Selasa, 31 Januari 2017

ANTARA DUA DUNIA

ilustarsi gambar by google


Kenangan memang pandai mencari-cari celah dan mengendap masuk ke dalam benak.
Kini ia membawa kamu, yang bahkan telah berlalu dimakan waktu. Kini ia membawa tentang kita, yang tak pernah habis kubebani dengan tanya.
Mengapa harus dengan cara seperti ini perpisahan mengambil alih? Mengapa harus dengan meniadakan pertemuan kita di lain hari?

Lihat, di genggaman tangan ini telah kita tulis cerita yang tak bertepi, yang tak mau tahu caranya mengakhiri diri. Meski kamu sudah tak mampu kusentuh, tetap menujumu hati ini utuh. Masih banyak cita-cita yang belum kita jadikan nyata, lalu haruskah kulupakan semua harapan yang kita bangun bersama?

Kuharap jawabannya tidak, tapi apakah takdir harus kutolak?

Aku terlalu benci udara perpisahan. Inilah yang membuatku sinis pada suatu pertemuan. Hati serasa mati setiap kurasakan berita saat semesta mulai menyeleksi. Dan ketika berita itu menghampiri, nadi serasa ikut tak berdenyut lagi. Kuratapi berita yang mampir tiba-tiba, ada sebuah nama yang tak asing di mata. Nama yang kabarnya telah meninggalkan dunia.

Ya, jelas itu namamu dan jelas aku masih belum mempercayai berita konyol itu. Haruskah giliran kamu yang mereka sembunyikan?
Tamparlah aku agar secepatnya terbangun dari mimpi burukku. Hati belum berhenti mengirimkan setiap perasaan. Masakah kamu sudah mau meninggalkanku tanpa sebuah pesan? Inikah definisi sebuah keadilan?

Kata mereka, memang tidak akan ada persiapan untuk bisa menerima sedihnya perpisahan. Tidak akan ada ucapan selamat tinggal yang begitu indah karena masing-masing kita tidak akan pernah tahu tentang yang akan terjadi kemudian.

Kuharap, dari duniamu yang begitu jauh sana, dapat kaudengar ungkapan cinta walau tanpa kata. Kuharap dari sana, dapat kau tahu bahwa aku membutuhkan sebenarnya.
Dari dunia yang berbeda, kita berbicara lewat doa. Sebab aku yakin, Tuhan tak mungkin salah alamat saat mengirimnya. Dan selalu ada waktu untuk menyalahkan keadaan, namun bukan itu yang seharusnya kulakukan. Harus kucoba mengerti, bahwa ditinggalkan mungkin adalah kesempatan untukku mencintaimu lebih dan lebih lagi. Maka sampai saat ini selalu kukuatkan hati, siapa tahu Tuhan menitipkan makna baik di balik sedihnya ditinggal pergi.

Mungkin kini aku kehilangan, tapi setidaknya Tuhan menyelipkan sebuah kebahagiaan. Satu yang kutahu, perpisahan ini tak menyisakan luka pada akhir perkisahan. Mungkin lebih baik begini tanpa pesan, dan suatu hari di surga kita kembali lagi dipertemukan. Mungkin benar aku kehilangan, tapi ini hanya perasaan sementara manusia yang masih menginjak bumi. Sedangkan kamu, aku percaya sudah bersama para malaikat di surga. Benarkan?

Entahlah, aku hanya butuh kamu di sisi, dekat di mana nadi berdetak. Bukan di bawah tumpukan tanah berhiaskan nisan. Semoga kamu masih bisa mendengar doa-doa yang senantiasa kupanjatkan. Semoga semesta masih mengizinkan untuk kita saling mendekatkan. Semoga aku semakin kuat untuk merelakan.

Di sini ada rindu rajin bertamu, di sana ada kamu yang kudoakan selalu. Bukan hanya sepi yang kutitip pada tangis, tapi juga cinta yang belum bisa terkikis. Aku masih belajar membangun jembatan ikhlas, agar hati ini terhubung di manapun hatimu mampu membalas. Aku masih belajar tutupi sepi, sebab bayangmu masih setia menghantui. Jika memang kita harus dipisah sedemikian jauh, semoga tetap padamu kelak cintaku diizinkan merengkuh.

Sisakan tempat untukku di surga bagian sebelah kananmu.Tunggu aku di situ, jadikan satu-satunya milikmu.


PER(ASA)AN

Aku yang ahli berpura-pura, atau kamu yang terlalu ahli menanamkan luka?

