Rabu, 08 Februari 2017

(Terpaksa) Selesai

Hari ini tak ada yang berbeda, semua masih serba serupa. Aku yang masih mengingat dan menginginkan kita, serta kamu yang masih jauh di mata, namun hatiku belum sanggup mengakhiri semua cerita.

Jika boleh aku ingin meminta, sisakan untukku cintamu itu. jangan percuma kamu berikan pada mereka yang tak lebih menginginkannya dari aku. Jika boleh berjanji untuk waktu yang nantinya akan kita lewati, aku hanya bisa memegang satu janji. Takkan kusia-siakan cintamu, kan kulipat gandakan menjadi sekumpulan rasa pemberi kebahagiaan.


ilustrasi gambar by google


Tapi, sayangnya apa yang kulihat sampai hari ini belum pasti. Inginku masih berupa angan, kamu yang menentukan. Seandainya saja ada beberapa kenangan menyedihkan yang dapat sekejap saja kulupakan. Seandainya saja ada beberapa tangisan yang masih bisa kutahan. Seandainya saja ada perasaan yang bisa kuubah untuk tak lagi mengharap balasan. Karena hati yang selama ini masih kutuju, entah kali ini sedang mengharapkan siapa, entah kali ini sedang memikirkan apa.

Bukan tak pernah aku ingin membuka pintu pada hati yang lain, namun percuma jika kuncinya masih padamu kutitipkan. Bisakah kamu, untuk sekali saja, ajarkan aku caranya melarikan diri dari kenangan? Agar aku paham bahwa kenangan memang hanya boleh dianggap sebagai kenang-kenangan dari masa lalu. Agar aku paham bahwa tak baik mengharapkan untuk terus bersamamu seperti dulu.

Bukannya aku tak pernah mengindar, tapi kamu selalu tiba dan menahanku untuk keluar. Kadang aku heran dengan teka-teki yang Tuhan berikan. Jika memang ujungnya kita tak bersama, mengapa Tuhan masih memberikan temu yang bernyawa membangitkan angan-angan untuk bersatu? Hati sudah terlalu sakit diberikan resep-resep palsu untuk berhenti mencintaimu. Entah siapa yang bisa mengajariku mengentikan rasa itu.

Adakah yang sanggup mengajariku, bagaimana caranya agar tak selalu menyalahkan? Karena menjadi benar pun tak selalu bisa mengubah keadaan.

Kisah kita yang telah lalu mungkin bukan untuk dilupakan, karena sudah berkali-kali kuusahakan. Di benak ini, sudah ada tempat khusus untuknya agar selalu menjadi kenangan terindah. Untuk seterusnya, semoga kedekatan kita tak begitu berubah. Yang aku ingin hanya bisa mengikhlaskan, jika melupakan begitu mustahil dilakukan. Yang aku harap hanya bahagia yang kembali nyata, meski harus dilalui tanpa sebuah ‘kita’. Harus kamu pahami bahwa mencintamu dari jarak sejauh ini, aku tak pernah sekalipun menyesali. Sebab dalam cinta, aku memang pandai memberi. Namun untuk menerima kenyataan, aku harus banyak belajar lagi.

Terkadang aku tersentak dengan berbagai kecewaan dari secuil apa yang kau lakukan. Kamu tak pernah tahu bukan? Dan aku tak ingin menyalahkanmu atas ketidaktahuanmu. Karena beginilah kita, selalu diisi oleh tanpa yang melahirkan hampa. Beginilah kita, mungkin lebih baik berpecah jadi dua yang tak saling mengusik. Aku benci dengan segala fakta-fakta itu. Fakta bahwa bukan aku sosok yang nantinya akan melengkapimu. Tapi mana bisa aku memanjati dan berlari dari kenyataan yang sudah dihidangi? Aku harus menerima bahagia yang dikirimi sesuai porsi, meski pindah ke lain hati adalah salah satu hal yang sulit terbayangi oleh diri.

Sekarang aku mengerti, bahwa kita yang dulu kini telah berubah. Walau masih belum mampu aku untuk tak mengenang segala kisah yang telah berlalu dengan indah. Entah di mana kamu temukan rumahmu, aku masih saja menunggu bersama khayalan semu. Aku masih saja berharap, bahwa suatu hari nanti kita akan bersama lagi. Aku masih saja ingin, menjadi kita yang sudahlah tidak mungkin. Aku masih saja menanti, padahal segala mimpi-mimpi hanyalah akan menjadi mimpi.

Mungkin memang pada akhirnya harus begini. Kita dipertemukan, diberi kesempatan saling membuat sebanyak mungkin kenangan, lalu dipisahkan. Dipisahkan untuk dipertemukan Tuhan dengan yang lebih baik lagi. Sungguh, Aku lelah berandai-andai, maka semoga ini terakhir kalinya aku mengingat kita dengan pahit. Semoga esok aku mampu mulai menulis lagu untuk masa depanku sendiri, bait demi bait.

