian yang di lakukan tanpa alasan apa-apa. Para ‘ulama berpendapat
bahwa hukum perbuatan tersebut adalah haram, karena, tindakan seperti itu tidak
hanya membawa mudlarat (bahaya) bagi isterinya, tapi juga bagi dirinya dan
anak-anaknya.
c. Nadb (sunnah)
Cerai adalah perceraian yang di lakukan oleh suami karena sebab seorang suami
melihat bahwa isterinya itu selalu tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban
agama, seperti, meninggalkan sholat, puasa, dan kewajiban-kewajiban lainnya,
dan tidak mempedulikan berbagai larangan agama, serta, sulit sekali
memperbaikinya.
d. Mubah Cerai
yaitu perceraian yang di lakukan oleh seorang suami terhadap isterinya karena
sebab akhlaqnya yang tidak baik, pelayanannya tidak harmonis, dan,
tindakan-tindakannya tidak terpuji, yang membuat tujuan berumah tangga tidak
dapat tercapai.
Bagaimana mengenai hak men-cerai-kan ?
Menurut Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia
No.1 tahun 1974, perceraian itu harus di lakukan di depan sidang Pengadilan
Agama (Pasal 39 ayat 1), setelah pengadilan itu tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
Menurut ketentuan di dalam hukum Islam itu adalah hanya
seorang suami yang berhak menceraikan. Walaupun demikian, pengajuan gugatan
cerai dapat pula di lakukan oleh seorang isteri terhadap suaminya atau melalui
kuasa hukumnya.
Mengapa hak cerai itu hanya ada pada seorang suami ?
Karena, seorang suami yang berkewajiban memberi nafkah
kepada isterinya, memberikan tunjangan pada saat perceraian dan nafkah hidup
mantan isterinya selama masa ‘iddah. Selain itu pula, secara alamiah, laki-laki
lebih bersikap rasional dari wanita, sehingga seorang suami tidak akan mudah
melontarkan kata-kata cerai hanya karena persoalan-persoalan sepele.
Apakah perceraian antara suami isteri itu ada hikmahnya
menurut Islam ?
Perceraian mengandung beberapa hikmah, yaitu :
a. Menghindarkan
diri dari kesulitan hidup akibat hubungan yang tidak cocok antara suami dengan
isterinya, yang sekiranya di pertahankan terus akan semakin bertambah
kesulitannya.
b. Menghindarkan
diri dari perbuatan selingkuh dengan orang lain di luar pasangannya, sebagai
akibat dari pernikahan yang tidak kafa-ah (sesuai/cukup/cocok) dan melemahkan
gairah seksual.
DAMPAK DARI SEBUAH
PERCERAIAN
Bisa negatif dan bisa positif bro.
Negatif, karena pokok gugatan berasal dari ego
masing-masing. Biasanya anak yang menjadi korban.
Positif, bila salah satu diantara pasangan tsb melakukan
tindakan tidak terpuji atau bahkan melampiaskan kekesalan pada anak. Dengan
bercerai akan menyelesaikan masalah. Satu sisi yang mempunyai ego akan terlepas
seperti burung terlepas dari sangkar. Sisi lain akan memberikan ketenangan bagi
lainnya karena tidak ada rongrongan. Serta bagi anak juga terlepas dari siksaan
akibat pelampiasan kekesalan dengan catatan anak mengikuti orang tua yang
bertanggung jawab.
Dan bagiku lebih baik bercerai, memang psikologi anak
terganggu. Tapi apakah akan menjamin anak lebih dewasa serta tidak meniru
perbuatan buruk orangtuanya yang sering bertengkar dihadapannya. Dan ceraipun
bisa rujuk lagi. Jadi dengan kata lain, cerai itu akan membuat kedua belah
pihak intropeksi diri dan menyadari akan kebutuhan dari sebuah keutuhan
keluarga.
Jadi tergantung dari mana menilai arti sebuah perceraian.
Pengaruh Perceraian
Pada Anak-anak
Perceraian orang tua dapat memberikan berbagai dampak dan
pengaruh pada anak-anak. Dalam beberapa kasus, seorang anak merasa semakin
bahagia ketika orang tua tidak tinggal satu rumah lagi karena mereka bosan
dengan pertengkaran dan percekcokan yang terus saja terjadi di rumah. Tetapi
dalam beberapa kasus, ini dapat menjadi salah satu usaha yang sangat berat bagi
seorang anak untuk beradaptasi bila ia memang harus hidup hanya dengan ayah
atau ibunya saja.
Walaupun demikian, pengaruh perceraian orang tua juga
bergantung pada umur sang anak. Jika perceraian terjadi pada anak yang masih
sangat belia, maka secara umum ini akan memberi pengaruh yang sedikit
dibandingkan bila sang anak sudah cukup umur untuk memahami arti sebuah
perceraian. Bila anak makin besar, maka mereka memiliki kecenderungan untuk
melihat, memahami, dan mendengar apa yang sebenarnya terjadi pada orang tua
mereka. Seorang anak kadang merasa tidak dapat memilih kemana ia akan mendukung
salah satu orang tuanya.
Terkadang, perceraian orang tua juga dapat mempengaruhi anak
remaja dan menjadikannya stress karena ia merasa tidak akan mendapat kasih
sayang melimpah seperti yang biasa didapatkan saat orangtuanya masih hidup
bersama. Bahkan dalam beberapa kasus, adanya perceraian orang tua terkadang
membuat anak menyalahkan diri sendiri. Ia mengutuk dirinya karena merasa ia-lah
yang menjadi penyebab kenapa orang tua harus berpisah.
Namun, sang anak tidak dapat berbicara pada orang tua atau
pun orang lain secara terbuka. Mereka cenderung untuk menyimpan perasaan
bersalah di dalam hati. Bila memang orang tua memutuskan untuk bercerai,
sebagai orang dewasa setidaknya mereka melakukan beberapa pendekatan yang
elegan pada anak dan meyakinkan anak-anak bahwa mereka akan selalu ada kapan
pun sang anak membutuhkan orangtua.
Mendiskusikan rencana perceraian kepada anak-anak dengan
duduk bersama menjadi salah satu cara terbaik. Orang tua pun akan mendapat
banyak masukan dan keluhan sehingga walaupun akhirnya bercerai, orang tua pun
dituntut untuk memberi pengertian bahwa anak-anak bukanlah penyebab terjadinya
perceraian. Jelaskan kepada anak-anak betapa kalian akan tetap selalu mencintai
dan menyayangi walaupun akhirnya harus tinggal secara terpisah.