Rupanya bepura-pura tak semudah yang kukira. Kusuruh hati menyabarkan diri, meski dengan cara itu juga ia melukai. Menurut teoriku, bicara takkan membuat semuanya jadi lebih tertata. Jika teori itu salah, anggaplah pikiran ini sedang berulah. Pilihanku sepertinya hanya ada dua, pilih luka dengan menutup mata berpura tidak ada apa-apa atau luka dengan membeberkan semuanya? Tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi nanti.

Aku tak mau menyebut ini perasaan rahasia, meski memang ada hatiku yang diam-diam telah tersia-sia. Selalu kuingat satu hal, kita akan diberikan yang terbaik jika kita memberi yang terbaik pula. Namun, tak pernah ada peringatan bahwa memberi yang terbaik juga termasuk mengorbankan rasa. Ingin kuyakini ini hanya sementara, dan Tuhan tak mungkin memberi kesusahan jika aku tak cukup kuat menerima. Maka biar rasa ini kutelan pelan-pelan. Biar sedih ini aku saja yang merasakan, sebab luka tak semestinya kubagi-bagikan.

Bukankah sebagian daripada hidup ini adalah sandiwara?

Dan untuk kali ini, akulah sang pemeran utama. Ada sedih yang kupendam rapat-rapat. Ada pedih yang kugenggam erat-erat. Hingga mereka pikir aku adalah sosok yang kuat. Nyatanya tidak. Ada sesuatu di dalam aku yang perlahan-lahan mulai runtuh. Ada sesuatu di dalam aku yang perlahan-lahan mulai meretak, dan mungkin sebentar lagi akan hancur. Ada sakit hati yang tertahan, dan entah kapan akan tersalurkan.

Di layar kaca penuh pura-pura ini tersusun skenarioku tersenyum bahagia. Diantara tak rela juga tak tega. Aku sudah terbiasa menahan tangis sambil tersenyum manis.

Kamu tidak pernah tahu bukan?

Kuharap ada polisi rasa yang bisa memborgol metode pura-pura itu ke penjara. Suruhlah para polisi itu menahannya, agar jangan aku lagi yang jadi tahanannya. Agar tiada lagi yang menaruh diam sebagai salah satunya alasan luka bisa diredam. Agar raja terego sedunia bernama pura-pura saja yang tenggelam.

Aku tak pernah menyangka bahwa tak perlu banyak belajar untuk menjadi aktor sandiwara. Cukup beri betubi-tubi luka, dengan kesabaran sebagai topengnya. Lalu dialog meyakinkan dan senyum selebar-lebarnya. Bukan bermaksud menjadi yang palsu dihadapanmu. Hanya saja, aku terlalu takut menemui kenyataan yang tak sesuai inginku. Sebab bukan tak mungkin ketika nanti kamu tahu hatiku luka dan aku berharap kamu datang mengobati, nyatanya kamu hanya menertawai.

Entah sudah seberapa berat beban yang harus kupikul, namun dalam membungkusnya dengan topeng bahagia aku tampak paling unggul. Entah sudah berapa tetes air mata yang seharusnya kutahan, namun aku paling piawai dalam mengekspresikannya dengan senyuman. Tidak semuanya tahu bahwa ada isak yang kuendap dalam diam. Karena ketika mereka tahu pun, belum tentu mereka peduli. Hanya kepada Sang Maha, tangisku tercurah tanpa sandiwara. Dan hanya kepadaNya, aku tahu bahwa pura-puraku hanyalah sia-sia.

Meski hari-hari terasa tersiksa dengan cinta yang seakan kujaga dengan terpaksa, tapi hanya kamu orang yang mampu membuatku berikan segalanya. Aku terluka, tapi Tuhan tak buta. Dia melihat apa yang tersembunyi dibalik hati. Tak ada yang bisa membohongi, meski kubilang tak apa ratusan kali.

Berserah kepadaNya, biarlah Dia yang mengambil alih posisi nahkoda dalam setiap cerita. Bahagia pasti punya jalurnya, akupun ada di dalam alurnya. Ya, aku percaya. Ironisnya, terlalu mudah untuk berkata ‘ya’ ternyata bisa berujung tidak bahagia. Aku tahu, percuma memendam jika dalam hati tak bisa beri maaf dan terus mendendam.

Maka semoga Tuhan memberi porsi kesabaran yang berlebih, agar setiap perilakumu yang menggores hati, mampu dengan mudah kurawat perihnya sendiri. Dan semoga Tuhan memberimu cinta yang berlebih, agar tak perlu kamu merasa sepertiku untuk bisa menjadi yang lebih baik dariku. Semoga kelak sifat burukmu lupa caranya memunculkan diri, sehingga akupun lupa bagaimana rasanya disakiti.