Aku hanya ingin menjadi yang mengingatmu tanpa ada kesal, tanpa ada sesal, yang ada hanya rasa syukur yang menebal. Aku hanya ingin menjadi yang pernah mencicipi rasanya mencintai tanpa harus dapat kembali. Aku hanya ingin menjadi satu-satunya laki-laki yang masih bisa bersyukur tanpa mengukur-ukur apa yang seharusnya kau berikan secara teratur.

Setidaknya kau bisa merasa, mana yang seharusnya kau perjuangkan. Aku yang mencintaimu tanpa mengharap imbalan atau sesosok lain yang selalu menyumbang kepahitan.

Terima kasih karena kamu sudah mengajariku bertahan dari rasa-rasa pahitnya cinta. Setidaknya dulu aku tak sedewasa ini.


Maju itu sulit, ketika pikiranmu memaksa sebelah kakimu untuk melangkah, namun hatimu memaksa sebelahnya lagi untuk diam di tempat. tak akan selesai, mustahil ada ujungnya.

Kamis, 02 Februari 2017

CIDAHA ( Cinta Dalam Hati )

Di sebuah ruangan yang dipenuhi kesunyian, rindu demi rindu berlarian, air mata demi air mata berjatuhan. Mungkin di atas sana, Alloh sedang menatap dengan penuh kekhawatiran atau barangkali di balik punggungNya tersembunyi sebuah kejutan. Entah dimulainya sejak kapan, cinta ini sepertinya sudah cukup lama aku pendam sendirian. Aku tidak mengerti dengan baik mengenai kerelaan. Namun yang aku tahu dengan pasti, di detik saat sebuah senyum kausunggingkan, di titik yang lain aku juga turut merasakan kebahagiaan.

Detak-detik jarum jam menusuk telinga, seakan menegaskan ada nada bisu yang diteriakkan semesta untuk kita. Sunyi sudah menjadi teman, sejak kutahu aku bagimu tak mungkin menjadi pasangan.
Aku ingin kamu menginginkanku.

ilustrasi gambar by google


Satu kalimat yang kemudian menguap seiring berlalunya waktu. Betapa menjadi yang tulus mencintai, menanti sepenuh hati, tetap saja bukan jaminan akan balas dicintai. Apakah cinta memang begini? Apakah cinta bisa setega ini, ataukah aku yang salah menangkap arahan Tuhan tentang rasa di hati?

Terkadang aku ingin cinta kita semudah membalikkan telapak tangan, namun kusadari bukan dengan sesingkat itu mimpi bisa terwujudkan. Terkadang aku ingin cinta menemukan tujuannya setelah lelah berjalan tanpa henti. Namun mungkin waktunya bukanlah saat ini. Mungkin tujuanku semestinya bukan kamu. Mungkin aku tidak perlu membuang waktu untuk terus menunggu.Sebut saja kedua mataku buta, yang tak juga menyadari ketika lampu merah ke arahmu sudah benar-benar menyala.
Harus meminta Tuhan seperti apa, agar kamu kelak membalas seluruh cinta? Barangkali memang begini seharusnya. Aku cinta, kamu tidak. Aku terluka, kamu tak tahu apa-apa.

Bersandar pada ketetapan hati, aku terus menanti. Meski kutahu bukan aku alamat rumah yang hatimu cari. Cinta ini sudah terlanjur, dan yang tertinggal hanya serpihan hati yang hancur. Namun belum menyerah aku memperjuangkanmu, sebab belum ada lain hati yang mampu mengetuk pintu di dadaku. Jika aku terus mengharapkanmu, bolehkah? Aku hanya ingin menjadi yang pintar mencintai, meski tak begitu fasih dalam ilmu memiliki.

Sementara hati ingin menjadi satu-satunya yang kamu ingini, cinta pun berkata, ia tak ingin membenci. Tak apa aku bukan untukmu, tak apa kita tidak saling menuju. Tetap saja segala harap, semua rindu, setiap peluk bermuara padamu.

Beberapa pelukan memang diciptakan untuk mengantar rindu sampai ke tempat tujuan. Jika boleh sekali saja berharap untuk bisa memelukmu, menganggukkah kamu? Jika boleh sekali saja tertawa untuk perjalanan yang entah kapan habisnya, bolehkah aku? Jika selamat tinggal adalah satu-satunya yang tersisa, ketahuilah bahwa selama ini kamu pernah menjadi sosok yang benar-benar aku cinta. Pada akhirnya kita berdua pasti akan bahagia. Meski bahagiamu ialah dengan bersama yang lain, dan bahagiaku adalah mengubah arah harapan menjadi sesuatu yang lebih mungkin.

Mengagumi dari jarak sejauh ini adalah pintu bahagia yang kupilih. Dan semoga kelak, Tuhan akan memberiku kunci untuk pintu menuju bahagia yang lain: merelakanmu, misalnya.
Aku bukanlah siapa-siapa, tentu saja aku harus rela jika pada akhirnya kamu berjumpa dengan dia yang ditakdirkan semesta. Dan aku memang bukanlah siapa-siapa, justru itu yang membuatku harus menelan perihnya luka.