Pada akhirnya, kuharap selalu lahir toleransi untuk setiap sakit hati yang entah kapan akan berhenti. Kuharap senantiasa ada maaf yang tak mengenal garis akhir. Kuharap akan ada balasan untuk segala yang sudah berjalan. Mudah-mudahan bukan diam yang akan menjadi jawaban. Mudah-mudahan bukan hati lagi yang harus menjadi korban.

Karena yang baik, berkunjunglah kepada hati yang baik.






Minggu, 22 Januari 2017

Tertunda

ilustrasi gambar by google
Ada yang seharusnya punah sebelum hati menjadi patah. Mungkin namanya asa. Ada yang seharusnya diberikan, tapi masih disimpan Tuhan. Mungkin namanya kesempatan. Ada yang seharusnya dihentikan, sebelum luka jadi lintasan perjalanan. Mungkin namanya perasaan. 

Barangkali hati terlalu cepat jatuh pada waktu yang tak tepat. Bukan objeknya yang salah, tapi mungkin kali ini aku harus mengalah. Kesempatan yang tadinya terlihat begitu jelas, kini hilang semudah melayangnya kertas.

Bukan salahmu yang mungkin seperti tak menghargai perasaan. Salahku, yang berharap hanya pada kebetulan. Bukan salahmu yang tak juga sadari keberadaan. Salahku, terlalu lama di dalam tempat persembunyian. Hingga pada akhirnya semua kata kunci membawaku pada sebuah kenyataan yang harus dijalani. Bahwa meski belum dimiliki, namun ada yang telah kauberikan kepadanya dengan sepenuh hati.
Entah kesempatan yang memang belum ada, atau aku mungkin sudah pernah melewatkannya.

Maaf atas keterlambatanku untuk menyadari sepenting itu adamu. Jeda sinyal yang terlambat keluar, mungkin telah berbekal sesal. Hingga akhirnya aku tahu, kesempatan belum ada karena seseorang lain telah masuk dan membuat hatimu mulai kesempitan. Penuh, mungkin sepenuhnya menurutmu utuh. Sedangkan aku, hilang separuh dan sisanya lumpuh.Jika benar putaran kesempatan pernah kulewatkan, mungkin itulah definisi dari sebuah kesalahan yang mendewasakan. Aku berhenti mengetuk. Bukan karena sudah hati remuk, tapi tak ingin kulihat penghunimu mengamuk.

Barangkali akan ada kesempatan, namun tak tahu harus menunggu sampai berapa lama. Barangkali akan ada sepenggal cerita yang sedikit diubah, namun kepastiannya masih entah. Barangkali aku memang akan hidup di antara rangkaian barangkali, hanya karena belum siap untuk menghadapi. Bila nanti kesempatan memang ada, kamu tahu, akan kugunakan itu tanpa sia-sia. Sekarang, mungkin sudah cukup dengan melihatmu teramat bahagia, meski harus dengannya.

Aneh. Meski namamu masih seratus persen mengisi hati, tapi mengapa kekosongan ini tak berhenti kucicipi? Bukankah kita lahir pada kebetulan? Tapi kebetulan pulalah yang akhirnya mematikan. Bukankah kita sama-sama tahu karena sebuah pengetahuan yang disediakan? Tapi mengapa ujungnya aku merasa asing karena terlempar oleh serombongan ketidaktahuanku akanmu?
Dunia barumu yang sama sekali tak menyertakan aku. Dunia baru yang terlihat ramai saat namanya tak usai kau sebut-sebut.

Entah kebetulan memang sebenarnya ada, atau hanya aku yang sepertinya mengada-ada. Entah kisah tentang kita memang sedang dituliskan, ataukah semuanya hanya semata-mata harapan. Mungkin memang harus memberi waktu lebih bagi semesta, dengan rencananya yang selalu mengejutkan.Walau entah kejutannya akan membahagiakan, atau justru berupa tamparan pelan-pelan yang menyadarkan.

Mari tutup segala mungkin atau tidaknya. Sebab masih ada beberapa hal sederhana yang perlu disyukuri keberadaannya; kedekatan kita, misalnya.


Tidak apa-apa. Aku akan menyiapkan diri, bagi yang nanti berpatenkan nama sebagai penghuni hati. Janjiku yang nomor satu, untuk berhenti cinta mungkin aku belum bisa. Karena tak semudah itu menghilangkan rasa, hanya sembuhkan hati yang sedang kucoba-coba. Selamat istirahat pelukis merah merona pada pipi, selamat bekerja dua kali lipat dari biasanya plester hati.

****

Kamis, 19 Januari 2017

Titik Henti

ilustrasi gambar by google

Kupikir, semesta akan mengetuk perlahan kedua kelopak mataku, lalu menyadarkan dari mimpi yang ketinggian. Nyatanya, ia mengejutkan dengan sebuah kenyataan, bahwa kebahagiaanku selama ini sedang menikmati bahagianya yang tanpa aku.
Kini, seringkali aku bertanya-tanya, adakah hujan di tempatnya berpijak? Atau di sekeliling terasa seperti musim semi selamanya?

Semisal ada yang menyebut ini cinta, barangkali hatiku langsung menyetujuinya. Namun akalku, bilang tidak. Sebab akupun tahu, jika cinta tak baik kurelakan begitu saja.
Ini sudah bukan tentang musim yang terus berganti. Ini tentang hati, yang bersikeras masih menanti—meski tak ada yang pasti.

Tanda tanya besar mengganggu dalam benak, sibuk mempertanyakan nyata atau tidak.Di satu sisi aku merelakan bahagiamu, namun di sisi lain bertanya-tanya mengapa bukan denganku. Di satu sisi aku enggan untuk lebih lama menunggu, di sisi lain barangkali masih ada harapan untuk kita bersatu. Ternyata tak semudah itu menjadi rela, meski untuk melihatmu bahagia.

Semakin aku merasa ini tak adil, semakin pedih terasa di hati. Percuma terus begini. Toh aku di sini, kamu dengannya, kita tak mungkin bersama. Baiknya kupadamkan saja segala bara yang masih menyebut namamu tanpa jeda, agar luka ini tak kubiarkan terus menganga. Baiknya memang kita tak lagi saling menyapa, sebab sepatah kata darimu mampu memanggil jutaan debar di dadaku.

Seperti tahu betul kelemahanku, semesta selalu menghadirkan kamu. Atau mungkin aku yang diam-diam mengantarkan kenangan tentangmu, hingga pada titik yang terdekat. Berbagai macam hal yang semesta suguhkan, mengapa kamulah garis akhir dari segala ingatan?

Rasanya aneh, ketika ingin pergi dari hati yang tak pernah dihuni. Barangkali sama seperti melepas yang tak ada dalam genggaman. Rasanya aneh, ketika harus merelakan hati yang tak pernah dimiliki. Barangkali serupa meninggalkan tempat yang belum sempat kujejaki. Rasanya aneh, ketika harus terluka sebab sesuatu yang kuanggap cinta, padahal kamu tak pernah menganggap itu ada. Barangkali serupa menangis tersedu, namun tanpa air mata.

****

Belum Terhapus Waktu

ilustrasi gambar by google

Seringkali aku bertanya-tanya, mengapa kiranya kenangan tercipta tak semudah kita menghapusnya?
Kuharap ingatan tentang kita masih tersimpan di dalammu, entah di lipatan memorimu sebelah mana, aku tak begitu peduli. Sebab di dalamku, segala tentang kita berputar-putar tanpa henti. seperti lagu kesukaanku yang liriknya kuhafal jelas, kata demi kata.

Kita pernah seperti cinta dan benci, yang tak pernah bisa lepas satu sama lain. Kita pernah seakrab kelopak dan air mata, tidak peduli sedang sedih maupun bahagia. Hari-hari pernah selalu dipenuhi oleh kamu dan aku sama sekali tak merasa jemu.

Terbiasa akan hadirmu ternyata tak begitu baik untuk hari depanku. Membuatku selalu ingin berada di masa lalu, ketika hati tak perlu lelah mencari-cari jalan keluar untuk melupakan siapapun. Bukan salahmu membuat aku cinta setengah mati, ini salah hati mengapa begitu saja padamu menjatuhkan diri.

Memang, tak ada hati yang bisa memilih tujuannya. Namun, semua kembali kepada bagaimana kita mencinta. Dan seakan kamu adalah laut yang paling dalam, aku entah mengapa rela menyerahkan diri menjadi penyelam yang tetap saja, pada akhirnya tenggelam.Kepadamu, aku pernah mempertaruhkan harga diri hingga rela bertindak bodoh dan rasa malu sudah tak kuacuhkan lagi. Kepadamu aku pernah dengan pasti menggantungkan perasaan, tapi ternyata kita semata-mata angan. Di antara kita pernah ada rasa yang serupa tergapai, namun nyatanya tak kunjung sampai.