Jika mencintai dalam diam adalah jarak terjauh yang mampu hatiku tuju, semoga secepatnya bahagia datang menujuku. Semoga tangan-tangan keajaiban ikhlas kelak memelukku, mencipta rasa lega luar biasa ketika melihatmu bahagia, meski bukan denganku.

ilustrasi gambar by google



Dingin dinding memeluk sunyi yang mencintaiku tanpa tetapi. Aku tersenyum lemah pada bayanganku sendiri, seraya bertanya: Masih sanggup menanti? Tak lelahkah hati?

Gaung namamu dalam bisu bibirku lebih nyaring daripada seluruh tanya itu. Dalam hati, cinta padamu terus mengaliri sepi.


*Ditemenin Lagunya Ungu-Cinta Dalam hati

Telah Berhenti..

Selesai...

Satu kata yang kukira adalah akhir dari segala kita. Satu kata yang nyatanya memberi bukti bahwa masih ada yang mustahil usai; namanya kenangan.

Kenangan ialah sisa-sisa ingatan yang mengakar hingga dada, masih menganggap kamu di sana. Kenangan ialah samar-samar harum tubuhmu diembus udara, masih mengira kamu tak ke mana-mana. Kenangan ialah yang menyiksa aku; yang meminta aku terus menengok ke arah yang semula ada kamu. Kenangan begitu nakal. Ia mematenkan kaki-kakinya untuk berdiam di ingatanku kekal.

Mungkin ini sebuah hukuman dari kenangan. Karena dulu, air mata yang terjatuh dari pipimu selalu disebabkan oleh aku. Karena dulu, tawamu yang menyuarakan nada-nada bahagia sempat tertahan oleh keegoisanku. Karena dulu, kesalahan terfatalku adalah membiarkanmu berlalu. Hilang di makan waktu mencintai pria baru. Itu salahku, dan mungkin karma jadi makananku.
Sepayah itulah aku tak bisa menjaga ‘kita’. Sekuat itu pun juga kamu telah berusaha. Sampai hentakkan semesta menyadarkan bahwa kita tak bisa lagi seperti semula.

Terpejam mataku meninabobokan kesedihan, sementara menghindarkan aku dari kesesakkan. Namun nyatanya kedua mata yang terbuka di esok hari, menyadarkan bahwa kamu tidak lagi di sisi. Tinggi hati, kuhalangi air mata yang ingin mengalir melewati pipi. Meski secara sembunyi-sembunyi, baru aku berani mengakui bahwa aku masih mengharapkan kita untuk kembali.

Salahku, mengapa dulu tidak piawai dalam menggenggam. Salahku, mengapa dulu memilih untuk diam. Salahku, mengapa dulu seakan melepasmu pergi.

Sesal memang sesak. Yang tersisa hanya letup-letup kecewa namun tak mungkin membawaku ke pelukanmu yang semula.
Sebelum aku benar-benar selesai menghitung langkah mundur dan mulai berjalan ke hadapan, kuingin lihat senyummu untuk terakhir kali. Senyum yang tercipta karena aku, bukan karena lelaki yang kini di sampingmu. Bolehkah?

Semoga keputusanku untuk memutar arah dan melanjutkan langkah tak akan berubah. Meski di masa depan aku tak tahu akan terjadi apa, kuharap kamu sudah kurelakan sepenuhnya. Kuharap kelak aku hanya akan mengingatmu sebagai yang indah-indah saja.





Kamu masih tetap cantik. Kenangan tentangmu pun akan kujaga pada lemari memori, tertata antik. Kadang memang masih terasa sakit saat kedua telinga tak sengaja diperijinkan mendengar cerita tentangmu yang kini telah berdua. Tapi kuharap, sesal itu tak seperti rel yang mengiringi kemanapun roda-rodaku pergi. Aku ingin memindahkan perasaan ini pelan-pelan. Ke perempuan yang tepat tentunya.

Melalui kamu, aku tahu cara menjaga hati. Melalu kamu aku pun tahu bagaimana rasanya sebuah ‘penyesalan’. Jika telah datang nanti perempuan istimewaku, takkan kulakukan pengulangan perlakuan.

Kini langkah kaki dan logika sepemikiran ingin melaju ke depan. Sementara kamu, tetap indahlah dalam kenangan. Sebagai sesuatu yang selama ini sudah banyak memberikan pelajaran. Sedangkan aku, mencoba memulai kembali dari sepanjang perjalanan yang sudah terlewati.

Di penghujung jalan nanti, semoga tidak akan ada kesalahan kedua. Semoga tidak akan kuakhiri lagi segala usaha dan air mata dengan begitu sia-sia. Semoga tidak akan ada lagi senyuman manis yang menjadi korban. Sebab satu penyesalan lamban untuk lenyap, sedangkan seribu pengalaman tak akan juga cukup.

Because I still You






You still don’t know about my tears hidden by my smiling face. You probably don’t know. We are doing the same love but why am I the only one hurting? There’s no reason for to you hesitate but why do you keep shaking me, who is so weak? I lie hundreds of times a day. Saying that I don’t love you. Saying that I hate you. But what to do? I can’t escape from you, I guess I love you. Because every day you’re in me, every day you make me cry. 
 Again today, my empty heart is hurting. This loneliness that keeps popping up