Kupikir, detak jantung kita kala berjumpa saling seirama, namun ternyata hanya perasaanku saja. Kupikir, akan kepadaku kamu menjatuhkan cinta, namun ternyata kisah romantis tentang kita tidak akan pernah ada. Ke manapun kamu menuju, aku menunggu kita untuk saling bertemu, tapi ternyata tujuanmu bukanlah aku.

Kamu telah membuat aku pesimis tentang harapan. Betapa karenamu, kurasa aku tak akan mudah lagi percaya pada cinta yang kelak datang. Hati sudah jatuh terlalu jauh, membawa serta kecewa di saku bajunya. Tanpa pernah tahu, semestinya ia juga berbekal obat penyembuh luka. Kemudian, aku merasa benci pada kenyataan yang terjadi; seperti menyalahkan nasibku sendiri atas ketidakberuntunganku memilikimu.

Lalu sekarang apa?

Selain luka, masa lalu juga ternyata mewariskan berlaksa kenangan yang sulit untuk kulupa. Di antara sebagian kenangan yang senantiasa berkeliling itu, ada kamu berdiri tegak di balik segala alasan.

Mengapa setelah semesta tidak merestui kita, ia juga memberikan kenang-kenangan masa lalu yang ke manapun selalu membayangi langkah-langkah kakiku?


Aku seperti masih berdiam di hari-hari lampau, enggan untuk melangkah, hingga kemudian hampir punah dibalap oleh sang waktu. Aku masih berharap akan kita, saat jelas-jelas kamu sudah berkata tidak. Seharusnya ini bukan salah daya pikirku yang selalu ingat. Ini salahku yang enggan untuk lupa. Dan ketika kini kamu masih senantiasa mengitari benak, kubiarkan hingga akhirnya waktunya menghapusmu; mutlak

Tahu Diri

ilustrasi gambar by google

Tak banyak yang berubah dari pertemuan kita tempo hari. Kita masih saling bertegur sapa. Kita masih saling mencuri pandang. Kita masih saling mengetahui bahwa ada yang belum selesai di antara kita; perasaanku.

Padahal sudah kucoba menguburnya secermat mungkin, bahkan dari ingatanku sendiri. Namun, kehadiranmu yang selalu tertangkap kamera hati, tak mungkin bisa kupungkiri. Ada yang selalu tertangkap mata, dan di dalam jangkauannya kamu selalu ada. Ada yang selalu terdeteksi indera penciuman, dan segalanya hanya tentang harum tubuhmu yang tak mampu terlupakan.

Entah apa maksud di balik pertemuan yang selalu disuguhkan semesta, hingga aku selalu mampu dibuatnya bertanya-tanya. Jikalau ini semua hanyalah kebetulan, mengapa frekuensi pertemuan kita tampak terlalu berlebihan?

Tentang kebetulan-kebetulan yang seperti disengaja Tuhan, kuharap, ini bukan sebatas perasaanku saja. Salahkah aku, jika mendoakan ada percikan rasa tumbuh lagi di antara aku dan kamu? Salahkah aku, jika terus menginginkan temu tanpa jemu? Salahkah aku, jika hanya denganmu aku merasa seperti itu?

Aku ingin kita bersatu, namun kamu pernah berkata tak mungkin denganku.Dan juga bukankah kamu pernah berucap bahwa kita tak bisa lebih lagi dari yang seperti ini?Padahal sayang yang adalah sebuah dasar sudah dimiliki masing-masing hati. Kamu, membuatku semakin tak mengerti lagi tentang semuanya ini. Namun tak pernah sampai berhasil membuatku menyesal, bahwa kepadamu aku pernah jatuh hati.

Karena nyatanya, selama ini segala macam harap masih saja kubawa pergi. Berharap, di suatu hari nanti yang entah kapan, ia dapat bertemu dengan harapmu yang ternyata menyerupai. Ah, bukankah harapku pada akhirnya hanyalah berupa sebatas harap?
Selalu saja begini, kamu seperti tanda dilarang berhenti pada jalur dua hati. Kamu ada di sana, melambaikan tangan dengan senyuman; menawariku rasa nyaman yang hanya angan-angan. Sungguh, aku ingin berhenti sampai di sini. Ingin berpindah ke lain hati. Ingin menemukan bahagiaku sendiri. Sebab, jika pandangan terus tertutup oleh bayangmu, tak pernah sempurna cinta mampu kumiliki.

Kamu tak pernah sepenuh hati, sementara aku tak pernah setengah hati.Mungkin salah satu dari kita harus ada yang mengalah. Aku yang seharusnya berbalik arah, atau kamu yang menujuku selangkah demi selangkah. Jika semesta benar-benar mendukungku untuk pindah ke lain hati, mengapa sosok yang begitu sering kutemui hanyalah kamu lagi?Sedangkan di lain sisi, kamu tak pernah mengharap kita untuk bersama dalam meniti hari-hari. Aku seperti berada di antara anggukan kepala yang mulutnya berkata tidak. Aku kebingungan mencari-cari apa yang harus kulakukan setelahnya, karena semua seakan-akan jalan buntu bertuliskan jalan keluar.

Sudah kucoba tahu diri, menghilang dari segala sudut pandanganmu yang gemar mencari-cari. Agar kamu tak perlu memberiku asa lagi, dan aku tak perlu menyembunyikan rasa lagi. Namun, takdir berkata lain. Seakan ia memberiku seribu jalan untuk kembali, sedangkan kamu tetap menutupinya dengan satu kata: ‘tidak’.

Bolehkah aku kembali kepada masa lalu, ketika aku dan kamu belum ingin bersatu?
Aku ingin tetap begitu, agar tak ada luka yang kini mengundang perasaan tak menentu. Juga kita akan tetap menjadi sepasang yang tak saling dibunuh waktu. Sebetulnya percuma jika aku berharap mampu memutar detik waktu, maka biarkan aku berdoa agar perasaanku tak melulu ingin terus menunggu dan menujumu.

Aku ingin kamu, namun jika ternyata rasamu tak cukup kuat untuk membuat aku dan kamu menjadi kita, aku bisa apa?
Pergilah kamu, tutupi hadirmu dari kunjungan pandang mataku. Biar debur dalam dada ini tenang. Biar isi kepala ini berhenti sibuk mengenang. Biar suatu hari, jika kita dipertemukan lagi, aku telah menjadi aku yang kuat; yang tidak kepadamu lagi rasa ini terikat.


*ditulis berdasarkan interpretasi lagu Tahu Diri - Maudy Ayunda

Hurt

ilustrasi gambar by google

Cinta terkadang memang tak terbaca akal. Maksud hati ingin terus bersama, namun keadaan bilang tidak bisa. Maksud hati tak ingin menyakiti, namun tanpa sadar ada yang dilukai.
Salahku pernah menganggap kamu tak berarti, kini aku yang ditabrak takdirku sendiri. Sungguh, aku ingin kembali. Tolong, maafkan perilaku hati ini.

Setelah benar-benar menyesali apa yang baru saja kulewati, sungguh aku menginginkan kamu lagi. Aku terlalu merasa pasti untuk mengejar apa yang hanya ada dalam imajinasi. Kata-katamu tak kuhiraukan, hingga kamu yang sudah ada dalam genggaman justru aku lepaskan tanpa perasaan. Aku pikir akan dengan mudah mendapat pengganti, namun ternyata segalanya hanyalah tentang sakit hati. Aku menginginkan kamu, saat tak mungkin lagi bagi kita untuk bersatu.

Aku bukan yang pintar mengakui segala salah. Namun aku juga terlalu bodoh jika berpikir bahwa perpisahan tak akan membuatku resah. Sebab aku tahu, sejauh perjalanan hati, hanya kamu yang mampu betul-betul mengerti. Dan jika bagimu perpisahan adalah harga mati, harus bagaimana aku memaafkan diriku sendiri?Aku pernah lupakan segala baik yang telah kamu beri, dan mungkin kini giliranmu untuk tak peduli.

Kamu memalingkan muka di saat aku benar-benar meminta. Kamu tak mau mendengarkan di saat aku sedang memberi penjelasan. Tak ada lagi cinta yang akan kauberi di saat aku sedang meminta sepenuh hati. Kamu tersakiti, dan aku menyesali. Di sini juga aku menyadari bahwa kesempatan kedua terkadang jarang terjadi.
Jika kuucap kata maaf berulang kali, akankah kepadaku kamu akan kembali lagi? Menyesal tentu percuma, ketika luka sudah terlanjur tercipta. Maka, biar kata-kata maaf yang menghapus perihnya.




Pada kesempatan yang lalu, banyak hal yang tak mampu kulakukan untuk keutuhan kita. Namun aku justru mempersalahkanmu–entah mengapa. Kujadikan kamu satu-satunya alasan mengapa cinta tak lagi berarti ‘kita’. Kamu jadikan aku satu-satunya alasan mengapa kata maaf tak lagi memiliki banyak makna.


Kini, saat kamu dengan tegas memilih untuk tidak akan lagi kembali, biarkan aku belajar bahwa ada beberapa hal yang tidak harus selalu sampai terjadi. Atas nama segala titik-titik hati yang pernah terlukai, sekiranya saja maafku mencukupi walau tidak pasti mampu mengobati. Teruntuk rumah yang pada akhirnya justru aku lewati, semoga akan kautemui penghuni lain yang lebih baik lagi.Di depan sana, semoga ada rumah yang akan menerimaku lebih dari sekadar tamu, meski yang ternyaman hanya kutemukan di dalam hatimu.

Jika memang ada kesempatan menjadi bagian hidupmu lagi, biar aku lunasi segala rindu yang terkumpul semenjak kamu tak di sisi. Jika memang ada kesempatan menjadi pelengkap hatimu untuk kedua kali, aku berjanji tak akan menghancurkan apa yang kelak bisa kita miliki.
Sebab tak mungkin kuputar waktu ke awal, maka mohon maafkan aku dan izinkan aku tetap tinggal. Sebab tak mungkin kuhapus segala kenangan buruk, maka biar kupanggil kembali sejuta senyummu lewat eratnya peluk.


Ternyata, menyakitimu di putaran waktu yang lalu kelak membawa luka pula bagiku tanpa aku tahu. Maafkan aku, egoku, dan keputusanku yang pernah menyakitimu.



*ditulis berdasarkan interpretasi lagu Hurt - Christina Aguilera


R a s a

ilustrasi gambar by google
R a s a...empat huruf yang biasa-biasa saja namun bisa mematahkan logika. Hati tidak pernah memilih kepada siapa ia diambilalih, yang aku tahu aku jatuh cinta pada pandangan pertama hingga seterusnya. Pada sebuah keramaian dan kamu menjadi pusat perhatian sedang aku hanya duduk di pojokkan, menyaksikanmu dari belakang.

Siapa sangka kamu kamu yang seperti lampu pada saat setelah turun hujan yang memanggil laron untuk menari di dekatnya malah menghampiriku, orang yang menyatu dalam bayang-bayang gelap keramaian. Kita pecah dalam perbincangan tentang banyak hal hingga kembali utuh dalam kata kenyamanan. Segalanya aku lakukan dengan beberapa kali melakukan penolakan terhadap hatiku sendiri, kamu telah bersamanya dan seharusnya aku tahu diri. Tapi kenyataannya hanya dengan tatapan tenang luar biasa pertahananku runtuh seketika.

Bukan salah hati, jika sedikit cinta mampu mengundang rindu setengah mati. Bukan pula salah hati, jika sedikit cinta kelak menjadi alasan ada rasa yang tersakiti. Nyatanya, cinta memang Tuhan ciptakan dengan mata yang buta arah. Bisa menuju siapapun, bisa terjatuh di manapun.
Sebenarnya aku sudah lelah menjatuhkan cinta pada hati yang salah. Aku juga ingin rasaku berbalas, bukan terus menerus berbatas. Harus meminta seperti apa lagi, agar hatiku yang masih kutitipkan padamu, bersedia pulang kembali? Karena setiap kubiarkan perasaan-perasaan ini tinggal, aku takut lukaku semakin kekal.

Padahal bukannya tak kucoba mendayung perahu gerakku keluar dari zona segitigamu, tapi setiap gerikmu merangkul rasaku untuk tetap disitu. Posisiku selalu serba salah. Di sisi diri, aku tak ingin kau dirangkul oleh orang yang salah. Karena hati ini bisa membahagiakanmu dengan berlipat kali dari yang ia beri. Tapi disisi hati, aku akan menjadi sangat salah jika berulah dengan merebutmu dari dia yang mencintaimu amat parah. Tak mungkin menumpukkan luka dengan sesuka demi kebahagiaanku semata. Pada akhirnya, aku akan meminum racun air mataku sendiri karena tak berdaya meraih kamu berada disisi.

Sewujud cinta tak pernah tahu dengan pasti di mana ia semestinya berada. Karena bukankah ia tumbuh begitu saja? Ini bukan pilihannya jika kemudian ia berada di antara sepasang yang sedang sebenar-benarnya merindukan rasanya pulang. Ini di luar kemampuannya, jika ia justru menjadi sosok ketiga. Sepasang mata yang tanpa henti ia tatap, mungkin karena di situlah ia merasa sudah menemukan jawab. Hingga kemudian kenyataan menjadikannya lenyap. Ke manakah ia harus melangkah? Ketika untuk menetap ialah tidak mungkin, pun untuk meninggalkan hanyalah sebuah langkah yang begitu berat.

Saat seperti ini aku ahli mencari siapa yang salah, kali ini waktu jadi korbannya. Jika saja ia mempertemukan kita lebih dulu sebelum ada janji yang mempersatu atau setidaknya andai aku tahu ada hati yang mendoakannya selalu sebelum cinta ini menjadi terlalu. Jika kebahagiaan harus diciptakan maka bersamamu adalah ketidakmungkinan.

Begitu banyak pertanyaan terjun bebas ke kepalaku tanpa jawaban yang sejatinya aku tidak tahu. Yang aku tahu aku mencintaimu, tapi akan rumit dalam realita. Setiap hari aku harus menenangkan rindu yang berteriak mencari dimana tuannya, karena senyatanya dia tidak diaku siapa-siapa. Kamu bersamanya sejak kemarin hingga hari ini, sedang aku selalu menjadi sendal jepit yang meski nyaman namun tak akan pernah digunakan dalam acara-acara peringatan.
Kamu tahu aku ada, kamu mencariku saat bertengkar dengannya lalu aku dengan mati-matian harus menahan diri bahwa orang yang aku cintai sedang bercerita banyak tentang orang yang dia cintai. Lagi-lagi aku tidak berdaya, aku menurunkan kasta, jika mencintaimu sulit, maka ijinkan aku ada di saat kau sulit.

Setoples air mata telah kutampung dengan percuma, sebab tak akan memberi pengaruh apa-apa bagi hatimu yang hanya untuknya. Sepenggal harapan hati hanya ingin istirahat menanti, setelah berjuta hari menunggumu di sini. Mencintamu itu bukan penyesalan, namun nyatanya tak ada cinta yang tak ingin diberi balasan.

Yang kuingin kebahagiaan, seperti kala sepasang mataku menyaksikan kalian berduaan. Yang kuingin kepastian, tentang tarik menarik asa dan rasa yang seperti tak ada ujungnya. Yang kuingin cinta yang sederhana; cukup sederhana hingga aku tak perlu meminta apa-apa untuk dapat merasa bahagia, hingga aku tak perlu merasa kecewa sebab keinginan tak sejalan dengan kenyataan, hingga aku tahu rasanya dicinta tanpa perlu mengiba.

Biarkan perasaan ini perlahan mengikuti aliran tanpa terlihat sebagai kesalahan, karena menurutku ini bagian dari pelajaran dalam perjalanan. Pada siapapun ia takkan mungkin menurut, sampai waktu yang tepat membiarkan ia menyurut. Meski hati begitu mengingini, tapi aku tahu batas-batas yang tak bisa dipanjati. Entah siapa yang akan menggesermu dari segala ketetapan-ketetapan perasaan, tapi aku hanya bisa menyerahkannya pada Tuhan.


Aku sedang menunggu saat yang tepat untuk keluar dari segitigamu, lalu silahkan buatlah garis lurus agar dua sudut bersatu. Ya garis penemu untuk dia dan kamu. Bahagialah dengan kebahagiaanmu yang serba tanpa aku. Tersenyumlah selalu meski senyumanmu lahir di balik tangisanku..

**

Terhenti Tanpa Memiliki

ilustrasi gambar by google

Pada pertukaran rasa yang tak seimbang, aku menaruh bimbang. Ketika meneruskan hanyalah berarti menambah perih pada luka lainnya, dan berhenti juga tak menyembuhkan apa-apa. Menaruh harap pada waktu yang akan menjawab, mungkin saja percuma; sebab hatimu sudah ada pemiliknya. Sedangkan aku, hanya tamu yang  diundang pada sedikit kesempatan saja.

Belum genap memiliki, tapi hati ini seperti dipaksa berhenti mencintai. Harapan sudah mencapai menara tertinggi, tapi terjatuh karena tahu kau sudah ada yang memiliki. Kornea seperti tercelik pada realita. Tadinya pinta bergegas menyapa pencipta agar lekas menyatukan kita. Tapi doa-doa itu menabrak dinding negri utopia, menyadarkanku bahwa seharusnya angan-angan berhenti disini saja agar tak menyakiti sesiapa. Andai pertemuan kita tak berbentur pada garis segitiga yang menyatukan aku, kamu, lalu dia pada sudut-sudutnya.

Pada ketiba-tibaan datangnya sebuah rasa, aku memupuk asa. Seakan tidak peduli, bahwa bagian kosong di hatimu sudah ada yang menduduki. Juga tak ingin ambil pusing dengan kenyataan yang mengharuskan kita berada pada jalannya masing-masing. Mungkin sebenarnya ada garis tak kasat mata yang menghalangi agar aku tidak melangkah lebih jauh lagi. Namun aku memilih untuk berpura-pura tidak menyadari keberadaanya.

**